07 Desember 2007

Hari Lebaran Yang Kerap Berbeda

Perbedaan hari raya di antara umat Islam di Indonesia terjadi karena perbedaan metode itsbat dan kriteria yang digunakan. Hari idul fitri bagi sebagian orang tak mesti sama. Tetapi akan lebih indah kalau lebaran pada hari yang sama. Bagaimanakah peran Depag sebagai lembaga pemerintah?

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang paling menonjolkan perbedaan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Beberapa perbedaan konsep seperti penetapan awal puasa, jumlah rakaat yang berbeda, serta hari idul fitri.

Setiap memasuki idul fitri, misalnya, umat Islam selalu diributkan dengan pertanyaan waktu lebaran. Hal ini diakibatkan oleh seringnya terjadi perbedaan itsbat hari idul fitri antara dua ormas terbesar di Indonesia ini.

Perbedaan itu kerap terjadi lantaran metode itsbat yang berbeda. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal berdasarkan Hisab atau upaya penghitungan untuk menetapkan tanggal 1, berdasarkan astronomi. Dalam Islam, metode ini dengan ilmu falak. Metode semacam ini merupakan amanat Majelis Tarjih pada tahun 1969 yang menekankan pengunaan pedoman hisab hakiki wujudul hilal. Itulah sebabnya, Muhammadiyah bisa lebih cepat dalam menetapkan hari idul fitri.

Memasuki pertengahan bulan Ramadhan kali ini, Muhammadiyah telah mengeluarkan maklumat 03/MLM/1.0/E/2007 bahwa tanggal 1 Syawal jatuh pada tanggal 12 Oktober 2007. ”Ijtima’ menjelang 1428 H terjadi pada hari Kamis tanggal 11 Oktober 2007 pukul 12:02:29 WIB. Tinggi hilal pada saat terbenam matahari di Yogyakarta (Φ=.070 48’ dan λ=1100 21 BT = +000 37” (hilal sudah wuju). Pada saat terbenam matahari tanggal 11 Oktober 2007, wilayah Indonesia terlewati oleh garis batas wujudul hilal sehingga wilayah Indonesia terbagi menjadi dua bagian, garis sebelah barat, hilal telah wujud sedangkan wilayah seblah timur hilal belum wujud,” paparnya dalam maklumat yang ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin dan Sekretaris Umumnya, Drs. H. A. Rosyad Sholeh .

Berdasarkan keputusan itu, Muhammadiyah mengacu kepada tiga kriteria yaitu menurut perhitungan hisab telah terjadi ijtima’. Sementara ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam serta pada saat matahari terbenam, bulan berada di atas ufuk (bulan belum terbenam. ”Bila ketiga kriteria tersebut terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru, dan apabila tidak terpenuhi maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai hari terakhir bulan berjalan dan bukan bulan baru,” tegasnya.

Sementara itu, NU lebih menekankan pada penggunaan ru’yatul hilal. Ru’yatul hilal adalah upaya pengamatan bulan sabit pertama untuk mengetahui tanggal 1 bulan hijiyah. Hilal merupakan awal masuknya bulan baru pada kalender qomariyah (bulan), termasuk kalender Hijriah.

Dalam versi NU, bila pengamatan gagal karena gangguan awan atau lainnya dilakukan istikmal atau menggenapkan bilangan bulan yang berjalan menjadi 30 hari. Hisab (perhitungan astronomi) hanya dianggap sebagai alat bantu dalam melakukan ru'yatul hilal. Oleh karenanya, apabila hisab bertentangan dengan hasil ru'yat, maka yang dipakai adalah hasil ru’yat. Dengan demikian hasil hisab ditolak. Kecuali, bila ada kesamaan hasil perhitungan seluruh ahli hisab yang menyatakan hilal tidak mungkin diru'yat, maka kesaksian ru'yat dapat ditolak.

Mengacu kepada hal tersebut, maka hingga saat ini NU belum akan memutuskan tanggal 1 Syawal. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini lebih memilih menunggu sidang itsbat yang akan diselenggarakan oleh Departemen Agama (Depag) pada tanggal 11 Oktober 2007 mendatang.

Berbeda Kriteria

Wakil Presiden, M Jusuf Kalla mengharapkan tidak terjadi perbedaan lagi di antara umat Islam di Indonesia dalam penetapan Idul Fitri 1428 H mendatang. Perbedaan selama ii terjadi lantaran kedua belah pihak menggunakan dalil yang mutlak-mutlakan. Oleh karena itu, ia mengharapkan dalam pertemuan yang diagendakan nanti guna membicarakan masalah Idul Fitri bisa dicapai kesepakatan bersama. "Kalau saja Muhammadiyah mau sedikit mundur, dan NU mau sedikit maju, pasti bisa ketemu," kata Wapres yang disambut tawa warga Sulawesi Selatan yang hadir saat itu.

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak bisa ikut menentukan penetapan Idul Fitri 1428 H. MUI akan menjadi penengah, jika nanti terjadi perbedaan. Untuk itu, peran MUI hanya mengikuti keputusan Departemen Agama (Depag) dalam sidang isbat 11 Oktober nanti. Demikian disampaikan Ketua bidang fatwa MUI Pusat, KH. Ma’ruf Amin. ”MUI tidak bisa melarang organisasi Islam manapun dalam menetapkan Idul Fitri bila berbeda dengan pemerintah. Sebab mereka mempunyai dasar pemikiran dan dalil yang sama-sama kuat," kata Ma’ruf.

Menanggapi seringnya terjadi perbedaan hari raya, Ahli ilmu astronomi yang juga Litbang Lajnah Falak PB NU, Hendro Setyanto mengatakan, pada dasarnya antara Nu dan Muhammadiyah sama-sama melakukan penghitungan. Namun menghitung menurut NU adalah hanya membantu proses ru’yat.

Meskipun demikian, peluang terjadinya persamaan hari raya sebenarnya dapat terjadi apabila ada kriteria yang sama dalam menetapkannya. ”Kalau kriterianya sama, perbedaan juga kecil,” katanya.

Namun kenyataannya saat ini adalah karena kriteria yang digunakan oleh Muhammadiyah dan NU juga berbeda. ”Karena kriterianya berbeda, maka hasilnya juga berbeda,” tambah Koordinator Kunjungan BOSKA ini.

Hal ini karena kurangnya komunikasi yang terbangun antara NU dan Muhammadiyah. Untuk itu, seharusnya Departemen Agama (Depag) mengakomodir semua perbedaan yang ada. ”Depag harus menciptakan kriteria perhitungan yang bisa dilakukan oleh semua pihak. Untuk itu Depag mewakili pemerintah harus memiliki litbang yang bagus untuk menetapkan perhitungan tersebut agar tidak timbul masalah perbedaan idul fitri seperti tahun-tahun sebelumnya,” saran Hendro Setyanto. (musim)

OPINI Indonesia / Edisi 70 / 1 - 7 Oktober 2007