07 Desember 2007

Nike Hengkang, Buruh Kalang Kabut

Para buruh kembali dikejutkan dengan adanya ancaman PHK. Perusahaan sepatu Nike memutuskan kontrak dengan dua dari tujuh perusahaan sepatu Indonesia yaitu PT Hardaya Aneka Shoes Industry (Hasi) dan PT. Nagasakti Paramashoes Industri (Nasa). Kabarnya, pemutusan kontrak antara perusahaan Amerika dengan kedua perusahaan yang masing-masing berlokasi di di daerah Tangerang dan Pasir Jaya ini karena kinerja kedua perusahaan itu tidak memuaskan. Kualitas sepatu merek Nike oleh perusahaan milik Hartati Murdaya ini dinilai tidak memenuhi standar mutu. Juga karena tidak mampu mengirim produk sesuai jadwal.

Padahal, kedua perusahaan yang bernaung di bawah bendera Grup Central Cipta Murdaya telah lebih dari 18 tahun memegang lisensi pembuatan sepatu Nike di Indonesia dengan rata rata ekspor sepatu Nike senilai U$D 100 juta per bulan. Dengan demikian, nilai ekspor sebesar itu telah membuatnya sebagai pemasok ketiga terbesar di dunia. Sebaliknya, pemilik kedua perusahaan, Hartati Murdaya, menolak tudingan tersebut karena perusahaannya telah berproduksi sesuai standar. Ia justeru menuding Nike mencari-cari alasan.

Menurut Hartati, kapasitas produksi Hasi dan Nasa sekitar sejuta pasang setahun. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir, Nike hanya memberi order sekitar 300 ribu pasang. Dan tiba-tiba sekarang diputus. “Kami minta Nike jangan sewenang-wenang. Kalau hanya rugi, itu risiko kami sebagai investor. Tapi ini adalah kebijakan yang tidak etis dalam berbisnis," katanya.

Di lain pihak, penghentian order sepatu oleh Nike ini tentunya akan berdampak pada lahirnya sekitar 14 ribu pengangguran baru. Akibatnya, mereka secara serentak mendatangi kantor Nike di gedung Bursa Efek Jakarta untuk melakukan demonstrasi (16/7). Mereka menuntut agar Nike tetap membuat sepatu di dua pabrik tempat mereka bekerja.

Nike diminta bertanggung jawab atas nasib karyawan dengan memberi mereka pesangon. Jika tidak, Hartati meminta penghentian order ditinjau kembali atau bisa dilakukan secara bertahap sehingga pihaknya bisa menyiapkan jalan keluar bagi karyawan. Hartati juga mendesak pemerintah memahami kondisi riil. Pemerintah berkepentingan melindungi investor. Tapi harus diingat, Nike itu bukan investor tapi hanya pembeli. Investornya adalah yang membangun pabrik itu, bukan Nike. Jadi nasib pabrik-pabrik itu yang harus diperhatikan.

Terkait masalah itu, melalui menteri Perindustrian, Fahmi Idris, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta agar kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan buruh PT Nasa dan PT Hasi segera diselesaikan dengan mencari jalan keluar yang terbaik. Untuk itu pihaknya telah mengumpulkan sejumlah pihak terkait kasus ini untuk mencari informasi yang benar dan lengkap mengenai kasus ini, dengan mengundang Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta pemilik PT Nasa dan PT Hasi, Hartati Murdaya (18/7).
Pihak pemerintah mengusulkan adanya beberapa alternatif untuk menanggulangi persoalan buruh. Menteri Perindustrian, Fahmi Idris menyebutkan pemerintah akan meminta Nike untuk berada di Indonesia dan tetap melanjutkan pemesanan produk sepatu di luar PT Hasi dan PT Nasa. Atau pemerintah meminta agar Nike memberikan perpanjangan waktu untuk penghentian pesanan di PT Hasi dan PT Nasa.

Masalah Bisnis

Pada dasarnya, pemerintah melihat persoalan itu hanya kasus bisnis antara kedua belah pihak. Untuk itu, kepedulian pemerintah lebih besar karena melihat dampaknya terhadap para buruh. Hartati pun menilainya sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap Nike.

Tidak hanya pemerintah yang beranggapan demikian. Wakil Sekjen Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Binsar Marpaung membenarkan kalau kasus penghentian pemesanan Nike adalah murni bisnis. Di sisi lain, ia ia mengakui kalau kasus tersebut akan berdampak pada citra industri nasional.

Meskipun demikian, Binsar meminta agar perusahaan tidak mencampuradukkan masalah bisnis dan citra industri sepatu nasional. Indonesia harus mempertahankan nilai ekspor sepatu nasional yang terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan di atas 10%. Dikatakan, pada tahun 2006, nilai ekspor sepatu nasional mencapai US$1,61 miliar atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni US$1,42 miliar.

Ketua Umum Aprisindo, Edy Wijanarko, menambahkan, kasus tersebut sangat berpotensi mengganggu stabilitas keamanan dan perekonomian nasional. Aprisindo menyarankan kepada kedua belah pihak agar lebih mendahulukan kepentingan nasional dalam arti luas. Kedua belah pihak bisa saling bertemu dan merundingkan permasalahan bisnis tersebut, sehingga tidak mengganggu industri persepatuan Indonesia. Perundingan diharapkan dapat berjalan terus-menerus sampai ada kesepakatan kedua belah pihak. Aprisindo menyarankan kepada pihak Nike Inc untuk membuka perundingan kembali dan memberikan kelonggaran waktu kepada PT Hasi dan PT Nasa. Sementara itu, pihak PT Hasi dan PT Nasa diharapkan dapat mempersiapkan diri dengan baik sehingga dapat memanfaatkan kelonggaran waktu yang diberikan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Djimanto menganggap kasus tersebut sebagai kasus yang biasa. “Bagi saya, pemutusan kontrak itu adalah hal yang biasa. Kalau ada pemutusan, ya cari order lain,” jawabnya sederhana.

Lebih jauh, ia belum bisa membaca latar belakang pemutusan kontrak tersebut karena itu adalah rahasia perusahaan mereka. Tetapi yang jelas,kasus itu adalah terkait hubungan antara kedua belah pihak. “Ya, urusan bisnis lah,” cetusnya.
Djimanto menyebutkan, meskipun terjadi pemutusan kontrak dengan PT Hasi dan Nasa, namun di Indonesia masih ada lima perusahaan yang masih. Bahkan ada satu perusahaan lagi yang akan menerima order. (musim)
(OPINI Indonesia)