Masalah pemberian insentif legislasi untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi inspirasi dalam upaya melakukan penghematan belanja DPR. Parlemen telah menyadari bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mengalir ke Dewan Perwakilan Rakyat terlampau besar. Seriuskah?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan melakukan penghematan anggaran. Beberapa sektor anggaran akan dipangkas. Salah satunya adalah menghapus tunjangan legislasi untuk pengesahan RUU baik bagi anggota maupun pimpinan. Demikian dikatakan Ketua DPR RI, HR. Agung Laksono seusai memimpin rapat konsultasi pimpinan DPR bersama pimpinan Fraksi DPR, BURT dan Sekjen DPR di Jakarta (23/1).
Penghapusan tunjangan legislatif terhadap anggota, menurut Agung, sudah diputuskan melalui rapat Badan Legislasi (Baleg). Sementara itu, keputusan penghapusan jatah pimpinan DPR dan jatah pimpinan fraksi baru difinalkan dalam rapat konsultasi tersebut.
Selain menghapus tunjangan legislatif, DPR juga akan merasionalisasi anggaran di sektor lain. Misalnya, sebut Agung, pengurangan hari kunjungan kerja ke luar negeri, pengurangan jatah delegasi, dan pengurangan jumlah negara yang dikunjungi. Bila diakumulasi, upaya penghematan tersebut dapat mencapai Rp. 80 miliar.
Amburadul
Parlemen memang layak mendapatkan pembenahan sekaligus penghematan pembiayaan. Mengalirnya banyak anggaran di Senayan menunjukkan betapa terjadi kesenjangan antara rakyat dan wakilnya di DPR. Selain itu, masih terdapat sistem yang amburadul termasuk dalam admiistrasi keuanganya. Kritik pedas itu justeru datang dari kalangan anggota Dewan. Mereka menilai banyak anggaran yang tidak logis, sehingga selayaknya ditolak.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP), Ganjar Pranowo mengaku sempat mendebat ketua DPR, HR Agung Laksono saat memutuskan pemberian insentif legislasi senilai masing-masing Rp. 39 juta kepada seluruh anggota Dewan. Argumentasi Agung Laksono yang menyebutkan pemberian insentif itu karena telah dianggarkan, merupakan alasan yang ’konyol’. ”Parlemen kita amburadul dan banyak duit. Tiba-tiba saya mendapat duit Rp. 39 juta. Katanya, karena anggarannya sudah tersedia. Itu kan ’konyol’”, terang Ganjar
Anggota fraksi oposisi ini menjelaskan, kalau anggaran berbasis kinerja semestinya berdasarkan function. Function itulah yang diikuti dengan uang. Kalau memang ada pekerjaan yang dikerjakan, insentif dapat diterima sebagaimana mendapatkan jatah masing-masing Rp 5 juta setiap disahkannya UU bagi mereka yang terlibat dalam pembahasan. ”Kalau yang ini kan sah-sah saja. Lebih baik ditambah lagi jumlahnya, dari pada ngakal-ngakalin,” cetunya.
DPR adalah pabrik kebijakan yang akan menentukan proses panjang ke depan. Ketika sistemnya amburadul, maka hancurlah proses panjang ini. Tetapi itulah yang terjadi di DPR. ”Artinya, masih ada bangunan berfikir dan argumentasi teman-teman saya di DPR yang keliru. Juga, mekanisme administrasi keuangan yang masih sangat keliru. Terbukti hampir semua duit yang masuk itu tidak ada laporan ke kita. Inilah yang harus dibongkar. Publik juga harus proaktif melakukan pengawasan,” katanya.
Fenomena anggaran DPR ini marak dibicarakan setelah sebelumnya, uang rapelan sebagai insentif dari 39 UU yang diselesaikan Dewan tiba-tiba masuk ke rekening anggota. Para anggota Dewan telah mengaku ditelepon oleh pihak Bank Mandiri bahwa di rekenngnya telah masuk uang insentif senilai Rp. 39 juta itu.
Pemberian insentif pada dasarnya dilakukan sebagai bentuk penghargaan atas pencapaian yang luar biasa untuk mendorong adanya pencapaian yang baik di masa yang akan datang. Insentif sejumlah itu adalah akumulasi dari Rp. 1 juta per UU. Apakah anggota Dewan berprestasi?
Merujuk kepada hasil kerja anggota Dewan, maka pemberian insentif memang tidak layak diberikan karena Dewan sendiri tidak lah prestisius. Lihat saja, dari 78 RUU yang tercantum pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2007, Parlemen hanya mampu menyelesaikan 39 UU saja. RUU itu pun diantaranya berupa RUU Pemekaran Wilayah, lima RUU merupakan ratifikasi perjanjian internasional, dan dua lainnya adalah penetapan Perpu.
Pusat Studi Hukum dan Ketatanegaraan (PSHK) dalam siaran persnya mengatakan bahwa tunjangan legislasi ini paradoks di tengah segala perbaikan fasilitas dan keuangan yang telah diterima oleh anggota DPR saat ini. Menurutnya, fasilitas dan keuangan yang diterima anggota DPR saat ini sudah berada dalam kondisi yang jauh lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya. ”Saat ini seorang anggota DPR setidaknya bisa memperoleh take home pay kurang lebih Rp. 46 juta setiap bulannya. Lalu apa alasan untuk menambah jumlah tersebut dengan insentif legislasi?,” terangnya mempertanyakan.
Betapa besar biaya sebuah produk perundang-undangan. Pada tahun 2007, anggaran biaya sebuah RUU mencapai Rp. 1,5 milyar per RUU. Jumlah ini mengalami kenaikan dari Rp. 560 juta per RUU. Dan telah disediakan anggaran senilai Rp. 5 juta rupiah bagi setiap anggota Dewan yang terlibat dalam pembahasan satu RUU. Lihat Lampiran Rincian Pendapatan Anggota DPR RI.(mh)
(OPINI Indonesia/Edisi 84/28 Januari-4 Februari 2008)
25 Januari 2008
Memangkas Angaran Dewan
Label: Berita dari Opini Indonesia







