Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia ditengarai sebagai sistem Pemilu yang paling rumit di dunia. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini tengah membahas sistem Pemilu yang efisien, sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang sibuk mempersiapkan perangkat Pemilu untuk mendukung terciptanya hasil Pemilu yang berkualitas.
Meski Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) belum disahkan menjadi Undang-Undang (UU), namun KPU sudah mulai memutar otak untuk mempersiapkan perangkat-perangkat yang berhubungan dengan Pemilu. Sebagaimana diketahui, Parlemen baru dapat menyelesaikan dua dari UU paket politik yaitu UU Penyelenggaraan Pemilu dan UU Partai Politik. Padahal, untuk menyelenggarkan Pemilu, keseluruhan UU paket politik merupakan satu-kesatuan sebagai pegangan KPU dalam menyelenggarakan Pemilu 2009 mendatang.
”Saat ini, kami baru bisa melakukan proses pembentukan Bawaslu, melakukan restrukturisasi KPU hingga ke tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Kami sudah menyiapkan aturan-aturannya karena ada sekitar 48 aturan yang harus dirubah,” kata anggota KPU, Abdul Azis saat ditemui Opini Indonesia di kantor KPU, Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat (24/1).
Selain itu, KPU juga tengah memperbaiki rencana strategis (renstra) sesuai dengan kebutuhan sambil menunggu disahkannya UU Pemilu. sehingga, kalau UU Pemilu tersebut telah disahkan, KPU sudah bisa membuat penjadwalan dan tahapan-tahapan pelaksanaan Pemilu. ”Dengan pekerjaan berat ini, kami berharap Pemilu 2009 ini akan lebih baik dari pada 2004. Lebih aman, partisifasi masyarakat yang ebih besar, pelaksananya lebih bergairah, sehingga hasilnya lebih kredibel pula,” harap Abdul Azis.
Paling Rumit
Betapa besarnya energi yang keluar guna mengurus pesta demokerasi lima tahunan ini. Lebih-lebih sistem yang diberlakukan sangat rumit. Ditambah lagi dengan intrik-intrik partai politik melalui fraksi masing-masing di DPR untuk dapat mewujudkan kepentingan partainya.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP), Ganjar Pranowo menyebutkan bahwa sistem Pemilu Indonesia merupakan sistem Pemilu yang paling rumit di seluruh dunia. Untuk mengikuti Pemilu, partai politik sudah sangat sulit. Ini dalam rangka upaya penyederhanaan partai. Maka, kalau mengikut naskah akademik yang diajukan oleh LIPI, maka sistem pemilu sangat rumt terutama bagi partai politik baru. Oleh karena itu, draft RUU telah banyak bergeser dari naskah akademiknya. ”Bayangkan saja, naskah yang diajukan sangat ekstrim. Mulai dari pendirian parpol sudah harus ada seribu orang. Juga harus mendepositkan uang senilai Rp. 50 milyar. Selain itu, kalau ingin ikut pemilu, ferifikasi dilakukan hanya satu kali oleh KPU, tetapi itu adalah syarat Pemilu bukan syarat pendirian badan hukum. Yaitu, 100 persen di seluruh propinsi, 75 persen di tingkat propinsi, 50 persen di tingkat kabupaten/kota,” jelasnya.
Dalam kasus lain, terdapat perdebatan antara dua sistem, yaitu proporsional terbuka dan proporsional tertutup. Ada partai yang tidak menginginkan adanya proorsional terbuka lantaran harus dibutuhan adanya popularitas calon. Pada sisi maka ada kekhawatiran para pengurus DPP tidak banyak yang jadi anggota legislatif lantaran tidak populer. Maka, mereka tetap mempertahankan sistem proporsional tertutup.
Otoritas partai politik juga menjadi pertimbangan bagai partai politik dalam menetapkan sistem proporsional terbuka. ”Kalau sistemnya proporsional terbuka, partai-partai hanya numpang lewat saja. Artinya kami menginginkan adanya otoritas partai yang masih punya kendali,” kata Ganjar yang kini juga tengah mencari titik tengah mempertemukan kedua sistem ini.
Di sisi lain, ada beberapa partai yang cenderung malu-malu dan terkesan ’bunuh diri’. Mereka diantaranya dari unsur Partai Persatuan Demokerasi Kebangsaan (PPDK), Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Prinsipnya, mereka pasrah dapat atau tidak dapatnya anggota legislatif, tetapi minimal mereka terkesan bahwa partainya benar-benar demokeratis.
Salah Persepsi
Banyak sekali aturan Pemilu yang masih dalam perdebatan. Harapan adanya penyelenggaraan Pemilu yang efisien masih nyangkut pada perdebatan dan lobi-lobi. Sisi lain yang tengah dicarikan titik temunya ada perdebatan tengan sistem dalam perolehan kursi legislatif. Masing-masing, ellectoral treshold (ET) dan parlementary treshold (PT).
Menurut Ganjar Pranowo, terdapat kesalahan persepsi dalam memaknai kedua istilah itu. Menurutnya, istilah ellectoral threshold yang dimaknai sekarang hanyalah model akal-akalan. Demikian juga dengan parlimentary treshold. ”ET itu tidak ada teorinya ternyata. Parlementari Treshld juga ga lucu. Sebenarnya yang lebih tetap adalah adanya sistem ellectoral treshold tetapi maknanya parlimentary treshold,” jelasnya.
Lalu, bagaimana dengan akhir dari Pemlu? Banyak pihak yang ingin mempertegas sistem presidensial. Di mana, presiden terpilih harus memiliki posisi yang kuat di parlemen dengan diimbangi oleh kekuatan oposisi.
Namun, Ganjar menilai tidak ada konsistensi partai politik dalam melaksanakan sistem ini. Padahal, koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan yang dulu terbangun, sudah cukup ideal dalam mengawal sistem ini. ”Semestinya salah satunya menjadi kekatan koalisi oposisi yang jangan masuk ke kabinet, fiur menjadi oposan. Kalau ini bisa jalan, luar bisa,” tegasnya. (mh)
(OPINI Indonesia/Edisi 84/28 Januari-3 Februari 2008)
25 Januari 2008
Mewujudkan Pemilu Yang Efisien
Label: Berita dari Opini Indonesia