24 Juli 2010

Dua Tahun Usia Cinta Kita

DUA tahun lalu, aku 'menembakmu' dan engkau mengatakan "Ya, aku mau menjadi pacarmu". Meskipun hanya melalui telephone celluler, tapi aku merasakan ketulusanmu, sebab engkau bukanlah 'orang baru' bagiku. Enam tahun ku memendam rasa, ingin ku kubur dalam-dalam sebab aku merasa tak mampu. Tapi karena 'kerapuhanku' akhirnya ku terpaksa keluarkan semuanya. Ternyata engkau meresponnya. Dan kini engkaulah kekasihku satu-satunya dan tentu saja aku berharap engkau menjadi pendampingku selamanya.

Sebuah hubungan yang ‘tangguh’ karena serba jarak jauh. Sebuah hotel melati di Kota Solo dan sebuah HP jadul milikku menjadi saksi bisu. Yaa, aku memastikan bahwa engkau juga mencintaiku dari jauh, dan selama dua tahun itu pula kita menjalani hubungan jarak jauh.

Kepercayaan dan kejujuran, dua suku kata yang aku suka. Sebab, itulah kunci kesetiaan. Engkau percaya bahwa aku hanya memiliki engkau. Dan engkau pun jujur bahwa aku adalah satu-satunya milikmu, dan aku percaya itu.

Kini, jarak kita tinggal sejengkal saja. Suatu saat kan ku jemput engkau ke sana meskipun aku tahu bahwa samudera itu luas. Kan ku tantang angkuhnya gelombang, demi sebuah harapan di mana kita akan melangsungkan upacara pernikahan. Semoga engkau mampu bertahan. Sabarlah…!

Jakarta, 24 Juli 2010, Pukul 21.00 WIB

Baca Selengkapnya...

04 Mei 2010

REFLEKSI 50 TAHUN PMII
Setengah Abad Berkhidmat Untuk Islam dan Bangsa

Oleh: Mukhlis Hasyim
(Wasekjen PB PMII & Caretaker PKC PMII NTB)

KENYATAAN yang tidak dapat dibantah, bahwa mahasiswa Indonesia menempati keadaan seolah-olah memaksakan kepadanya untuk menentukan pilihan antara dua alternatif. Pertama, ikut melarutkan diri bersatu dengan pola-pola struktur social budaya tradisional bangsa Indonesia yang masih hidup dengan kokoh. Atau, Kedua, Memilih dan merangkul sepenuhnya tradisi kehidupan mahasiswa yang diwariskan oleh peradaban Barat yang menekankan keunggulan pribadi, menjunjung tinggi keutamaan akal, kritis dan analitis serta menempatkan sub kulturnya di atas sub kultur yang lain dalam masyarakat dan kebudayaan bangsa Indonesia.

Mengutif pandangan seorang ahli antropologi, Mattulada, memilih alternatif pertama tanpa menghiraukan pengaruh dari yang ke dua, berarti sama dengan menjerumuskan diri ke dalam kemelut masa silam dan membiarkan diri ditelan oleh keganasan dunia modern yang penuh dengan kegelisahan dan keresahan. Memilih secara apriori alternatif ke dua berarti meninggalkan nilai serta segala kesyahduan dan ketenangan masa silam dan akan menjadi orang asing dalam negerinya sendiri.

Salah satu elemen yang mengakomodir kedua kenyataan tersebut adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organisasi kemahasiswaan yang lahir di Surabaya pada tanggal 17 April 1960. PMII berpegang teguh pada ajaran Islam yang datang dari Timur Tengah sekaligus terbuka dengan peradaban Barat, tetapi tak akan pernah melepas tradisi lokal sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Setidaknya, sikap itulah yang dihasilkan oleh Paradigma Kritis Transpormatif (PKT) PMII yang meletakkan prinsip Islam sebagai agama, Barat sebagai kenyataan dan Indonesia sebagai kebangsaan.

