07 Desember 2007

Mendukung Resolusi 1747; Indonesia Salah bersikap

Mukhlis Hasyim
(Fungsionaris PB PMII, Mahasiswa Pascasarjana Politik & HI Timur Tengah, UI)
Sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), pemerintah Republik Indonesia telah mengambil sikap kontroversial. Dalam rapat pleno di Markas Besar DK PBB di New York, pada 24 Maret 2007 lalu, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menandatangani dukungan atas resolusi 1747 yang memberikan sanksi terhadap Republik Islam Iran atas program nuklir yang dikembangkannya। Atas dukungan itu, pemerintah Indonesia menuai kecaman dari berbagai kalangan termasuk Komisi I DPR RI.

Mengapa dukungan pemerintah Indonesia pantas diprotes dan menolak resolusi 1747? Pertama, resolusi 1747 tidak sesuai dengan prinsip keadilan mengingat Iran bukan satu-satunya negara yang memiliki program nuklir. Di Timur Tengah saja, Israel merupakan negara yang memiliki program yang sama, mengapa tidak dipersoalkan? Ini menunjukkan ada perlakuan diskriminatif terhadap Iran.

Tidak salah jika Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad melontarkan protes kepada Amerika Serikat yang memintanya menghentikan program nuklir Iran. “Jika program nuklir berbahaya dan tidak baik untuk dikembangkan mengapa ada yang boleh menggunakannya. Sebaliknya, jika program nuklir itu berguna dan baik untuk dikembangkan, mengapa kami tidak boleh memiliknya”, katanya dalam berbagai kesempatan.

Kedua, Iran pada dasarnya memiliki legalitas dalam mengembangkan program nuklir untuk tujuan damai dan kemanusiaan. Iran telah tercatat sebagai anggota dalam traktat non profilerasi. Ini berarti Iran boleh mengembangkan pengayaan uranium nuklir untuk tujuan damai. Kenyataannya Iran lebih ditentang dan mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan negara-negara lain seperti Israel maupun Korea Utara.

Sikap ini dengan jelas menunjukkan bahwa PBB di bawah dominasi Amerika Serikat memiliki misi terselubung terhadap Iran. Di sisi lain, tampaknya Amerika juga merasa takut terhadap Korea Utara yang memiliki kedekatan dengan Cina. Sementara Israel adalah perpanjangtanganan Amerika Serikat di Timur Tengah.

Meskipun demikian, Iran masih menunjukkan diri sebagai negara yang bersahabat. Iran pun menyatakan bersedia berunding. Namun arogansi Amerika Serikat justru memberikan syarat agar sebelum berunding, Iran harus menghentikan program nuklirnya terlebih dahulu.

‘Lawan’ dunia ketiga

Dengan mendukung resolusi 1747, maka pemerintah Indonesia telah dua kali melakukan kesalahan dalam memanfaatkan perannya di DK PBB। Sebelumnya, pemerintah Indonesia bersikap abstain terhadap resolusi Myanmar yang semestinya mendukung resolusi tersebut. Akibatnya, pemerintah Indonesia telah kehilangan kredibilitasnya di mata negara-negara dunia ketiga dan mematahkan upayanya untuk menjadi mediator dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah. Sebab, mau tidak mau posisi Indonesia di DK PBB pasti dianggap merefresentasikan negara-negara dunia ketiga.

Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, juga sangat diharapkan untuk ikut terlibat dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah. Sebab, selain konflik eksternal, konflik Timur Tengah juga semakin dipertajam dengan konflik di internal umat Islam yaitu konflik Sunni-Syiah. Minimal, Indonesia punya andil dalam mempercepat terselesaikannya konflik sekterian itu.

Kini pemerintah Indonesia harus berjuang keras memberikan klarifikasi atas dukungannya terhadap resolusi 1747. Pemerintah beralasan bahwa meskipun menolak resolusi, tidak akan mampu mempengaruhi keputusan karena sebagai anggota tidak tetap, Indonesia hanya memiliki hak bicara, bukan hak suara. Tapi bukankah alasan yang demikian hanya semakin memperkuat bahwa pemerintah Indonesia hanya ikut-ikutan. Pemerintah Indonesia tidak memiliki pendirian yang utuh sebagai negara yang terlibat dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun negara-negera non-blok yang di dalamnya terdiri dari negara dunia ketiga.

Pemerintah Indonesia tampak tidak memiliki keberanian untuk berpihak kepada Iran selaku anggota OKI dan negara non-blok. Sekaligus, pemerintah telah mementahkan kebesaran kedua organisasi tersebut. Walhasil, OKI dan negara non-blok akan dilihat sebagai organisasi yang tidak memiliki visi yang jelas serta tidak berdaya di mata internasional.

Persahabatan dengan Iran

Hubungan Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah telah terbangun sejak lama. Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim senantiasa memiliki ketergantungan terhadap negara di Timur Tengah terutama Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah haji. Hingga kini, masyarakat Indonesia juga masih banyak yang menggantungkan hidup di Timur Tengah sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Sebaliknya, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, masyarakat Timur Tengah yang masih dilanda konflik sekterian antara Sunni-Syiah banyak menaruh harapan kepada Indonesia untuk terlibat sebagai salah satu mediator perdamaian. Kunjungan ulama besar, Syeikh Yusuf Qaradhawi ke Indonesia beberapa waktu lalu menunjukkan betapa Indonesia memiliki potensi untuk itu.

Kunjungan Presiden Republik Islam Iran, Mahmud Ahmadinejad pada Mei 2006 lalu telah membuktikan betapa Iran tidak mau diadu domba untuk sekadar berkonflik karena beda aliran. Ahmadinejad sebagai pemimpin di negara Syiah dengan tulus menunjukkan keharmonisannya dengan negara yang mayoritas Sunni seperti Indonesia. Di saat itu pula, Iran meminta dukungan kepada masyarakat Indonesia untuk tidak mempersoalkan program nuklir Iran. Pemerintah Indonesia pun meresponsnya posistif asalkan berkomitmen bahwa program nuklir Iran bertujuan damai dan kemanusiaan.

Kenyataannya, saat Indonesia berkesempatan berbicara di forum DK PBB, pemerintah Indonesia malah mendukung Resolusi 1747 yang memberikan sanksi kepada Iran.

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Republika tanggal 2 April 2007)