Konflik internal Palestina semakin memperburuk situasi politik Palestina. Dua faksi besar di Palestina, Hamas dan Fatah kerap mengobarkan perselisihan di antara keduanya di tengah perjuangan mempertahankan eksistensi negaranya dari Israel.
Sekiranya Hamas dan Fatah mau mengakhiri perseteruannya, maka setidaknya dapat meringankan perjuangan Palestina dalam proses perebutan wilayah dengan Israel. Tetapi kondisi itulah yang memang tetap diinginkan oleh negara-negara yang turut andil dalam menyulut konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun itu.
Buramnya perdamaian sekaligus kemerdekaan Palestina tak lepas dari konflik berkepanjangan antara Hamas dan Fatah tersebut. Selalu terjadi perbedaan pandangan dalam proses perdamaian Palestina-Israel diantara kubu islamis dan sekuler itu.
Perseteruan Hamas dan Fatah lebih disebabkan oleh perbedaan cara pandang dalam menghadapi Israel. Fatah nampak lebih diplomatis dalam menghadapi Israel dan banyak memilih jalan dialog. Di bawah pemerintahan pentolan Fatah, Yasser Arafat, misalnya, berbagai upaya perjanjian telah dilakukan melalui PLO, meskipun akhirnya gagal.
Berbeda dengan Fatah, maka Hamas yang sempat dituding sebagai kelompok teroris oleh Barat termasuk Amerika ini tetap mengobarkan semangat perlawanan terhadap Israel dengan cara-cara radikal. Berbagai bentrokan antara Hamas dan Israel menunjukkan bahwa Hamas adalah organisasi pemberani sehingga menarik banyak pemuda militan.
Popularitas Hamas semakin meningkat sejak tahun 1990-an, menyusul peristiwa berdarah ”Bukit Sinagog”. Hamas berhasil membuktikan bahwa anggota perlawanan keagamaan rela menyerahkan nyawa mereka dalam mempertahankan iman, ketika pejuang-pejuang sekuler tidak berbuat apa-apa.
Komitmen perjuangan yang ditunjukkan Hamas serta kegagalan upaya perdamaian yang dilakukan oleh pemerintahan Fatah yang berkuasa sebelumnya, menghantarkan Hamas menjadi pemenang pemilihan umum (Pemilu) Parlemen pada 25 Januari 2006. Hamas mengalahkan Fatah yang sebelumnya selalu mendominasi parlemen.
Hamas menegaskan, perlawanan akan tetap menjadi strategi untuk mengembalikan secara penuh hak-hak rakyat Palestina yang terampas. Perlawanan akan menghapus Israel dari tanah Palestina kemudian mendirikan negara Palestina yang merdeka, berkedaulatan penuh, dengan ibukota Al-Quds, meskipun pengorbanan harus terus ditingkatkan dan harus dibayar mahal.
Dalam peringatan 60 tahun terjajahnya Palestina (15/5), Hamas menegaskan bahwa perampasan Palestina oleh Israel adalah tragedi paling besar yang dicatat dalam sejarah Arab dan Islam. Sebab penjajahan ini telah mengubah kehidupan rakyat Palestina menjadi derita panjang.
Dalam pernyataan persnya, Hamas menambahkan bahwa Israel mendeklarasikan negaranya di atas tanah Palestina, di atas siraman darah dan ceceran daging rakyat Palestina. Negara penjajah yang didirikan di atas penderitaan para korban luka yang cacat dan penderitaan tawanan Palestina, pencaplokan tanah untuk permukiman yahudi, penghapusan batas-batas peninggalan senjarah dan tempat suci Palestina.
Namun semua kejahatan Israel tidak akan melumpuhkan tekad rakyat Palestina untuk melawan dan memberikan pengorbanan untuk mengembalikan hak-haknya. Mereka akan senantiasa setia bekerja membebaskan Palestina sampai Israel tidak berdaya menghadapi keteguhan tekad kami. Sebab Israel kini mulai tergulung di belakang tembok bersama pasukannya ketika menghadapi perlawanan.
Hamas kembali menegaskan bahwa perampasan Israel terhadap Palestina adalah perampasan terhadap tanah Arab dan Islam. Karenanya, tugas memerdekakan adalah kewajiban syariat setiap muslim.
Gerakan Hamas menegaskan bahwa hak kembali adalah hak suci yang tidak bisa ditawar-tawar. Disamping itu, masalah tahanan Palestina di penjara Israel adalah prioritas perlawanan. Semua pilihan akan dilakukan perlawanan sampai mereka dibebaskan. Pembebasan serdadu Galiad Shalit tidak menjadi akhir dari perlawanan Palestina.
Disamping itu, Hamas meminta kepada Otoritas Palestina untuk berhenti melakukan perundingan sia-sia dengan Israel. sebab selama ini Otoritas Palestina hanya memberikan kompromi-kompromi. Hamas mengajak Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk memilih jalan perlawanan.
Hamas juga meminta kepada negara-negara Arab dan Islam untuk bertanggungjawab atas apa yang terjadi di Palestina berupa kejahatan berdarah oleh Israel. Mereka harus mendukung Palestina secara politik, dana, moral untuk memecahkan masalah mereka dengan adil, membebaskan blokade dan membuka perlintasan-perlintasan terutama Rafah.
(OPINI Indonesia/Edisi 101/Internasional/Mei 2008)
30 Mei 2008
Konflik Hamas-Fatah di Palestina; Hamas Memilih Jalur Perlawanan
Label: Berita dari Opini Indonesia