Pandangan PMII tentang Islam bersumber dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai manhaj al fikr (metodologi berfikir). Sebuah cara berfikir yang menempatkan sesuatu secara proporsional dan penuh keseimbangan, mengikuti gagasan pemikiran Al Asy’ari dan Al Maturidi. Di sisi lain, gagasan Barat sebagai sebuah kenyataan tidak harus ditinggalkan. Faktanya, Barat lebih berani membuka kejumudan akibat hegemoni negara, bahkan agama sekaipun. Dan yang pasti, PMII senantiasa setia kepada negara. Kemajemukan bangsa Indonesia harus dihargai sebagai satu kekayaan dan kekuatan di mata dunia. Oleh karena itu, PMII akan tetap mengawal dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan pancasila sebagai ideologi negara.

Ketiga hal itu tersebut di atas merupakan impelementasi dari lima prinsip PMII yaitu tasamuh (toleransi), ta’adul (keadilan), tawasuth (keseimbangan), tawadzun ( ), dan hurriyah (kemerdekaan) untuk mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin. Dengan demikian, PMII bisa tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia. PMII dapat berkembang di daerah yang mayoritas beragama Hindu seperti Bali, maupun di daerah yang mayoritas Kristiani seperti NTT dan Papua. PMII dapat mentransformasikan nilai Islam dan tradisi lokal dalam bingkai NKRI, dan inilah yang membuat PMII dengan mudah diterima di semua daerah hingga terbentuknya 220 pengurus cabang di 33 propinsi di Indonesia.

Sejarah PMII

Barangkali ketigabelas pendiri PMII tak pernah menyangka bahwa organisasi yang didirikannya di Surabaya pada tanggal 17 April 1960 itu akan bertahan dan melahirkan ribuan kader secara terus-menerus setiap tahun. Mereka adalah mahasiswa berkultur organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) yang ingin memiliki wadah yang terpisah dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Saat itu, mahasiswa hanya menjadi bagian struktur IPNU di bawah Departemen Perguruan Tinggi, salah satu departemen yang membidangi kemahasiswaan di IPNU.

Berawal dari sebuah musyawarah mahasiswa nahdliyyin (NU) pada tanggal 14-16 April 1960 di Wonokromo Surabaya, PMII lahir sebagai organisasi baru berbasis mahasiswa Islam. Kelahirannya langsung disambut oleh mahasiswa NU di berbagai daerah. Mereka keluar dari organisasinya dan memilih untuk bergabung dengan PMII. Tak heran jika sejak setahun setelah berdiri, PMII dapat membentuk 13 cabang di Indonesia yaitu Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, Ciputat, Malang, Ujung Pandang, Surabaya, Banjarmasin, Padang, Banda Aceh dan Cirebon. Dalam perkembangannya selama 50 tahun, PMII telah memiliki 220 cabang yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia.

Salah satu perjuangan terbesar PMII di usianya yang belia saat itu adalah peran besarnya dalam melakukan penentangan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penopang bangkitnya Orde Baru. Orde Baru yang dilahirkan saat itu adalah sebuah era penyelamatan terhadap krisis ekonomi dan politik yang diakibatkan oleh Orde Lama. Waktu itu, Orde Lama tidak mampu lagi berdiri secara politik dan ekonomi. Rezim ini telah dianggap salah langkah dalam mengelola negara. Politik berdikari yang dipelopori Presiden Soekarno menyebabkan berhentinya semua bantuan dari luar negeri yang mengakibatkan penderitaan rakyat. Selain itu ’politik komprontasi’ dengan Malaysia telah menyedot separoh dari anggaran negara. Diperparah lagi dengan isu yang dilemparkan oleh PKI bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta.

Bukti yang tak dapat diingkari oleh siapapun adalah jemari tangan kanan Sahabat Zamroni, --Ketua Umum Pengurus Besar PMII saat itu yang tinggal dua buah. Tiga jari lainnya terputus ketika memimpin demonstrasi dalam menegakkan Orde Baru melalui koalisi gerakan yang diberinama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Saat itu, Zamroni menjadi ketua Presedium Pusat KAMI. Artinya, PMII adalah pemimpin pergerakan untuk melakukan perubahan di negeri ini.

