Suksesnya Pemilihan Umum tergantung pada ketentuan yang mengaturnya. Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang diharapkan berkualitas ternyata kebanyakan lahir dari hasil kompromi di forum loby.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) belum juga disahkan. Padahal, Pemilu 2009 semakin dekat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun belum bisa berbuat banyak sebelum RUU ini disahkan, sebab kinerja KPU tergantung pada mekanisme kerja yang tertuang dalam UU Pemilu nantinya.
Bisa jadi sulitnya mencapai kesepakatan dikarenakan RUU ini paling krusial untuk diperdebatkan antar fraksi dibandingkan dengan RUU Paket Politik lainnya. Bagaimana tidak, RUU ini juga dapat menjadi penentu perolehan suara dan kursi masing-masing partai dalam Pemilu 2009 mendatang. Hingga kini, beberapa point penting dalam RUU ini masih nyangkut di forum loby.
Meskipun diharapkan dapat disahkan akhir bulan ini, namun upaya mencapai kesepakatan melalui forum loby pun masih alot, bahkan tidak menutup kemungkinan akan berakhir dengan mengambil jalan vooting (pemungutan suara) jika perbedaan pandangan terus berlarut. Meskipun demikian, Panitia Khusus akan mengupayakan agar RUU ini dapat disahkan akhir Januari ini.
Ketua Pansus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan meyakini, anggota Dewan masih menyadari bahwa ketentuan yang disusun dalam RUU ini adalah aturan main dalam pemilu, bukan dalam pertimbangan ’untung-rugi’. Jadi, pembahasannya pun tidak akan berlarut-larut. Namun, meskipun ada perdebatan panjang, Pansus harus dapat menyelesaikannya pada akhir bulan ini. ”Bagaimanapun alotnya pembahasan RUU ini, tapi Pansus harus mengambil keputusan akhir Januari nanti. Pansus tak akan membiarkan hal-hal yang belum disepakati dan menunda penyelesaian RUU,” katanya.
Sementara itu, Anggota Pansus Pemilu, Saifullah Ma’shum menginginkan adanya mekanisme loby yang lebih efektif untuk dapat menuai kesepakatan lebih cepat. Menurutnya, loby yang terlalu besar, resmi, dan kurang fleksibel hanya akan memperlarut pembahasan. Dalam kondisi yang demikian, bisa saja masalah yang krusial tersebut akan dilimpahkan ke pansus jika forum loby masih tetap menuai kegagalan.
Beberapa point yang masih alot dibahas dalam forum lobi, diantaranya tentang sistem Pemilu yang berkaitan dengan daerah pemilihan, jumlah kursi setiap daerah pemilihan, penentuan calon terpilih, dan sisa suara terkait ambang batas suara yaitu parliamentary threshold (PT) atau electoral threshold (ET).
Kompromi
Banyak kalangan menyayangkan aturan-aturan penting dalam Pemilu hanya mendapatkan kesepakatan melalui beberapa orang saja. Beberapa point krusial dalam sistem Pemilu hanya disepakati melalui kompromi di tingkat pimpinan.
Direktur Indonesian Parliamentary Center, Sulistio mengatakan, semestinya seluruh isi RUU ini harus dirumuskan secara bersama-sama dalam forum pembahasan. Hal ini dalam rangka mendapatkan aturan yang tepat dalam penyelenggaraan Pemilu yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokerasi.
Yang terjadi malah sebaliknya. Perdebatan alot justeru terjadi pada masalah-masalah tekhnis. Sementara masalah-masalah yang substansial hanya diselesaikan di forum loby. Sebelumnya, banyak pihak memperkirakan alotnya pembahasan akibat pertarungan kepentingan antar fraksi dalam rangka meraup suara partainya di Pemilu nanti. Ternyata perdebatan banyak terjadi pada hal-hal yang bersifat tekhnis. ”Justeru masalah-masalah tekhnis ini yang membuat proses pengesahan RUU Pemilu ini menjadi molor. Dan mereka hanya berputar-putar pada masalah yang tidak substansial,” sebut Sulistio.
Pimpinan Lembaga yang selama ini aktif mengikuti perkembangan proses pembahasan RUU Bidang Politik ini meragukan pengesahan RUU Pemilu dapat dilakukan akhir Januari mendatang sebagaimana janji dari Pansus. Menurutnya, hingga saat ini pihak parlemen baru bisa menyelesaikan pembahasan sekitar 352 DIM (daftar inventarisasi masalah). Selebihnya belum dibahas. ”Saya khawatir, dengan alasan waktu, semua masalah berikutnya akan dikembalikan lagi ke forum loby kembali,” cetusnya.
Beberapa masalah penting yang sempat masuk di forum loby diantaranya tentang Daerah Pemilihan (Dapil). Antara yang ingin Dapil ditambah dengan pengurangan jumlah kursi dan tidak ada penambahan, mengikuti sistem Dapil pada Pemilu sebelumnya. Partai Golkar misalnya, menginginkan agar Dapil ditambah dan kursi dikurangi. Jelas, partai-partai kecil menolaknya. Dikarenakan hanya akan menguntungkan partai besar termasuk Golkar.
Partai besar sekelas Golkar akan diuntungkan dengan Dapil yang yang kursinya sedikit. Asumsinya, partai Golkar memiliki suara yang merata di setiap daerah. ”Kalau Dapil yang kursinya sedikit, sudah bisa dipastikan partai-partai besar saja yang akan mendapatkan kursi,” kata Tio.
Selain itu, terjadi perebatan tentang sestem Pemilu apakah menggunakan sistem proporsional terbuka atau proporsional terbuka terbatas. Juga antara fraksi yang mengingkan sistem Parliamentary Treshold (PT) dan Ellectoral Treshold (ET). Sebelumnya, Fraksi Partai Golkar (FPG) menyatakan selain ketentuan ET sebagai persyaratan untuk mengikuti pemilu berikutnya, juga perlu dirumuskan ketentuan PT sebagai persyaratan untuk bisa duduk di DPR. Sementara Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP) cenderung mengabaikan ET dan lebih mengutamakan pemberlakukan PT.
ET adalah angka capaian (ambang batas) yang mengatur tentang boleh tidaknya suatu parpol ikut pemilu berikutnya. Sedangkan PT mengatur angka pencapaian (ambang batas) minimal yang harus dicapai untuk dapat memakai perolehan kursi di parlemen. ”Sayangnya, hal-hal yang urgen seperti di atas diputuskan melalui forum loby oleh pimpinan saja,” katanya. (MusiM)
(OPINI Indonesia/Edisi 82/14-20 Januari 2008)
14 Januari 2008
RUU Pemilu Bergantung Pada Hasil Kompromi
Label: Berita dari Opini Indonesia