09 Mei 2008

Bergantung Hidup Pada Sepeda Ontel

Meskipun sering terjadi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), namun tak mempengaruhi profesi Kasnep (60). Untuk menjalankan profesinya itu, ia hanya perlu mempersiapkan tenaga yang cukup untuk mendayung sebuah sepeda, sebab ia hanyalah seorang tukang ojek sepeda ontel.

Mungkin di sebagian tempat, kendaraan angkutan penumpang jenis ini tidak lazim. Lebih-lebih di tengah kota metropolis sekelas Jakarta. Tapi bagi masyarakat Tanjung Priok, angkutan jarak dekat yang hanya mampu membawa seorang penumpang ini sudah menjadi bagian dari mata pencaharian sebagian orang. Tak jarang, penumpang lebih memilih naik sepeda ontel, sebuah jenis alat transportasi yang populer di era 1940 hingga 1960-an itu.

Tidak ada tarif resmi dari pemerintah. Mereka pun dinamis dalam menarik ongkos, tergantung hasil tawar-menawar dengan calon penumpang. Tapi umumnya, para ojek ini menerima upah tidak jauh berbeda dengan angkutan umum jarak dekat lainnya seperti ojek sepeda motor, maupun bajaj. Penumpang bisa memberikan upah antara Rp. 3.000 – Rp. 5.000 sekali antar.

Demikian pula, tidak ada trayek khusus dan peraturan yang mengikat dari aparat lalu lintas. Tanpa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Izin Mengemudi (SIM), bahkan tanpa helm. Ia bebas melalui jalur yang diinginkan dan bisa melaju hingga di gang-gang kecil. Asal masih bisa terjangkau dengan kemampuan dayung, sang tukang ojek siap melayani penumpang.

Mengapa memilih menjadi ojek sepeda? Dengan usia yang sudah lanjut, serta di tengah sulitnya lapangan pekerjaan, Kasnep mengaku tak memiliki alternatif lain. ”Maunya sih ojek motor, tapi kan ga punya motor. Atau pekerjaan lain, tapi kan ga ada pekerjaan. Dari pada nganggur?,” ungkapnya saat ditemui OPINI INDONESIA di pangkalan utamanya, di depan deretan pertokoan di Jl. Enggano, Bahari Tanjung Priok, Jakarta.

Sepeda yang ia gunakan adalah sepeda ontel miliknya yang ia beli ketika pertama kali datang ke Jakarta sepuluh tahun lalu. Awalnya, tidak ada target pekerjaan yang akan dilakoni ketika sampai di Jakarta. Akhirnya, melalui ajakan temannya yang tidak ia sebut namanya, ia membeli sebuah sepeda tua untuk dioperasikan sebagai angkutan umum.

Berharap Nasib Baik

Berharap akan ada nasib baik di Jakarta, Kasnep meninggalkan kampung halamannya, Pemalang, Jawa Tengah. Ia mengharapkan ada kehidupan yang lebih baik akan didapatkan di ibu kota negara. Ternyata, ayah dari empat orang anak ini hanya mampu bekerja sebagai tukang ojek sepeda ontel.

Selain karena belum mendapat pekerjaan lain, ia memiilih pekerjaan ini karena merasa lebih bebas. Ia bisa pulang kapan saja, asalkan sudah mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keempat anggota keluarga yang kini menjadi tanggungannya. Kalau terlalu sedikit, ia hanya bisa dapat mengirim seadanya. ”Dengan menjadi tukang ojek sepeda, saya lebih bebas pulang kapan saja. Kalau sudah merasa punya uang, ya saya pulang kampung. Kalau ga, ya dikirim saja,” terang Kasnep.

Sudah sepuluh tahun Kasnep menggeluti profesi ini. Meski penghasilannya di bawah standar, tetapi dia ingin tetap menggelutinya sebagai sumber penghasilan satu-satunya. Sepeda tua andalannya itu diparkir begitu saja dari pagi hingga sore hari sampai ada penumpang yang minta diantar. Oleh karena itu, ia hanya mampu membawa uang antara Rp. 10.000 – Rp. 30.000 per hari. Artinya, Kasnep hanya melayani penumpang antara 2 hingga 10 orang per hari. ”Kalau rame saya bisa dapat Rp. 30.000. Tapi kalau lagi sepi, paling hanya Rp. 10.000. Cukup buat makan lah,” cetusya

Penghasilan Rp. 30.000 tentunya tak membuat kebutuhan hidupnya dan keluarganya tercukupi. Bahkan sewa tempat tinggal pun tak mampu. Untungnya, keluarganya tak dibawa ikut serta berpetualang mencari rupiah di ibu kota. Istrinya masih tinggal di kampung sambil mengurusi kedua anaknya yang masih sekolah, satu tamatan SMP dan satunya lagi masih di bangku kelas 2 SMP. Sementara dua orang anak perempuannya sudah menikah dan ikut dengan suaminya.

Setelah selama sepuluh tahun di Jakarta, ia masih numpang tinggal di sebuah pos tempat tambal ban milik Sukirman, sahabatnya asal Kebumen Jawa Tengah. Ia hanya membutuhkan tempat istirahat dan tidur nyenyak seadanya setelah seharian menghabiskan waktunya di jalanan. Kadang-kadang hanya nongkrong di pinggir jalan tempat pangkalannya, atau mendayung sepedanya menelusuri jalanan mengantarkan penumpang.

Kasnep hanya tinggal sendiri, dan makan sendiri di warung. Sukirman, sahabatnya yang seorang tukang tambal ban, hanya mampu memberinya tumpangan tempat tidur, sekaligus menjaga peralatan penambal ban miliknya. Tapi Kasnep tetap bersemangat, karena tujuannya ke Jakarta hanya mencari uang. ”Bagi saya, hidup seperti ini ga msalah. Kalau sudah punya uang banyak, ya pulang kampung dan berkumpul kembali bersama keluarga,” katanya dengan suara tinggi di tengah suara deru kendaraan yang lalu lalang. (Mukhlis Hasyim)


(OPINI Indonesia/Edisi 96/Kehidupan)