Gerakan PMII menurun menjelang tahun 1971. Dimana saat itu akan diadakan Pemilihan Umum (Pemilu). Para aktifis PMII masih terlena dengan gerakan political oriented, mungkin karena pengaruh NU yang pada waktu itu masih menjadi salah satu partai politik -–Partai Nahdlatul Ulama (PNU)–- yang diperhitungkan di negeri ini. Kondisi sosial politik menjelang dan setelah pemilu 1971 menyebabkan merosotnya kretifitas aktifis PMII untuk melaksanakan kegiatan dan memainkan peran sebagai laboratorium kader bagi warganya.

Kondisi inilah yang selanjutnya menjadi pijakan awal diinisiasikannya indevendensi PMII dari NU. Maka pada Musyawarah Besar (Mubes) II tanggal 14-16 Juli 1972, PMII mencetuskan indevendensinya pada tanggal itu juga. Tercatat tanggal 14 Juli 1972 itu, PMII secara formal menyatakan lepas dari struktur NU agar PMII tidak lagi merasa canggung dalam menghadapi masalah-masalah nasional karena harus selalu memperhatikan kepentingan induknya yaitu NU. Sementara secara politis, sikap indevenden itu konon ada bergaining antara tokoh PMII dengan pemerintah, dan ternyata terbukti sejumlah tokoh PMII tersebut seperti Zamroni, Abduh Paddare, Hatta Musthofa, Said Budairi tercatat sebagai orang yang melahirkan Deklarasi Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Begitulah seterusnya, dan hingga kini PMII tetap menjadi organisasi yang terpisah dari NU dan terbuka terhadap mahasiswa yang berlatar belakang ormas lain seperti Muhammadiyah atau Nahdlatul Wathan di Nusa Tenggara Barat.

PMII di NTB

Lambannya perkembangan Perguruan Tinggi di setiap kabupaten di NTB tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan PMII sebagai organisasi berbasis kampus. Akibatnya, PMII hanya berdialegtika di Mataram dalam waktu yang lama sebelum akhirnya terekspansi dan terbentuknya Pengurus Cabang di 6 kabupaten/kota di NTB sejak tahun 2003 yaitu Lombok Timur, Lombok Tengah, Bima, Sumbawa, Dompu dan Sumbawa Barat. Padahal Pengurus Cabang PMII Mataram telah dibentuk 35 tahun sebelumnya.

Namun tak banyak bukti otentik yang masih tersimpan sebagai bukti sejarah perkembangan PMII saat itu. Karena selain tidak terdokumentasi secara rapi, gerakan mahasiswa secara nasional juga tengah mengalami pemasungan. Setelah pukulan berat melalui penangkapan dan pengadilan para aktivis mahasiswa akibat gerakan mahasiwa di tahun 1974 dan 1978, kampus dijinakkan. Perguruan Tinggi semakin dikontrol dengan ketat oleh negara melalui aparat birokrasi masing-masing Perguruan Tinggi. Pada tahap ini negara bukan hanya melakukan tindakan represif terhadap pimpinan mahasiswa yang dianggap biang kritik dan protes, tetapi juga dengan sistematis dan terencana negara merubuhkan gerakan-gerakan yang mencoba dibangun mahasiswa di luar sistem yang disediakan negara.

Hegemoni negara terhadap kampus ditunjukkan dengan keluarnya SK Komkamtib tahun 1974 dari Menteri P&K, dan SK Komkamtib tahun 1978 yang membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa di semua Perguruan Tinggi. Bahkan dilanjutkan dengan SK pada tahun yang sama tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) disertai dengan perangkat BKK.

