Banyaknya konflik terkait proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa daerah tak membuat Abdul Aziz gentar. Permasalahan pelik yang terjadi di Pilkada Maluku Utara dan Sulawesi Selatan hanyalah permulaan dari sekian banyak masalah besar yang bisa saja muncul pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 nanti.
Menurutnya, konflik Pilkada pun ketika bisa dilihat secara arif, tidak akan berdampak terlalu luas. Konflik-konflik itu harus tetap dilihat dalam perspektif pembangunan demokerasi. Semangat masyarakat untuk meberikan konstribusi dalam proses demokerasi itu harus dihargai. Oleh karena itu, perlu adanya pendidikan politik agar motofasi mereka itu tidak disertai dengan sikap-sikap anarki. Dan itu semua sangat bergantung juga pada prilaku elit.
Dalam penilaian Ahli peneliti muda pada Balitbang dan Diklat Departemen Agama (Depag) ini, terjadinya konflik Pilkada dipengaruhi oleh beberapa faktor krusial seperti daftar pemilih. Masyarakat beitu bersemangat ingin mencoblos, tapi kenyataannya tidak terdafar sebagai pemilih. Konflik juga seringkali terjadi dalam proses pengajuan calon yang tidak ditangani secara tepat oleh KPU. Bisa saja bibit konflik itu memang telah ada di para pengusung calon dan terakumulasi serta tidak diselesaiakan di antara mereka terlebih dahulu sebelum dibawa ke KPU.
Abdul Aziz yang baru pertama kali menjadi anggota KPU ini menyadari bahwa pekerjaan KPU relatif berat. Apalagi banyak hal yang membedakan komposisi kerja antara KPU periode 2007-2012 dengan KPU periode sebelumnya. Misalnya, terjadinya perampingan jumlah anggota KPU dan jumlah biro, masing-masing dari 10 menjadi 7. Sementara itu, pekerjaannya pun lebih berat karena KPU 2004-2009 hanya berfikir bagaimana menyelenggarakan Pemilu. Tidak demikian bagi KPU periode sekarang yang juga harus melakukan pembinaan terhadap KPU Pripinsi hingga menghadapi banyak masalah yang terjadi di daerah-daerah dalam penyelenggaraan Pilkada.
Meskipun demikian, itu semua sudah menjadi konsekwensi ketika dirinya memutuskan untuk mengikuti proses seleksi dan fit and proper tes di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Demikian pula ketika ia menyatakan kesiapannya untuk dilantik oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 23 Oktober 2007 lalu.
Di sisi lain, banyaknya anggota KPU periode sebelumnya yang berakhir di terali besi, juga tak membuat Abdul Aziz surut. Baginya, kemungkinan-kemungkinan buruk adalah keniscayaan di dalam tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pesta demokerasi yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa itu.
Untuk membentengi diri, Abdul Azis mempunyai resep yaitu motofasi. Ia ingin menjadi anggota KPU semata-mata ingin memberikan sesuatu yang berharga dalam kehidupan bernegara, bukan pula untuk mencari uang. Untuk menjadi KPU yang amanah, maka persoalan logistik pribadi dan keluarga sudah harus dituntaskan sebelum menjadi anggota KPU. ”Saya sudah mempersiapkan ekonomi keluarga terlebih dahulu. Jadi saya sudah bisa hidup berkecukupan dengan apa yang saya miliki sekarang. Jadi, saya dapat bekerja di KPU dengan tenang,” terangnya saat ditemui OPINI Indonesia di kantornya, Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat.
Dengan begitu, pihaknya berharap tidak tergoda dengan setumpuk uang ’liar’ yang sewaktu-waktu menghampirinya. Maklum, terlalu banyak pihak yang berkepentingan dengan lembaga negara yang satu ini sehingga sangat rentan dengan suap dan korupsi.
Buah dari Perjuangan
Karir sebagai anggota KPU merupakan prestasi berharga bagi Abdul Aziz. Dirinya tak pernah bermimpi untuk menjadi anggota KPU. Kini ia telah ’banting stir’ dari Depag RI di Jl. Lapangan Banteng ke KPU di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Inilah hasil dari pahit-manisnya perjuangan panjang yang pernah dilaluinya.
Berbekal uang makan Rp. 900, uang transportasi Rp. 1.200 dan 12 liter beras per bulan dirasa cukup menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Tinggal di rumah kos-kosan, berdinding bedeg, beratap rumbiak dan berlantai tanah, menjadi pos perjuangannya selama menyeleasikan Strata 1 di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah.
Namun demikian, perjalannanya tak selalu mulus. Ketika menginjak tingkat III (semester VI), putera Cianjur kelahiran 24 September 1954 ini dihadapkan pada ekonomi keluarga yang tidak lagi stabil. Ayahnya yang seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai guru agama di PGA itu mengaku tak kuat lagi menanggung biaya kuliah anak-anaknya. Sebab, selain sudah tua, ayahnya harus menanggung tiga anaknya yang masing-masing tengah kuliah. Satu orang kakanya kuliah di jurusan Farmasi Univeritas Pajajaran Bandung, satu kakak perempuannya lagi kuliah di IAIN bersama dirnya.
