24 April 2008

Menjaga Pintu Lintasan KRL; Profesi di Usia Senja

Setelah lembaga komputer tempatnya bekerja mengalami bangkrut, Bahtiar (56) memilih menjadi penjaga pintu perlintasan kereta api. Di usianya yang senja itu, pekerjaan jenis ini tidak lah memberatkan dirinya. Sudah tiga tahun dia menggeluti pekerjaan yang menyelamatkan nyawa banyak orang dari hantaman laju kereta api listrik (KRL). Syukurlah, selama dirinya berjaga di tempat itu, belum pernah terjadi kecelakaan.

Berteduh di pos kecil beratap seng, Bahtiar tak pernah lelah mengawasi lalu lalang pejalan kaki dan pengendara motor. Di tiang pos-nya tergantung bekas kaleng roti. Di situlah para pelintas rel meletakkan uang limaratus-an sampai seribu-an rupiah. Dari sanalah ia memperoleh penghasilan, sebab, pekerjaannya itu hanya bersifat swadaya. Tidak ada gaji resmi dari pemerintah.

Penghasilan Bahtiar sebagai penjaga pintu lintasan kereta api tak resmi itu pun tak tentu. Sebab pendapatannya tergantung pada seberapa banyak pelintas yang memberikan uang. ”Tidak semua yang lewat memberikan uang. Yang sadar, ngasi, dan yang ga juga lewat begitu aja. Jadi, penghasilan saya juga ga tentu,” katanya sambil sesekali meneguk air minum karena kehausan di tengah teriknya matahari.

Siang itu, para pelintas sangat ramai, sehingga perbincangan dengan OPINI INDONESIA sering terputus. Selain tetap mengawasi kereta api yang akan melaju di rel ganda di wilayah Kayu Manis itu, ia juga mengawasi para pelintas yang sesekali memberikan uang dari atas kendaraan. Ia juga sesekali membantu mendorong gerobak para pelintas yang membawa beban berat.

Ratusan bahkan ribuan orang dalam sehari, lalu lalang di jalur penyeberangan berukuran tidak lebih dari satu meter itu. Berkali-kali Bahtiar meniupkan peluit, menahan orang agar tidak melintas, sebagai tanda akan ada kereta api yang lewat.

Situasi yang berbeda nampak di perlintasan kereta api di Jl. Pramuka. Selain menggunakan palang modern yang dilengkapi sirine, sang penjaga pintu lintasan juga mendapatkan gaji dan tunjangan dari pemerintah. Berpakaian seragam dari PT Kereta Api dan menempati pos jaga yang bagus, lengkap dengan fasilitas televisi.

Pekerjaan Tetap

Banyak cara orang mempertahankan hidup. Berbagai jenis pekerjaan bisa dijadikan sebagai pekerjaan tetap untuk bersaing hidup di kota metropolis seperti Jakarta. Bersaing dengan banyak orang di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan. Bahtiar pun memilih menghidupi lima anggota keluarganya sebagai penjaga pintu lintasan kereta api listrik.

Bekerja sebagai penjaga pintu lintasan kereta telah dijalaninya selama tiga tahun. Ia mengaku meneruskan pekerjaan ’seniornya’ yang lebih dahulu mangkal di tempat itu. ”Saya hanya meneruskan pekerjaan almarhum di sini,” cetusnya tanpa memberitahu siapa nama almarhum yang dimaksud, yang jelas bukan orang tuanya.

Tapi dia tidak sendiri. Bahtiar juga harus berbagi jadwal lagi dengan kedua rekannya. Mereka adalah Akin dan Jaka. Tapi sayangnya, OPINI INDONESIA tidak bertemu dan berbincang dengan kedua rekannya itu karena mereka bertugas masing-masing di pagi dan malam hari.

Jadi, Bahtiar mendapat tugas kerja selama kurang lebih 6 jam sehari, yaitu antara jam 10.00-15.30 WIB. ”Tapi kadang-kadang saya juga bantu di pagi hari karena orang terlalu ramai. Apalagi antara jam 07.00-08.00, banyak anak sekolahan yang melintas,” terangnya.

Meski menjaga pintu lintasan kereta digelutinya sebagai pekerjaan tetap, namun penghasilannya tidak tetap. Namun paling tinggi, ia hanya mampu mengantongi tidak lebih dari 40 ribu sehari. Meski dia tidak ada beban setoran ke pihak lain, tapi pengasilannya tidak cukup untuk membiayai keluarganya. Selain untuk kehidupan sehari-hari dengan tingginya harga kebutuhan pokok, ia pun harus menanggulangi keperluan sekolah dua anaknya yang masih sekolah, masing-masing di SMA dan SD. Utung saja, sang istri dapat membantu menambah penghasilan sebagai pembantu rumah tangga. Istrinya itu bekerja sebagai buruh cuci pakaian.

Selain itu, ia pun harus menyisihkan lagi untuk membayar kontrakan tempat tinggal. Bahtiar dan keluarganya tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jl. Kayu Manis IV dengan biaya 300 ribu per bulan. Ayah empat anak asli Betawi ini mengaku tak lagi memiliki rumah sejak terjadi musibah kebakaran puluhan tahun yang silam. Saat itu, Bahtiar masih kelas 5 SD. Ia tinggal bersama orang tuanya di Keramat Sentiong. Tetapi rumahnya terbakar dan tidak mampu lagi membuat rumah yang baru.

Harapannya kepada pemerintah? ”Saya ga berharap apa-apa, karena usia saya memang udah tua,” jawabnya polos. Ia hanya ingin agar anaknya dapat mencari pekerjaan tetap lainnya yang lebih baik dan tidak mau anaknya mewarisi pekerjaannya itu. (MH)

(OPINI INDONESIA/Edisi 95)