03 Februari 2008

Molornya Divestasi Saham PT NNT

Proses divestasi saham PT Newmont Nusatenggara (PT NNT) tahun 2007 tak kunjung terealisasi hingga awal tahun 2008 ini. Kontroversi terkait stakeholder dalam divestasi ini membuatnya molor.

Antara Pemerintah Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat (Pemda NTB), PT NNT, dan perusahaan swasta nasional masih tetap bertahan dengan skema divestasi yang pernah ditawarkan sebelumnya. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Propinsi NTB telah menjalin kerjasama dengan salah satu perusahaan nasional yaitu PT Bumi Resaurcess TBK untuk mendapatkan andil 3% saham di perusahaan tambang yang berlokasi di Pulau Sumbawa itu.

Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) mencoba mengajak kerjasama dua perusahaan nasional lainnya dalam waktu yang berbeda yaitu PT Trakindo dan PT. Darmahenwa untuk mendapatkan 3 % saham PT. NNT. Akan tetapi, upaya itu akhirnya menuai kegagalan.

Menurut Peneliti Institute for Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, PT NNT khawatir dengan skema yang dibuat oleh pemerintah daerah dan perusahaan nasional. Perusahaan yang melakukan pengapalan tembaga dan emas ini pun menawarkan skema yang berbeda yaitu dengan menawarkan pinjaman kepada pemerintah daerah sebagai sumber dana untuk membeli saham.

”Skema yang ditawarkan PT NNT ini kan aneh. Pertama, perusahaan PT. NNT bukan merupakan lembaga keuangan bank ataupun non bank yang berhak menyalurkan pinjaman. Kedua, skema semacam ini dapat berarti bahwa perusahaan tambang tersebut membeli saham miliknya sendiri dengan menggunakan tangan pihak lain,” kata aktifis asal pulau Sumbawa ini.

Divestasi saham NNT merupakan amanat dari pasal 24 point 4 Kontrak Karya (KK). Dijelaskan, PT NNT harus mendivestasikan sahamnya secara bertahap. Di mana, pada akhir tahun kelima, PT. NNT yang memulai produksi komersialnya pada tahun 2000 ini harus mendivestasikan sahamnya sekurang-kurangnya 15 %. Pada akhir tahun keenam atau tahun 2007 (23 %), pada akhir tahun ke tujuh (30%). Pada akhir tahun ke delapan dan kesembilan masing-masing 37% dan 44%. Dengan demikian, target pada akhir tahun kesepuluh, kepemilikan saham nasional pada PT. NNT akan mencapai mayoritas yaitu 51 %.

Hasil penelitian Daeng menyebutkan, pada tahun 2005, PT NNT mampu meraih revenue (nilai penjualan) sekitar 1,5 miliar dolar atau sekitar Rp. 13.9 triliun. Revenue perusahaan tersebut cenderung mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan harga emas dan tembaga di pasaran dunia.

”Dengan jumlah penjualan yang terus meningkat maka akan semakin besar pula jumlah yang harus dibagikan kepada pemegang saham. Dengan skema divestasi versi Kontrak Karya, maka dalam empat tahun ke depan mayoritas saham PT NNT telah dimiliki perusahaan nasional. Inilah yang dikhawatirkan NNT disaat keinginannya untuk melakukan perluasan tambang di wilayah Dodo Rinti yang kini mendeposit tembaga mencapai 7 kali lebih besar dibandingkan dengan tambang Batu Hijau,” paparnya.

Oleh karena itu, pemerintah daerah harus lebih proaktif dalam mengupayakan kepemilikan saham maupun untuk menegosiasikan andil yang lebih besar dalam kepemilikan saham tersebut. Hal ini untuk menghindari jangan sampai saham perusahaan tambang ini jatuh ke tangan perusahaan swasta murni. Sebab, akan semakin melemahkan control masyarakat terhadap kegiatan operasi perusahaan tambang multinasional tersebut, yang sampai saat ini belum memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Duet Pemerintah-PT NNT


PT New Month Nusa Tenggara (NNT) harus mampu menjamin dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak bisa dinafikan bahwa keberadaan PT NNT juga memberikan konstribusi yang cukup besar bagi daerah NTB. Tetapi, NNT harus merubah manajemen yang tertutup menjadi lebih terbuka. Dengan demikian, tambang di Sumbawa yang kini dikelola NNT akan terasa menjadi milik rakyat, bukan milik milik asing. Demikian dikatakan aktifis gerakan, Viken Madrid di Mataram saat dihubungi OPINI Indonesia melalui telepon celluler.

