Tak henti-hentinya Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menuai kecaman. Berbagai aksi dilakukan agar JAI dibubarkan. Namun, JAI tetap berharap agar semuanya diputuskan melalui proses di pengadilan.
Meskipun Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung, sepakat mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB), namun tetap tidak berwenang membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Aliran keagamaan yang telah berbadan hukum melalui keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA.5/23/12 Tgl. 13-3-1953 itu hanya dapat dibubarkan melalui keputusan pengadilan. Demikian dikatakan ketua pemuda (Sadr Khuddam) Pengurus Besar JAI, Dudung Abdul Latief saat ditemui OPINI INDONESIA di kawasan Kuningan, Jakarta (23/4).
JAI selaku organisasi bisa saja dibubarkan apabila terbukti melanggar hukum. Bagi JAI, keputusan hukum harus tetap dijunjung tinggi, asalkan telah melalui prosedur yang benar. ”Sebagai warga negara yang baik, kami tetap mengikuti keputusan hukum. Itu pun kalau sudah keluar keputusan pengadilan,” tegas Dudung yang ditemani enam rekannya.
Namun, pihaknya tetap berupaya untuk berjuang dalam membuktikan bahwa Ahmadiyah bukan aliran sesat. JAI selaku organisasi bisa dipaksa untuk dibubarkan, tetapi tidak bisa membuat perbedaan keyakinan itu hilang begitu saja.
Senada dengan itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Baso juga menyerukan kepada pemerintah agar melewati prosedur hukum terkait keinginannya membubarkan Ahmadiyah. Baso menegaskan, dalam menjalankan tugasnya, Komnas HAM juga menunggu proses-proses hukum untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hak warga negara bisa dilakukan.
”Komnas HAM akan melihat terlebih dahulu keputusan pengadilan. Jika Ahmadiyah tidak terbukti melanggar hukum, maka mereka berhak mendapatkan perlindungan dari Komnas HAM. Sebaliknya, jika terbukti melanggar hukum, maka pemerintah pun berhak membatasi hak-hak mereka. Namun, kalau ternyata masih terdapat unsur ketidakadilan, maka Komnas HAM juga masih bisa intervensi untuk memberikan human right opinion,” terangnya.
Meskipun demikian, Komnas HAM juga tetap memantau hak-hak Ahmadiyah yang lain. Misalnya, hak-hak warga Ahmadiyah yang menjadi korban pengrusakan tempat ibadah, pengrusakan aset, dan tindakan kekerasan lainnya. Untuk itu, pihaknya tetap melakukan pendekatan kepada MUI, Menteri Agama dan ormas seperti NU dan Muhammadiyah.
Dipolitisir
Jemaat Ahmadiyah telah membuktikan dirinya dapat hidup berdampingan dengan masyarakat umum. Dalam kurun waktu 20 tahun, yaitu antara tahun 1925 hingga 1980-an, kehadiran Ahmadiyah tidak pernah dipersoalkan. Mereka dekat dengan tokoh-tokoh nasional dan banyak memberikan kontribusi menjelang kemerdekaan dan masa-masa pembangunan setelah kemerdekaan. “Kurun waktu antara tahun 1925–1985, bukan waktu yang singkat dalam membangun hubungan baik dengan masyarakat umum. Tak pernah ada gejolak di antara kami,” kata Dudung Abdul Latief.
Baru setelah tahun 1985, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah keluar dari ajaran Islam. JAI meyakini, fatwa MUI itu tidak semata-mata muncul dari Indonesia. Sebaliknya banyak dipengaruhi oleh pihak luar, terutama setelah terbentuknya Organisasi Konferensi Islam (OKI). Hal yang sama juga terindikasi ketika MUI kembali memperkuat fatwanya pada tahun 2005, hingga maraknya tuntutan pembubaran akhir-akhir ini, sangat sarat dengan kepentingan politik.
