Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selalu kalah langkah oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah tidak diberikan wewenang dalam menetapkan Undang-Undang (UU), lahan DPD kembali direbut. Para pengurus partai politik yang mencetak anggota DPR itu, kini boleh mencalonkan diri juga menjadi anggota DPD. Tak urung membuat DPD ’kebakaran jenggot’.
Keputusan memperbolehkan pengurus partai politik sebagai calon anggota DPD lahir setelah disahkannya UU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (3/3) lalu. Pasal 63 tentang persyaratan menjadi calon anggota DPD dalam UU Pemilu yang lama telah dihapus. Artinya, tidak ada pasal yang melarang pengurus parpol turut serta sebagai kontestan calon anggota DPD pada Pemilu 2009 mendatang.
Sebelum disahkannya UU Pemilu yang baru, Pasal 63 UU Pemilu lama itu menyebutkan bahwa pengurus parpol yang menjadi calon anggota DPD harus sudah berhenti mininal empat tahun terhitung sejak tanggal menjadi calon.
Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC), Sulastio bersama-sama koalisi LSM untuk Penyempurnaan Paket UU Politik juga telah mengumpulkan puluhan ribu dukungan atas petisi yang menolak partai politik masuk kamar DPD. Mereka berharap, kalangan partai politik cukup berada di DPR saja. Kalau partai politik juga di DPD, maka check and balances antar lembaga perwakilan dianggap akan lemah.
Yudisial Review
’Lawan’ utama DPD adalah Undang-Undang hasil produk DPR. Fraksi-fraksi DPR kerap memunculkan perundang-undangan yang ’merugikan’ kapasitas DPD. Tak heran jika sebelumnya DPD selalu berkeinginan keras melakukan revisi terhadap UU Susunan dan Kedudukan (UU Susduk) Anggota DPR, DPD dan DPRD hingga amandemen terhadap UUD 1945 yang ke lima.
Belum tuntas perjuangan melakukan revisi UU Susduk dan amandemen UUD 1945, kini DPD kembali berjuang keras ’melawan’ keputusan DPR dengan melakukan uji materiil (yudisial review) terhadap UU Pemilu yang baru berusia tak lebih dari seminggu itu.
"Tidak adanya ketentuan ini dalam UU Pemilu yang baru kami nilai melanggar konstitusi, karena anggota DPD merupakan wakil daerah yang independen, bukan anggota partai politik," kata Laode Ida di Jakarta.
Maka, untuk mempersiapkan langkah berikutnya, DPD telah menggelar rapat pimpinan, rapat Panitia Ad Hoc (PAH), dan rapat berbagai alat kelengkapan DPD guna menjaring masukan dari pakar hukum, politik, dan pemerintahan.
Lembaga Kajian Konstitusi (LKK) yang dipimpin pakar hukum tata negara Uiversitas Padjajaran (Unpad) Bandung turut memberikan masukan atas rencana amandemen yudicial review UU Pemilu dan amandemen UUD 1945 itu. Mereka menggelar rapat tertutup di ruang kerja ketua DPD, Ginanjar Kartasasmita di Gedung Nusantara III Komplek Gedung Parlemen, Senayan (4/3).
Wakil ketua DPD, Laode Ida menyebutkan dan membenarkan bahwa pertemuan tersebut adalah bagian dari upaya sekaligus persiapan DPD untuk mengajukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). ”Pertemuan itu membahas dua agenda utama, yakni rencana amendemen kelima UUD 1945 dan meminta masukan tentang judicial review UU Pemilu,” sebutnya.
Verivikasi Ulang
Partai politik yang tidak memenuhi parliamentary treshold, tidak mendapatkan jatah kursi di DPR, tetapi tetap dapat menjadi peserta pemilu berikutnya tanpa melalui proses perifikasi ulang. Tidak demikian bagi, calon anggota DPD yang tidak mendapatkan kursi di DPD. Mereka harus melakukan perifikasi ulang dengan mengmpulkan dukungan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu yang baru.
Pasal 12 hurup (p) menyebutkan, calon DPD harus mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Selanjutnya dalam pasal 13 dijelaskan bahwa kisaran jumlah dukungan minimal antara 1.000 orang dalam 1 juta jumlah penduduk di satu daerah pemilihan, hingga 5.000 dalam 15 juta penduduk dalam satu propinsi.
Dengan aturan tersebut, maka hasil perolehan suara calon anggota DPD pada Pemilu 2004 tidak dijadikan dasar perhitungan electoral threshold (ET) calon anggota DPD di Pemilu 2009 nanti. ”Mestinya, ketika bagi partai politik yang mencapai ET boleh ikut kembali dalam pemilu tanpa verifikasi, untuk DPD juga dikenakan ketentuan yang sama. Hasil suara DPD pada pemilu yang lalu harus dihargai juga. Jadi, setiap anggota DPD yang kembali menjadi calon tidak perlu diverifikasi dukungan lagi,” kata anggota DPD dari Kalimantan Selatan, Sofwat Hadi.
Sofwat menyebutnya sebagai suatu ketidakadilan. Sebab hasil suara partai politik dihargai dengan tidak melakukan perifikasi ulang, smenetara hasil suara DPD tidak diberlakukan. Jadi, tidak hanya ketentuan diperbolehkannya pengurus Parpol yang dipersoalkan DPD. Terdapat tiga hal krusial terkait persyaratan calon anggota DPD yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Selain membolehkan pengurus parpol menjadi anggota DPD, syarat domisili dan penggunaan hak suara sebagai syarat awal dukungan calon juga akan menjadi bahan gugatan DPD.
UU Pemilu yang lama juga menyebutkan calon anggota DPD harus berdomisi minimal selama tiga tahun berturut-turut di propinsi daerah pemilihannya. Atau paling sedikit berdomisili selama 10 tahun di daerah pemilihan tersebut sejak berusia 17 tahun terhitung sejak tanggal menjadi calon anggota DPD. Namun pasal terkait hal itu, tidak terdapat lagi dalam UU Pemlu yang baru. Artinya, calon anggota DPD di suatu daerah pemilihan, tidak mesti harus berasal atau berdomisili di wilayah propinsi sebagai daerah pemilihannya itu. (MH)
(Opini Indonesia/Edisi 90/10-16 Maret 2008)
08 Maret 2008
UU Pemilu; DPD Kembali ’Ditelikungi’ DPR
Label: Berita dari Opini Indonesia