18 Januari 2008

Bantu Tugas Dewan, 550 Staf Ahli Kembali Dikerahkan

Kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bergantung kepada fasilitas. Sebanyak 550 orang staf ahli kembali akan dikerahkan untuk menopang tugas mereka. Mampukah menghasilkan produk yang lebih baik?

”Menjadi Anggota Dewan, enak ya. Sepertinya ga sulit jadi anggota Dewan. Semua kebutuhan dibiayai. Pekerjaannya ga banyak karena sudah banyak yang ditangani oleh staf ahli,” cetus seorang staf di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang enggan disebutkan namanya. Ungkapannya keluar secara reflek saat berbincang dengan OPINI Indonesia di gedung DPR RI tentang pelayanan fasilitas anggota Dewan yang terus meningkat.

Sebaliknya, beberapa waktu lalu, beberapa staf pernah mengeluh. Berdasarkan alokasi anggaran untuk mereka, para staf yang bekerja sebagai staf pribadi itu mengatakan bahwasanya meraka masuk dalam kategori ’barang’. Sebab, gaji mereka masuk dalam anggaran fasilitas anggota Dewan.

Perbincangan tentang fasilitas wakil rakyat di parlemen tak pernah habisnya. Hampir setiap tiga bulan, selalu ada fasilitas baru yang coba diberikan kepada wakil rakyat itu. Kini, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR kembali memutuskan untuk mengalokasikan dana bagi 550 orang staf ahli DPR yang baru. Anggaran dana-nya pun tak tanggung-tanggung. Sekitar Rp. 33 milyar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali mengalir ke senayan.

Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Mohammad Yasin Kara menyambut baik kebijakan tersebut. Menurutnya, untuk mendapatkan hasil kerja yang baik, DPR membutuhkan staf ahli yang banyak. Bila dibandingkan dengan parlemen di negara-negara lain, staf ahli di DPR RI masih sangat tidak memadai. Pihaknya menyebutkan, di negara lain membutuhkan staf ahli dalam jumlah yang cukup besar. Misalnya Amerika, masing-masing angota Dewan dibantu oleh minimal enam orang staf ahli. Sementara di Thailand, memiliki minimal empat orang.

Kebijakan yang keluar dari DPR berdampak sangat dahsyat terhadap masyarakat. Maka, kalau produk peundang-undangan itu salah sedikit saja, maka yang akan mengalami problemnya adalah masyarakat. Oleh karena itu, DPR harus memiliki support yang akurat. ”Tidak hanya jumlah, tetapi staf ahli seharunya juga minimal berpendidikan S3 (Doktor). Tetapi karena keterbatasan anggaran, maka yang bisa disiapkan sementara ini masih berpendidikan S2 (master). Lebih-lebih, yang namanya anggota DPR kan bukan ahli, sehingga diperlukan hadirnya tenaga-tenaga yang bisa menopang kinerjanya. Mereka dapat memberikan masukan dalam rangka pengambilan desision-desision,” terangnya.

Menyadari keterbatasan anggaran inilah, maka kehadiran mereka yang hanya selevel master pun tidak masalah. Asalkan anggota Dewan sudah merasa cukup terbantu dengan kehadiran mereka. Sebab, seorang staf ahli dengan level yang lebih tinggi, akan tidak layak kalau hanya digaji dengan Rp. 7 juta-an seperti saat ini.

Ditolak

Meski dengan alasan sebagai penunjang peningkatan kinerja anggota Dewan, kebijakan tersebut tak luput dari kontroversi. Para pemantau parlemen angkat bicara menolak rencana tersebut. Pusat Studi Hukum dan Ketatanegaraan (PSHK), misalanya. Melalui siaran persnya, lembaga yang concern memantau perkembangan di parlemen ini menolak inisiatif itu. Menurutnya, upaya DPR untuk merekrut 550 orang staf-ahli yang baru, berpeluang menimbulkan masalah baru. Selain menambah biaya, juga akan menambah keruwetan baru dalam koordinasi dan sinergi dengan sumber daya manusia (SDM) pendukung yang telah ada.

Dalam hitung-hitungan PSHK, dari 550 staf ahli baru dengan asumsi mendapatkan honorarium masing-masing Rp. 7,5 juta per bulan, maka negara akan terbebani sekitar Rp. 4,125 milyar per bulan. Selain itu DPR RI telah memiliki banyak sekali staf pendukung. Sebut saja, Peneliti pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Indormasi (P3DI), Perancang Peraturan Perundang-undangan, Staf Ahli pada Badan Legislasi (Baleg), Staf Ahli Fraksi, Staf Ahli Komisi, dan Staf Pribadi. Sementara, hubungan kerja antar dukungan guna melaksanakan fungsi DPR tersebut hingga kini masih belum jelas. Diantara mereka tidak memiliki strategi yang menyeluruh agar semua dukungan ini mampu bersinergi dengan baik. Hal ini sering mengakibatkan ketidakjelasan, tumpang tindih, kecemburuan akibat kesenjangan penghargaan maupun ketidakefektifan dalam implementasi kerja antar unit pendukung tersebut.

Sebaliknya, DPR mengutamakan ide-ide baru dari pada melakukan kajian secara menyeluruh. Padahal, Februari 2006 lalu, DPR membentuk Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, yang bertujuan untuk memetakan masalah dan menghasilkan rekomendasi dalam hal peningkatan kinerja Dewan dalam melaksanakan fungsinya. Namun hasil kajian yang mengarah kepada penguatan kelembagaan unit-unit yang telah ada tidak dilaksanakan. Justeru yang dilakukan adalah penambahan jumlah.

Di samping itu, dukungan saitf ahli untuk perorangan bagi setiap anggota Dewan dinilai tidak epektif. Terobosan semacam ini hanya akan menimbulkan dampak negatif antara lain kompetensi staf ahli yang direkrut akan menjadi tidak terarah dan tidak optimal. Tidak mungkin ada seorang staf ahli yang menguasai semua hal yang diperlukan oleh seorang anggota dewan. Juga, berpeluang untuk menimbulkan penyimpangan baru. Fenomena staf pribadi dengan gaji sekitar Rp. 3 juta per bulan seringkali disimpangkan menjadi supir pribadi. Dengan berbagai variasi yang lain, hal semacam ini bisa saja muncul kembali.

Yang diinginkan PSHK adalah staf ahli cukup dilekatkan kepada berbagai alat kelengkapan yang ada. Dan itulah yang harus ditingkatkan kompetensinya. ”Kompetensi mereka akan lebih terarah dan optimal sesuai dengan kebutuhan fungsi DPR maupun masing-masing alat kelengkapan bila dilekatkan kepada alat kelengkapan yang ada. Peluang untuk penyimpangan pun bisa diminimalisir karena akan mempermudah pengawasan,” sebutnya.

Kalaupun di negara lain, seperti Amerika Serikat yang memiliki hingga 18 staf ahli untuk masing-masing anggota kongres, namun perlu diingat bahwa kongres sendiri telah memiliki kapasitas kelembagaan yang sudah mapan terlebih dahulu. (musim)

(Opini Indonesia/Edisi 83/21-27 Januari 2007)