UU Pemilihan Umum (Pemilu) Anggota DPR, DPD dan DPRD dilahirkan dari kompromi. Hampir semua pasal krusial diselesaikan melalui loby dan vooting antar fraksi di Parlemen. Sementara, Partai Kecil yang tidak memiliki anggota di DPR merasa tidak terakomodir dalam UU Pemilu yang baru itu.
Partai politik yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), secara otomatis berhak mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). BPP adalah jumlah suara sah dibagi jumlah kursi yang tersedia di satu daerah pemilihan yang berkisar 3-10. Sementara itu, sisa suara dari BPP dan suara partai yang tidak memenuhi BPP akan menunggu penghitungan sisa kursi dengan standar BPP 50%. Jika masih tetap terdapat sisa kursi dan sisa suara partai di suatu daerah pemilihan, maka sisa suara tersebut akan dibawa ke propinsi untuk dilakukan penghitungan sisa suara berdasarkan rangking perolehan suara untuk mendapatkan sisa kursi yang masih ada. Demikian mekanisme pembagian kursi dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang disahkan dalam rapat paripurna DPR di Gedung DPR RI, Senayan (3/3).
Meski tidak sesuai dengan harapan pemerintah, pengesahan UU Pemilu sangat mendesak untuk ditetapkan mengingat penyelenggaraan Pemilu 2009 yang semakin dekat. DPR telah mengambil sikap meskipun harus menempuh jalan vooting. Proses menyetujui RUU tersebut Pemilu yang alot itu tidak lepas dari beberapa point krusial terutama masalah sisa suara.
Pemerintah nampaknya tidak begitu puas dengan hasil perubahan UU No. 12 tahun 2003 itu. Namun mau tidak mau, pemerintah harus menetapkan hasil pembahasan, loby dan vooting dari seluruh fraksi di parlemen itu. "Walau tidak sesuai seperti yang diusulkan pemerintah, tapi kita menghormati proses demokrasi di DPR," kata Jubir Presiden Andi Mallarangeng dalam jumpa persya mewakili suara pemerintah.
Namun diakui Andi, penarikan sisa suara ke propinsi justru bisa memperumit penghitungan pemilu. "Perhitungan sisa suara yang ditarik ke propinsi, itu menjauhkan pemilu dari rakyat dan malah perumit penghitungan suara," katanya.
Menteri Dalam Negeri Mardiyanto juga menegaskan pemerintah menyetujui pengesahan undang-undang ini. Namun pemerintah sebenarnya kurang puas dengan sistem penghitungan sisa suara. Pemerintah menginginkan, sisa suara harus habis dibagi di daerah pemilihan. "Ini bertujuan untuk mendekatkan partai politik dengan konstituennya. Meskipun demikian, kami tetap menghormati keputusan DPR,” ucapnya.
Di sisi lain, mekanisme semacam itu hanya akan menguntungkan partai besar karena partai kecil umumnya mendapat kursi dari penghitungan sisa suara yang kurang dari 50 persen bilangan pembagi pemilih. Jika penghitungan dilakukan degan patokan 50 persen sisa suara, maka kemungkinan besar akan banyak partai kecil tak mendapat kursi sama sekali di DPR.
Oleh karena itu, bagi partai kecil, UU yang sebagian besar pasal-pasal krusialnya disepakati melalui loby dan vooting itu sama sekali tidak akomodatif. Oleh karena itu, mereka tengah melakukan konsolidasi untuk melakukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). ”PDK sudah diajak untuk melakukan peninjauan kembali ke MK,” kata Dewan Pimpinan Nasional Partai Demokerasi (DPN PDK), Joseph Renyut.
Menurut Joseph, UU Pemilu yang baru hanya menjembatani kepentingan partai-partai besar. Selain itu, pasal-pasal terkait penghitungan sisa suara yang dibawa ke propinsi juga sangat anti demokerasi dan hanya untuk menyelamatkan elit-elit propinsi dan pusat. ”Sisa suara hasil pilihan rakyat tidak tersalurkan, apalagi kalau digabung ke partai lain. Belum tentu rakyat yang memilih merasa terwakili dengan partai yang mengambil suaranya,” ucapnya saat dikonfirmasi Opini Indonesia.
Sbelumnya, sebagian besar pasal-pasal krusial dalam UU Pemilu itu tidak diselesaikan berdasarkan logika. Loby dan vooting menjadi andalan para legislator di Parlemen untuk menyepakatinya. Melalui forum lobi, fraksi-fraksi DPR diantaranya menyepakati sistem penetapan calon terpilih anggota DPR sesuai nomer urut calon. Sementara vooting juga dipakai untuk memutuskan penghitungan sisa suara di daerah pemilihan.
Loby-loby panjang dari hotel ke hotel ternyata hanya melahirkan ketidakpuasan public. Itu pun tidak selesai, sebab terkait penghitungan sisa suara baru dapat diputuskan pada detik-detik ketukan palu sidang pengesahan UU yang terdiri dari 24 bab dan 320 pasal itu. Dari hasil pemungutan suara, sebagian besar anggota DPR yang umumnya merupakan wakil partai besar, memilih sisa suara dari satu daerah pemilihan yang kurang dari 50 persen dari bilangan pembagi pemilih, ditarik ke tingkat provinsi untuk dihitung dengan sisa suara partai bersangkutan dari daerah pemilihan lainnya. Dengan disepakatinya pasal tentang sisa suara ini, Ketua DPR Agung Laksono selaku impinan sidang mengetuk palu untuk mengesahkan RUU Pemilu menjadi Undang-Undang Pemilu. (MH)
(OPINI Indonesia/Edisi 90/10-16 Maret 2008)
08 Maret 2008
UU Pemilu Tidak Akomodatif
Label: Berita dari Opini Indonesia