Setelah gagalnya usulan amandemen UUD 1945, tiba-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengusulkan pembentukan komisi nasional amandemen. Usulan itu disampaikan Presiden SBY dalam pidatonya di depan sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 23 Agustus lalu. Menurut Presiden, komisi nasional ini akan diisi oleh para pakar dan tokoh yang concern dan berpengalaman di bidang tata negara. Mereka akan bertugas menelaah sistem tata negara, sistem pemerintahan, dan sistem hukum Indonesia.
Dalam pandangan Presiden SBY, gagasan amandemen UUD 1945 harus didahului dengan kajian komprehensif atas amandemen yang pernah dilakukan sebelumnya. Hasil kajian tersebut harus dapat menjawab apakah UUD yang berlaku sekarang telah mampu menjawab segala tantangan dan tuntutan untuk mengelola kehidupan bernegara yang adil, demokratis, dan tertib. Sebagaimana diketahui, UUD 1945 telah empat kali mengalami amandemen.Pada saat itulah dibutuhkannya komisi nasional amandemen ini.
Presiden SBY nampaknya ‘tebar pesona’ kepada DPD yang selama ini menginginkan penambahan kewenangannya melalui amandemen pasal 22 D. Usulan presiden dengan membentuk komisi itu direspon oleh ketua DPD, Ginanjar Kartasasmita. Ia mengaku puas dengan pidato Presiden dalam paripurna pembukaan masa sidang 2007-2008 itu. Meski ia mengaku belum mengetahui latar belakangnya, namun usulan Presiden perlu didiskusikan lebih jauh untuk mengetahui maksud Presiden. Ginanjar berharap, keberadaan komisi nasional dapat memberikan landasan yang kuat untuk diadakannya amandemen UUD 1945 yang lebih komprehensif. Apalagi pasca kandasnya usulan amandemen yang lalu, para pengusul telah sepakat untuk membuka ruang bagi perubahan pasal lain diluar Pasal 22D. Fraksi-fraksi besar telah setuju adanya amandemen meskipun tidak dapat dilakukan dalam waktu dekat.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie juga mengusulkan diadakan forum konsultasi antar pimpinan lembaga negara. Tujuannya, untuk menyamakan persepsi agar tidak terjadi kesalahpahaman dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Tetapi komisi nasional menurut Jimly hanya diberikan wewenang sebatas melakukan kajian. Panitia, menurutnya, tidak berwenang membuat keputusan politis karena berdasarkan konstitusi, MPR lah yang berwenang melakukan amandemen.
Sebaliknya, usulan sang Presiden dengan serta merta ditolak oleh beberapa fraksi di parlemen. Salah satunya dari fraksi oposisi semisal PDI Perjuangan. Melalui ketua Fraksinya, Tjahjo Kumolo, PDIP menegaskan bahwa tidak perlu adanya pembentukan komisi kalau sekedar untuk melakukan kajian terhadap UUD 1945. Sebab, tugas-tugas semacam itu merupakan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). “MPR bisa membentuk Tim Pekerja untuk melakukan kajian terhadap system ketatanegaraan dan pemerintahan yang tertuang dalam UUD 1945,” ujar Tjahyo.
Tjahyo patut menolak mengingat adanya ancaman tumpang tindihnya tugas-tugas MPR dengan komisi yang hendak dibentuk Presiden. Di sisi lain, MPR juga tetap mengakomodir para pakar untuk dilibatkan dalam proses kajian terhadap setiap persoalan dalam konstitusi itu, termasuk dalam wacana amandemen UUD 1945 ini.
Usulan Presiden untuk membentuk komisi nasional amandemen bertemu dengan momentum, di mana banyak sekali usulan atas perubahan UUD 1945. Usulan Presiden pun dikomentari pula oleh lembaga paling terkait yaitu MPR.
Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, mengatakan akan menyikapi usulan itu dengan mengapresiasi sebagai suatu usulan. “Kita tentu bisa memahami keinginan Presiden dalam rangka menelaah hal-hal yang terkait dengan hukum tata negara. Tetapi kami juga ingin menegaskan bahwa kalau usulan itu nantinya diarahkan kepada tidak lanjut adanya perubahan UUD 1945, maka kami sampaikan bahwa usulan itu pada tingkat tertentu ada momentumnya,” paparnya saat konferensi pers menjelang perayaan ulang tahun MPR ke-62 di gedung nusantara V, Senayan Jakarta.
Momentum yang dimaksud Hidayat adalah karena dalam satu tahun ini begitu banyak usulan yang telah disampaikan kepada pimpinan MPR terkait perubahan terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, usulan Presiden mempunyai momentum yaitu melakukan kajian terhadap seluruh system ketatanegaraan. Tetapi, agar usulan ini menjadi produktif dan konstutisonal, maka perlu melibatkan atau dikelola oleh lembaga negara yang berwenang. “Kalau kembali kepada konstitusi, maka hanya melalui MPR lah proses perubahan itu bisa dikelola,” tegasnya.
Apakah komisi nasional memang diperbolehkan ada ? Anggota Fraksi PKS dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta ini mengatakan bahwa kalau hanya sekedar komisi, tidak ada yang melarang. Tetapi, idealnya tidak perlu ada. “Pembentukan komisi tersebut tidak dapat dilarang, tetapi kenapa harus ada komisi?. Sebab dulu pun ada MK yang pada periode yang lalu dibentuk, namun ternyata tidak conect dengan MPR. Untuk itu, kajian yang dimaksud Presiden dapat dilakukan oleh MPR,” papar Hidayat. (musim)
(OPINI Indonesia / Edisi 66 / 3 - 10 September 2007)
07 Desember 2007
Komisi Nasional Amandemen, Layu Sebelum Berkembang
Label: Berita dari Opini Indonesia