07 Desember 2007

Mahalnya Biaya Pemilu 2009

Penampilan perdana Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode 2007-2012 mempertunjukkan kebijakan yang kurang simpatik. KPU mengajukan anggaran yang sangat tinggi untuk menyelenggarakan Pemlihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang.

Dibandingkan dengan Pemilu 2004 yang hanya menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 triliun untuk Pemilu DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD serta Pemilihan Presiden (Pipres), maka Pemilu 2009 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Ketua KPU, Abdul Hafidz Anshori menyebutkan total anggaran KPU dan Pemilu 2009 sekitar Rp 47,9 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan untuk kebutuhan KPU dan Pemilu masing-masing sebesar Rp 18,6 triliun untuk tahun 2008, dan Rp. 29,3 triliun untuk proses Pemilu 2009.

Menurut Ketua KPU yang baru dilantik ini, tingginya perbedaan jumlah anggaran dari biaya Pemilu 2004 dengan Pemilu 2009 itu disebabkan akibat perubahan dalam ketentuan Undang-Undang (UU) tentang Penyelenggaran Pemilu. Faktor eksternalnya, akibat kenaikan harga bahan-bahan dan peralatan untuk fasilitas Pemilu. Pihaknya mengakui bahwa anggaran proses Pemilu 2009 ini memang mengalami peningkatan yang laur biasa bila di bandingkan dengan anggaran Pemilu 2004 lalu. Tetapi itulah kenyataannya, dan usulan anggaran ini merupakan kelanjutan dari usulan KPU sebelumnya yang belum sempat direvisi oleh KPU yang baru karena belum lama dilantik.

Perubahan aturan penyelanggaraan Pemilu yang termuat dalam UU 22/2007 sangat mempengaruhi besarnya anggaran. Yang paling menonjol adalah akibat dari biaya Pemilu 2009 yang dibebankan sepenuhnya kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berbeda dengan UU 32/2004 tentang penyelenggaran Pemilu tahun 2004 yang juga melibatkan konstribusi daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Secara rinci Abdul Hafiz menjelaskan, peningkatan anggaran itu disebabkan oleh sekitar sembilan komponen. Pertama, Pemilu 2009 tidak lagi berasal dari APBD, melainkan sepenuhnya menjadi tanggungan APBN. Kedua, sosialisasi Pemilu dilakukan oleh semua level penyelenggara Pemilu dari KPU Pusat hingga ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemilihan Suara (PPS). Ketiga, PPS harus mengangkat petugas untuk melakukan pembaharuan data pemilih.

Keempat, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang kini bernama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak lagi bersifat ad hoc, melainkan bertugas dengan masa kerja lima tahun. Kelima, banyaknya pemekaran wilayah yang berkaitan erat dengan penambahan jumlah KPUD. Keenam, pertambahan penduduk selama lima tahun terakhir secara otomatis menambah jumlah pemilih terutama pemilih pemula.

Ketujuh, meningkatnya daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD. Juga, jumlah parpol peserta pemilu yang jika bertambah juga akan meningkatkan biaya Pemilu. Kedelapan, Tender harga barang dan jasa yang meningkat seiring meningkatnya harga bahan dan peralatan Pemilu. Kesembilan, bertambahnya tugas KPPS dengan menyerahkan data pemilih tetap.

Hitung Ulang

Wakil Presiden Yusuf Kalla mengingatkan agar KPU lebih hemat dalam menggunakan anggaran untuk Pemilu 2009. Pengehamatan dapat dilakukan sejak penyusunan anggaran dengan tidak memuat anggaran terlalu besar. Untuk melakukan kajian agar tercipta efisiensi anggaran, maka dalam waktu dekat, tim kecil akan segera dibentuk untuk menghitung kebutuhan biaya Pemilu yang rasional berdasarkan kebutuhan.

Banyak cara menekan agar anggaran tidak membengkak, diantaranya dengan menghapus anggaran pengadaan kotak suara dan bilik suara. Sebab pada Pemilu 2004 kedua sarana itu sudah disiapkan dan disepakati dapat digunakan untuk beberapa kali Pemilu. tetapi sangat sulit melahirkan anggaran yang ideal kalau mengacu kepada Pemilu 2004. KPU telah mengeluarkan angka yang terlalu tinggi.

Oleh karena itu, tentang anggaran Pemilu yang diajukan KPU tersebut banyak mendapatkan tanggapan dari pulik. Anggaran Pemilu yang diajukan KPU dinilai terlalu besar. Pengamat politik, Rizal Malarangeng, mempertanyakan anggaran Rp. 47,9 Trilyun yang diajukan KPU. Menurutnya, Pemilu cukup diselesaikan dengan Rp. 5 Trilyun. ”Ah, terlalu besar itu, Rp. 5 Trilyun cukup,” kata Rizal singkat saat ditemui seusai menjadi narasumber bersama Wakil Presiden Yusuf Kalla dalam dialog Tiga Tahun SBY-JK di Hotel Niko, Jakarta (01/11)

Membengkaknya anggaran Pemilu 2009 karena perubahan sistem dan ketentuan Pemilu dinilai hanya akal-akalan. ”Alasan KPU saja itu. Meskipun terjadi perubahan, tapi tidak semahal itu, kan?,” katanya mempertanyakan.

Hal senada diungkapkan oleh pengamat politik, Syaiful Mujanni. Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI) ini meminta KPU untuk menghitung ulang kembali kebutuhan anggaran untuk tahun 2008 dan 2009 itu. KPU semestinya banyak belajar dari Pemilu 2004. Anggaran yang lebih sedikit dapat mensukseskan Pemilu, bahkan diakui di dunia. ”Kalau Pemilu 2004 membutuhkan ongkos yang murah dan membuat Pemilu sukses, kenapa Pemilu yang akan datang tidak bisa,” katanya.

KPU saat ini benar-benar ditantang untuk mereka dapat menunjukkan kemampuannya. Kredibilitas KPU juga bisa diukur dari kemampuannya menyelenggarakan Pemilu yang sukses dengan anggaran yang tidak terlalu besar. Menurutnya, anggaran yang teralu besar akan membuat masyarakat antipati terhadap Pemilu. Apalagi dengan anggaran yang berlipat dari biaya Pemilu sebelumnya. Oleh karena itu, harus betul-betul dihitung ulang serasional mungkin.

Menanggapi argumentasi KPU akibat perubahan peraturan Pemilu, Mujanni kembali mengajak Kpu untuk berhitung. Boleh saja anggaran itu dimodifikasi dengan adanya penambahan anggaran dari biaya 2004, tetapi tidak semestinya harus ekstrim. ”Kalau memang demikian, semesetinya setiap perubahan sistem pemlihan itu harus dihitung. Seberapa besar perubahan serta tanggungan biayanya. Hitungan saya tidak sebesar itu kok,” paparnya. (Musim)


(OPINI Indonesia/Edisi 73/ Oktober 2007)