Reaksi masyarakat juga dengan cepat menyebar karena terbatasnya pemahaman meraka tentang ajaran Ahmadiyah. Melalui propaganda yang berlebihan, mereka dengan cepat dipengaruhi. Padahal, tuduhan adanya penyimpangan Ahmadiyah dari ajaran Islam, tidak semuanya benar. Misalnya, Masalah kenabian. Ahmadiyah yang terdiri dari Lahore dan Qodyan memiliki keyakinan yang berbeda, namun keduanya tetap mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai khataman nabiyyin (nabi terakhir). Ahmadiyah Lahore meyakini Mirza Gulam Ahmad hanya sebagai pembaharu. Adapun Ahmadiyah Qadyan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi tapi tidak membawa syari’at baru. Sebaliknya, kenabian Mirza Gulam Ahmad hanya untuk memperkuat syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Generasi ketiga dari keluarga Ahmadiyah asal Kuningan Jawa Barat ini menyayangkan sikap dari pihak-pihak yang lantang menyuarakan agar Ahmadiyah dibubarkan. Padahal, mereka belum mengetahui secara jelas keyakinan Ahmadiyah. Penyampaian yang tidak failed inilah yang cenderung menyulut asumsi negative terhadap ajaran Ahmadiyah.
Oleh karena itu, kontroversi tentang Ahmadiyah diyakini bukan semata-mata masalah akidah, melainkan telah dijadikan komoditi politik pihak-pihak tertentu. Dudung mencurigai beberapa kelompok yang terindikasi memainkan isu ini. Namun Dudung enggan menyebutkan siapa pihak-pihak dimaksud.
Akibat tindakan propokatif itu, Ahmadiyah mengalami kerugian materil dan inmateril yang tak terhitung. Sekitar 73 buah mesjid menjadi korban tindakan kekerasan di beberapa daerah. Kerugian paling besar adalah kerugian psikologis jemaat yang tidak lagi bisa hidup secara layak. Pendidikan dan ekonomi tidak lagi terjamin karena mereka harus tinggal di pengungsian.
Demo Pembubaran
Sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonsia (MUI) tahun 1985, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tetap diklaim ‘sesat’. Sejak itulah Ahmadiyah tidak pernah sepi dari protes, tuntutan pembubaran hingga pengrusakan tempat ibadah.
Fatwa dan keputusan ‘sesat’ kembali dikeluarkan oleh fatwa MUI tahun 2005 yang mempertegas fatwa tahun 1985. Disusul kemudian dengan pernyataan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang menyebutkan bahwa ajaran yang mengakui kenabian Mirza Gulam Ahmad, bertentangan dengan ajaran Islam.
Bahkan, tidak hanya Jemaat Ahmadiyah yang dianggap sesat, pihak-pihak yang mendukung Ahmadiyah juga dinilai sesat. Maka, pemerintah juga harus respek terhadap mereka yang mendukung aliran yang mengakui kenabian Mirza Gulam Ahmad itu. Demikian pernyataan Forum Umat Islam (FUI) dalam orasinya di Jakarta (20/4).
Dalam orasinya, tokoh Betawi, Ridwan Saidi, menyebutkan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Maka, pihaknya juga mengecam ormas-ormas yang mempertahankan Ahmadiyah dengan alasan Hak Asasi Manusai (HAM). ”Mereka seharusnya dimasukkan dalam organisasi terlarang dan harus dibubarkan juga,” katanya di tengah massa demonstran.
Puluhan ribu massa yang terdiri dari puluhan organisasi Islam dan beberapa partai politik tumpah ruah di seputaran monumen nasional. Mereka secara bergelombang berkumpul dan bergerak dari masjid Istiqlal menuju depan istana presiden. Mereka tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI), di antaranya terdiri dari Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rembug (FBR), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) dan Tim Pembela Muslim. Nampak juga beberapa bendera partai diantaranya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Meski pemerintah telah memutuskan akan mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB), namun secara berkelanjutan, mereka terus menuntut pembubaran aliran Ahmadiyah. Mereka mendesak pemerintah agar segera menindaklanjuti keputusan (Bakor Pakem).
Pada 16 April lalu, Bakor Pakem telah menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang menyimpang dari ajaran Islam. Disusul kemudian oleh akan diterbitkannya surat keputusan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung Republik Indonesia. (MH)
(OPINI INDONESIA/Edisi 97/Nasional)
09 Mei 2008
Pembubaran Ahmadiyah, Menunggu Keputusan Pengadilan
Label: Berita dari Opini Indonesia