Pernyataan Viken tersebut disampaikan guna memperkuat proses divestasi NNT menjadi lebih berpihak kepada masyarakat. Menurut Viken, divestasi NNT harus transfaran. Entah dengan perusahaan manapun. Karena divestasi NNT bukan untuk elit daerah melainkan untuk masyarakat.

”Divestasi NNT adalah hak rakyat, bukan pemberian atau belaskasihan NNT masyarakat NTB. Maka jelas, divestasi dan segala hasil pengapalan NNT harus diurus dengan jujur oleh Pemda melalui APBD,” tegasnya.

Mantan aktifis gerakan mahasiswa ini menolak adanya keterlibatan pihak ketiga dalam divestasi NNT, termasuk oleh PT Darma Henwa dan PT Bumi Resourses tbk. Viken menginginkan pengelolaan tambang tersebut harus dilakukan antara pemerintah dan PT NNT. Sebelumnya Pemda Propinsi dan Pemda KSB berkeinginan untuk menggandeng kedua perusahaan milik Bakrie Group itu untuk membeli saham divestasi PT NNT.

”NNT harus sejajar sebagai mitra dengan Pemda, tanpa ada pihak ke tiga yang mengatur pengelolaan divestasi. Biar jelas saham divestasi masuk ke APBD biar tidak dibagi-bagi lagi. Oleh karena itu konflik Pemda dan NNT dalam penentuan perusahaan untuk mendapat saham divestasi NNT segera dihentikan karena tidak produktif,” ungkapnya.

Sementara itu, viken yang juga mantan Ketua Umum PMII Mataram ini juga melihat adanya sikap keabu-abuan dari Pemda maupun DPRD dalam menyelesaikan divestasi NNT. Pihaknya menginginkan agar hasil tambang benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat. Maka, segala hasil dari bentuk kerjasama kedua belah pihak harus dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). ”Melalui APBD, masyarakat akan lebih mudah melakukan pengawasan. Jangan sampai disalahgunakan,” cetusnya.

Sebelumnya, keterlibatan pihak ketiga ini dalam divestasi NNT juga ditolak oleh berbagai elemen masyarakat NTB. Namun, mereka secara spesifik menolak keterlibatan Bakrie Group. Dua kelompok masyarakat, masing-masing Kaukus Muda Politik Nusa Tenggara Barat dan Forum Masyarakat Bersatu yang terdiri dari BEM IAIN, BEM Muhamadiyah, BEM AMM mendesak Pemerintah Daerah NTB mengambil saham NNT melalui perusahaan daerah.

PT NNT adalah perusahaan patungan Indonesia antara Nusa Tenggara Partnership yang memiliki saham 80% dan PT Pukuafu Indah (Indonesia) sebesar 20%. Sementara, dari 80% dari saham Nusa Tenggara Partnership, dimiliki oleh dua perusahaan lagi yaitu Newmont Indonesia Limited (56,25%) dan Nusa Tenggara Mining Corporation (43,75%).

Perusahaan yang didirikan pada 1986 ini terletak di sebelah barat daya pulau Sumbawa, di Kecamatan Jereweh dan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa, Provinsi NTB. Memulai produksi komersialnya pada tahun 2000 berdasarkan kontrak karya PT NNT dengan Pemerintah Indonesia.

Saat ini, PT NNT telah menyumbangkan sekitar US$ 35,90 juta setiap tahun kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk pajak, non-pajak serta royalti. Di samping itu, PT NNT setiap tahun membelanjakan lebih dari US$ 183 juta untuk pembelian barang dan jasa dari dalam negeri Indonesia, US$ 55 juta untuk pembayaran gaji karyawan nasional dan US$ 2,3 juta untuk program pengembangan masyarakat.

Berdasarkan pasal 13 Kontrak Karya antara PT NNT dengan Pemerintah Indonesia dan Surat Dirjen Pertambangan Umum Nomor 310/20.01/DJP/2000 tanggal 24 Februari 2000, PT NNT telah melaksanakan pembayaran royalti penjualan konsentrat yang dikapalkan selama Juli - September 2007 (royalti triwulan II/2007) kepada Pemerintah Indonesia baru-baru ini. Pembayaran royalti sebesar US$ 7.242.788,47 dengan perincian tembaga Cu $ 4.251.697,85, emas Au $ 2.855.280,88 dan perak Ag $ 135.809,74. Jumlah ini setara dengan Rp. 65 miliar pada kurs Rp.9.000. Dengan demikian, pembayaran royalti sejak pengapalan konsentrat pertama pada 1999 hingga saat ini sebesar US$ 141.677.803,95. (mh)

(OPINI Indonesia/Edisi 85/Nasional/4-10 Februari 2008