Keputusan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) tentang aliran agama tertentu dinilai sebagai intervensi negara terhadap pelaksanaan keyakinan warga negara. Sejauh mana wewenang Bakor Pakem dalam memutuskan kebenaran aliran agama tertentu?
Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) telah menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan aliran sesat. Keputusannya itu menyusul adanya klarifikasi dari Ahmadiyah tentang 12 ajarannnya.
Hasil rapat Bakor Pakem ini memberi kesempatan kepada Ahmadiyah untuk membuktikan pernyataannya bahwa ajarannya sama dengan Islam. Bakor Pakem tidak melarang ajaran Ahmadiah. Demikian dikatakan anggota Bakor Pakem dari unsur Kejaksaan Agung Wisnu Subroto di Jakarta (15/1).
Menurut Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung ini 12 butir pokok keyakinan Ahmadiyah tidak bertentangan dengan Islam. Hal itu merupakan hasil dari 7 kali dialog yang dilakukan Ahmadiyah dengan Departemen Agama. Ke-12 ajaran yang disampaikan oleh Ahmadiyah tidak bertentangan dengan 10 ciri aliran sesat versi MUI. ”Kalau kita bandingkan dengan ciri-ciri aliran sesat MUI, rasanya Ahmadiyah tidak bertentangan. Lag pula Ahmadiyah uga terdaftar di Departemen Dalam Negeri pada tahun 1953 sebagai ormas keagamaan,” jelas Wisnu.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih tetap mempertahankan fatwanya dan belum dicabut. Sebelumnya, pada Musyawarah Nasional (Munas) tahun 1980, MUI mengeluarkan fatwa tentang Ahmadiyah yang menetapkan aliran Mirza Gulam Ahmad ini sesat. MUI kembali memperkuat fatwanya pada tanggal 29 Juli 2005. Fatwa bernomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 menegaskan kembali keputusan fatwa tahun 1980 itu.
Sebelumnya, MUI dan Bakor Pakem juga telah bersama-sama menetapkan bahwa ajaran Lia Eden dan Al Qiyadah Islamiyah. Berawal dari keputusan kedua lembaga itu pun selanjutnya menghantarkan kedua pemimpin aliran tersebut ke terali besi.
Rame-Rame Diserang
Bakor Pakem menjadi sasaran semua elemen baik yang pro maupun kontra fatwa MUI. Bagi kelompok agama tertentu yang mendukung fatwa MUI, keputusan Bakor Pakem dinilai tidak tepat. Mereka mengecam keputusan Bakor Pakem yang tidak melarang ajaran Ahmadiyah.
Sebaliknya, pihak yang kontra fatwa MUI pun menolak kehadiran Bakor Pakem sebagai penentu kebenaran suatu aliran agama. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergabung dalam Human Rights Working Group (HRWG) mempertanyakan kapasitas Bakor Pakem dalam mengatur masyarakat dalam menjalankan keyakinannya.
Koalisi ini pun mendesak agar Bakor Pakem dibubarkan karena melanggar kebebasan beragama atau menjalankan kepercayaan. Menurutnya, bakor Pakem adalah lembaga warisan Orde Baru. Bakor Pakem seolah seperti forum peradilan melakukan tindakan merekomendasikan pelarangan agama/kepercayaan yang mengambil alih fungsi lembaga peradilan yang sebenarnya Ini tentunya mengacaukan sistem peradilan pidana terpadu.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Direktur Wahid Institut, Ahmad Su’aidi. Pihaknya menyambut baik keputusan Bakor Pakem yang tidak melarang ajaran Ahmadiyah. Namun pihaknya masih menyayangkan alasan mentolerir ajaran Mirza Gulam Ahmad itu. ”Keputusan Bakor Pakem memang cukup menggembirakan. Tetapi prinsip-prinsip dari argumentasinya masih menggunakan salah benar. Jadi, kalau Ahmadiyah tidak bertentangan dengan Islam, maka akan dilarang juga,” kata aktifis pluralisme Ahmad Su’aidi yang ditemui di kantor Wahid Institut (18/1).
Intervensi Negara
Kebergantungan terhadap Keputusan Bakor Pakem terhadap aliran agama tertentu dinilai sebagai bentuk intervensi negara terhadap hak menjalankan keyakinan warga negara. ”Atas dasar apa Bakor Pakem bisa melarang orang menjalankan kepercayaannya selama itu dijalankan dengan damai?,” juru bicara HRWG Rafendi Djamin.
Menurutnya, keputusan Bakor Pakem tersebut sebetulnya menunjukkan secara nyata intervensi negara terhadap kebebasan beragama/kepercayaan di Indonesia. Undang-undang (UU) No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pun tidak memberikan mandat kepada negara untuk melakukan intervensi terhadap kebebasan beragama/kepercayaan.
Sebaliknya, pelarangan suatu agama atau kepercayaan, hanya bisa dilakukan jika terbukti mengganggu keamanan, ketertiban, kesehatan serta hak dan kebebasan orang lain. Namun Ahmadiyah terbukti selama ini menjalankan kepercayaannya secara damai.
Ahmad Suaidi juga menyebutkan, Bakor Pakem tidak diperlukan. Lembaga yang mengatur serta ukurannya sudah jelas. Warga negara manapun yang bertindak kriminal sudah jelas menjadi urusan hukum dan pengadilan. Dan keyakinan tidak bisa diperelakukan seperti itu. ”Saya tidak setuju dengan Bakor Pakem ini. Kecuali memang ada aliran agama yang benar-benar mengeksploitasi pengikutnya, terdapat kriminalitas, dll. Nah, itu yang harus disikapi,” Katanya.
Siapakah yang paling berkepentingan dengan Bakor Pakem? Su’aidi menyebutkan adanya aliran-aliran baru yang berasal dari luar Indonesia. Mereka yang ingin memaksakan ajaran Islam di Timur Tengah diterapkan di Indonesia. ”Ahmadiyah memang berasal dari luar Indonesia, tetapi dia tidak memaksakan ajarannya dan mereka berdakwah sebagaimana yag lain,” tambahnya.
Pakem ingin digunakan oleh kelompok-kelompok ini untuk mendiskreditkan kelompok lain. Nanti kalau Ahmadiyah berhasil dilarang oleh Bakor Pakem, saya yakin akan merembet kepada kelompok-kelompok lain,” ceusnya. (musim)
(OPINI Indonesia/Edisi 83/21-27 Januari 2008)
18 Januari 2008
Saat Kebenaran Aliran Agama Berada di Bakor Pakem
Label: Berita dari Opini Indonesia