Untunglah, dengan bekal kemampuan berbahasa Arabnya ia diterima menjadi pramugara haji oleh Depag. Selain mendapatkan biaya kuliah dari honorariumnya, juga pekerjaan mendampingi jama’ah haji Indonesia itu telah menghantarkannya bolak-balik ke luar negeri. Itulah kebanggaan terbesar bagi seorang ’anak kampung’ yang tak dialami oleh mahasiswa lain kampungnya. Lebih-lebih ketika ia mampu memberangkatkan Ayahnya bersama dirinya untuk melaksanakan umroh. ”Kamu hebat, pemberianmu kepada Ayah jauh lebih besar dari pada biaya yang ayah keluarkan untukmu,” kata Abdul Aziz mengenang pernyataan ayahnya.
Meneladani Sang Kakek
Sebagian orang mungkin menganggap Abdul Aziz sebagai orang yang tidak punya pengalaman, relatif baru di KPU. Diantara mereka banyak yang pesimis bahwa Abdul Aziz yang baru pertama menjadi anggota KPU itu tidak akan dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Tetapi, anggapan tersebut ditanggapi santai oleh Magister Antropologi dan Sosiologi, Monash University, Australia itu. ”Justeru, itu semua jadi motifasi buat saya untuk bekerja disiplin dan lebih keras,” cetusnya.
Kedisiplinan adalah modal utama baginya. Itulah yang ditunjukkan oleh sang ayah di saat mendidik anak-anaknya. Ayahnya yang kini telah meninggal itu, tidak pernah main-main dalam mendidik, lebih-lebih dalam masalah agama. Hal serupa juga ditampilkan oleh kekek-kakeknya. Lebih ekstrim, kakeknya dari kedua belah pihak (kakek dari ayah dan kakek dari ibu) sama-sama memiliki semangat ’pemberontak/pejuang’. Sikap yang ingin ia teladani dari ayah dan kedua kakeknya itu.
Kakek dari ayahnya berasal dari Sukapura, Tasikmalaya, merantau ke Cianjur dan menjadi aktfis di Syarikat Islam (SI). Setelah dinyatakan terlibat dalam sebuah pemberontakan melawan Belanda, ia ditangkap dan dijadikan sebagai pekerja paksa. Setelah kembali, ia banyak menekui agama dan mendirikan pesantren. Sementara itu, kakek dari ibunya bernama Sya’ban, seorang kiyai yang pernah tinggal di Kaujon, Serang. Lagi-lagi karena terlibat pemberontakan, ia lari bersama istrinya ke daerah pedalaman di Banten. Namun setelah persembunyiannya diketahui pihak Belanda, ia lari ke Cianjur meninggalkan anak istrinya. Di Cianjur, ia menikah dan memiliki 3 orang anak, salah satunya adalah ibunya.
”Yang saya banggakan adalah adanya pertemuan dari barat dan timur yang sama-sama memiliki darah pejuang. Inilah yang membuat saya bangga dan harus meneladani perjuangan kakek-kakek saya,” ungkapnya.
Sementara itu, ayahnya yang guru agama ingin agar ada di antara keenam anaknya menjadi penerusnya dalam mengembangkan madrasah yang didirikannya. Tercatat telah empat madrasah yang behasil didirikan oleh ayahnya bersama-sama tokoh agama setempat. Semuanya ada di Cianjur Jawa Barat.
Atas dorongan orang tuanya, anak ketiga dari enam bersaudara ini harus pindah dari SMP ke Pendidikan Guru Agama (PGA), padahal saat itu, ia sudah kelas 2 SMP. Ternyata, bibit-bibit santri yang diturunkan oleh sang kakek yang seorang kiyai dan ayah yang seorang guru madrasah, membuatnya mudah beradaptasi dengan sistem pendidikan agama. Potensi ayahnya yang pandai bebahasa Arab, mengalir begitu saja pada dirinya.
Pasca PGA, ia memutuskan untuk kuliah di IAIN Syarif Hidaytulah Ciputat (sekarang UIN Jakarta). Tapi pilihannya itu harus lulus tes dari ayahnya dulu. Sebuah kitab al fiyah (sebuah kitab seribu bait yang berisi grammer Arab) disuguhkan kepadanya. Setelah dianggap menguasai buku yang menjadi konsumsi awal para santri pesantren itu, barulah izin merantau ke Jakarta itu didapatkan.
Kini, selain menjadi anggota KPU, ia juga mengelola madrasah peninggalan ayahnya. Uniknya, madrasah itu menggunakan kurikulum sendiri. Semua materi pelajaran ditulis dalam bahasa Arab. Santri hanya dibebankan membayar iuran Rp.500/bulan. Keterbatasan pendanaan itulah memubatnya harus iuran bersama keluarga untuk dapat membayar guru di madrasah yang bernaung di bawah Yayasan Amara yang didirikannya itu. (Mukhlis Hasyim)
(OPINI INDONESIA/Edisi 96/FIGUR)
09 Mei 2008
Abdul Aziz; Anggota KPU Berdarah Santri
Label: Berita dari Opini Indonesia