Saat itu aktivitas politik dan protes tidak mampu lagi dilakukan karena resiko terlalu besar yang harus ditanggung, yakni dipecat dari kampus.oleh karena itu, PMII dalam tahun 1980-an lebih terkonsentrasi pada kegiatan diskusi dan kontemplasi. Setidaknya pengaruh itu pula lah yang dirasakan oleh PMII di Mataram, lebih-lebih sebagai organisasi yang baru hadir di Mataram.

Namun secara sistematis, kepengurusan PMII Mataram berjalan normal kembali setelah tahun 1985. Beberapa mahasiswa IAIN Sunan Ampel saat itu ingin membangun kembali semangat berorganisai mahasiswa NU di Mataram. Dengan sumber daya yang terbatas itulah mengawali regenerasi kaderisasi PMII hingga tetap eksis dan tumbuh subur di bumi gora.

Tulisan ini telah dimuat di Harian NTB Post pada peringatan Harlah PMII 17 April 2010


Baca Selengkapnya...

26 Juni 2009

Manohara dan Politik Entertainment

Kasus kekerasan terhadap model cantik Manohara semakin menghentakkan masyarakat Indonesia dan mengingatkan atas sederetan kasus kekerasan terhadap warga Negara Indonesia di luar negeri. Manohara menguak kasus kekerasan oleh suaminya, secara menggebu-gebu dan ‘bertele-tele’. Endingnya adalah penayangan sebuah film berjudul ‘Manohara’ di sebuah stasiun televisi swasta. Akankah ini adalah politik entertainment atau lebih tepatnya, politik marketing bagi dunia hiburan.

Sekilas, dalam iklan tayangan film Manohara itu, tergambar bagaimana penyiksaan yang dilakukan oleh Fahri, sang pangeran kerajaan Klantan Malaysia terhadap istrinya Manohara. Tapi sayang, iklan tersebut terlalu memancing rasa penasaran penonton, sehingga ditayangkan dengan sangat singkat. 'Manohara, segera di RCTI' demikian kalimat penutup di iklan tersebut.

Barangkali persepsi ini adalah ‘sisi miring’ dari fenomena celebrity. Teradang, semua pemberitaan terhadap mereka selalu diniali sebagai sensasi. Maklum, modal utama mereka adalah popularitas. Maka tak jarang, sang artis rela melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian publik.

Pertanyaan utama adalah manakah yang lebih dulu muncul antara pemberitaan kasus Manohara dan film Manohara?. Jika pemberitaan kasus Manohara, maka mungkin ini sebuah karya seni yang tanggap, cepat, tepat dan patut diberi apresiasi. Tetapi kemungkinan pertama ini sangat kecil mengingat pengerjaan sebuah film memakan waktu yang tak sebentar. Oleh karena itu, tanpa menafikan kasus kekerasannya, kemungkinan yang lebih kuat adalah film Manohara telah lama disiapkan. Singkatnya, kasus Manohara hanyalah politik marketing untuk mendongkrak rating film Manohara.

Baca Selengkapnya...

10 April 2009

Pemilu 2009, Demokrat Menang

Partai Demokrat bertengger di posisi teratas perolehan suara pemilihan umum 2009. Inilah akhir dari kompetisi partai politik lima tahunan itu. Partai-partai senior pun takluk.

Sejak pukul 07.00, tempat pemungutan suara mulai diramaikan oleh masyarakat yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Proses pemungutan suara terus berlangsung hingga akhirnya petugas TPS menutup pendaftaran pemilih tepat pukul 12.00 waktu setempat. Wajah para saksi, tim sukses dan masyarakat yang sempat menyaksikan penghitungan suara mulai tegang saat suara demi suara mulai dibacakan dan terjadinya kejar-mengejar perolehan suara antara partai-partai yang dominan.

Hasil akhirnya, penghitungan suara nasional pemilihan umum (Pemilu) 2009 ternyata dimenangkan oleh Partai Demokrat. Partai besutan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berdiri pada tahun 2001 itu mampu mengungguli perolehan suara partai seniornya sekelas Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Demikian kesimpulan dari hasil penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh beberapa lembaga. Empat lembaga, masing-masing Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lembaga Survei Nasional (LSN), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan CIRUS Surveyors Group (CIRUS), memposisikan Partai Demokrat pada urutan pertama dengan perolehan suara di atas 20%, kemudian disusul PDIP dan Partai Golkar dengan perolehan suara berkisar antara 13 - 14%.

Ketiga partai papan atas ini mampu memonopoli sekitar 50% atau setengah dari suara nasional. Sementara posisi tengah ditempati oleh partai Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan mengumpulkan lebih dari 30% suara nasional, di mana masing-masing partai memperoleh suara antara 3 - 7%. Sisanya, kurang dari 20% suara menyebar ke 29 partai politik lainnya, sehingga tak ada satupun yang mencapai angka 2,5% sebagaimana syarat parlementary threshold.

Dengan demikian, hanya sembilan partai saja yang mampu melaju ke senayan. Sementara ke-29 partai lainnya berada di posisi bawah dan harus puas hanya sampai ke DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota saja.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani, Ph.D, berdasarkan data hasil survei lembaga yang dipimpinnya itu, dukungan terhadap Partai Demokrat merata di berbagai daerah seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Di Jawa, Partai Demokrat mendapat dukungan suara 21,33%, di Sumatera sebanyak 22,34 %, dan di wilayah lainnya 16,46 %.

Pemerataan suara tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan suara PDIP di Jawa yang hanya 16,58%, Sumatera 9,03%, dan di wilayah lainnya 13,52 %. Kekalahan PDIP dari Partai Demokrat ini terlihat karena kurangnya dukungan suara di luar Jawa. Sebaliknya Partai Golkar, kurang bisa menandingi Partai Demokrat di Jawa, dan pada saat yang sama, basis Partai Golkar di luar Jawa juga tergerus oleh Partai Demokrat.

Jelasnya, rincian hasil akhir penghitungan cepat versi quick count LSI dari sembilan partai yang masuk parlementary threshold adalah Demokrat 20,46%, PDIP 14,33%, Golkar 13,95%, PKS 7,85%, PAN 5,72%, PPP 5,24%, PKB 5,12%, Gerindra 4,59%, dan Hanura 3,78%.

Dari angka-angka tersebut, diperkirakan toleransi kesalahan (margin of error) pada quick count ini sekitar 0,9% pada tingkat kepercayaan 99%. Oleh karena itu pihaknya sudah bisa memastikan bahwa itulah hasil akhir dari pemilu 2009. Sebab meskipun baru menghitung 97,42 % hasil pemantauan di 2.096 TPS, namun kualitas random (quality random) dari sampel yang masuk sudah mencapai 99,57%. Artinya, pergerakan suara sudah stabil dan layak untuk diumumkan. Sisanya, masih menunggu penghitungan suara selesai, karena penundaan proses penghitungan akibat serangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di beberapa TPS di Provinsi Papua, atau karena faktor geografis sehingga menyulitkan relawan untuk mendapatkan sinyal telepon.

Apapun hasilnya dan terlepas dari segala kelemahannya, inilah hasil dari pesta demokerasi 2009. Sebuah pemilu yang relative berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, baik dari sistim pemilihan maupun hasil akhir dari pertarungan.

Inilah babak baru bagi perpolitikan di Indonesia. Kemenangan Partai Demokrat menunjukkan berubahnya peta politik nasional. Hal ini juga berpengaruh hingga lima tahun ke depan terutama pertarungan politik di DPR RI. Artinya, Partai Demokrat akan memimpin ‘Senayan’ dengan menjadi fraksi yang paling besar, menggantikan posisi partai Golkar.

Saat ini, publik tengah menunggu hasil real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai hasil resmi Pemilu. Namun hingga berita ini diturunkan, posisi Partai Demokrat tetap tidak berubah dan terus memimpin perolehan suara.(musim)

Sumber: POLEMIK

Baca Selengkapnya...