04 November 2008

PARTAI BERBASIS ISLAM DI NEGARA SEKULER
(Catatan Tentang Bangkitnya Islam Politik Di Turki)

Oleh :
Mukhlis Hasyim

Sungguh mengejutkan, pemilihan umum (Pemilu) parlemen Turki pada tanggal 22 Juli 2007 lalu, dimenangkan oleh Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP). Sebuah partai politik yang disebut-sebut sebagai partai yang membawa misi Islam. Padahal Turki adalah sebuah negara yang telah melakukan pengekangan terhadap Islam sejak diproklamirkannya Turki sebagai negara sekuler oleh Mustafa Kemal pada tahun 1923 M. Kemenangan yang signifikan, dimana pada Pemilu ke-16 itu, Justice and Development Party atau Partai Keadilan dan Pembangunan ini mampu meraih suara mencapai 46.66 persen.

Fenomena Islam politik di Turki menjadi menarik karena selalu mengalami pasang surut. Setiap kemenangan partai politik berbasis Islam, selalu diikuti dengan upaya kudeta militer dan pembubaran partai politik. Terakhir, adalah upaya kalangan sekuler untuk membubarkan AKP hanya karena mencabut larangan berjilbab di perguruan tinggi. Pada tanggal 10 Februari 2008, parlemen Turki mengesahkan pencabutan larangan berjilbab bagi para mahasiswi. Akibatnya, AKP berhadapan dengan sidang pengadilan Mahkamah Tinggi Konstitusi, meskipun pada akhirnya AKP terbebas dari tuduhan. Inilah menjadi titik awal dari bangkitnya kembali Islam politik pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah yang digantikan dengan system pemerintahan sekuler.

Sebuah kebangkitan politik yang tidak hanya mencengangkan negara-negara berpenduduk muslim, akan tetapi bagi Barat yang senantiasa mendukung gerakan modernisasi Turki. Islam politik mampu menggeliat di tengah kuatnya hegemoni sekularisme Kemalian. Padahal sekularisme gagasan Attaturk ini benar-benar telah membatasi aktifitas keagamaan rakyat Turki hingga ke simbol-simbolnya. Dimana, simbol-simbol Islam diminimalisir dari kehidupan publik. Perhatikan saja bagaimana kalangan sekuler secara sistematis mengahalau bangkitnya kembali sisa-sisa kekuatan Islam politik Khilafah Islamiyah.

Pada mulanya Mustafa Kemal hanya menginginkan kebebasan negerinya dari campur tangan asing (imperialisme). Tetapi, perjuangannya justeru berubah menjadi penentangan terhadap kekuasaan Khalifah hingga runtuhnya Khilafah Islamiyah yang telah berusia sekitar 1.342 tahun itu. Apabila ditelusuri, pilihan menjadi negara sekuler, tidak lepas dari beberapa persyaratan yang diajukan oleh Inggris untuk menarik pasukannya dari Turki. Saat itu, Inggris selaku imperialis akan menarik pasukannya dan mengakui kemerdekaan Turki apabila gerakan perjuangan kemerdekaan Turki mau melaksanakan syarat-syarat yang diajukan oleh Inggris. Syarat-syarat itu adalah Pertama, Turki harus menghancurkan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah dari Turki, dan menyita harta bendanya. Kedua, Turki harus berjanji untuk menumpas setiap gerakan yang akan mendukung Khilafah. Ketiga, Turki harus memutuskan hubungannya dengan Islam. Keempat, Turki harus memilih konstitusi sekuler, sebagai pengganti dari konstitusi yang bersumber dari hukum-hukum Islam.

Mustafa Kemal selaku pimpinan perundingan kemudian menjalankan syarat-syarat tersebut, dan negara-negara penjajah pun akhirnya menarik diri dari wilayah Turki. Beberapa bulan setelah penghancuran Khilafah Islamiyah, maka pada tanggal 24 Juli 1924 M, kemerdekaan Turki secara resmi diakui oleh Inggris melalui penandatanganan Traktat Lausanne. Sebuah negara yang beralih sistem dari Khilafah Islamiyah pada zaman Dinasti Utsmaniyah menjadi negara sekuler hingga sekarang. Jadi, komitmen Attaturk untuk mendirikan Turki sebagai negara sekuler merupakan pengaruh besar dari tekanan asing. Selain itu, tentunya Mustafa Kemal memiliki hasrat pribadi untuk berkuasa. Akan tetapi, karena dirinya bukanlah berasal dari keturunan khalifah, maka penting bagi dirinya untuk menjauhkan sistem politik Turki yang Arabis dan monarki itu terlebih dahulu, dan menggantikannya dengan sistem politik yang lebih modern ala Eropa. Berkat kelihaiannya yang disertai dukungan Barat, maka berdirilah Republik Turki Sekuler dan Mustafa Kemal menjadi presiden pertama.

Pasca berdirinya negara sekuler, setiap yang bernuansa Islam dan mengancam sekularisme dijauhkan. Pemerintahan yang berupaya menonjolkan Islam, dikudeta serta partai politik yang berkuasa, dibubarkan. Partai Refah yang sempat memenangkan Pemilu 1995, dibubarkan karena dianggap anti sekuler. Sentimen terhadap Islam muncul akibat ketakutan terhadap runtuhnya sekulerisme. Sebab, kekuatan Islam lah yang menjadi ancaman utama bagi penganut sekulerisme, mengingat presentase penduduk muslim yang mencapai 98 persen.

Oleh karena itu, Ahmet Necdet Sezer ketika menjabat sebagai Presiden Turki (kini mantan presiden) selalu melakukan pembunuhan karakter guna menghalau kekuatan gerakan Islam politik di negerinya. Dalam setiap pidatonya, Sezer kerap menuduh kekuatan Islam sebagai ancaman terhadap sistem sekuler yang telah mapan. Sezer mengklaim penduduknya yang muslim panatik, telah menyusup ke dalam instansi-instansi negara, terutama di bidang pendidikan dan peradilan. Menurutnya, jilbab adalah simbol politik, bahwa semua yang mereka pakai atau mereka bela adalah musuh bagi sistem sekuler. Sezer juga berpendapat bahwa pemerintahan AKP, yang dipimpin Recep Toyyip Erdogan memiliki akar Islam. Menurutnya, Perdana Menteri (PM) Turki inilah yang harus bertanggung jawab atas meningkatnya jumlah dan gerakan kaum Islamiyin di dalam institusi-institusi negara. Necdet Sezer juga menuduh pemerintahan Recep Toyyip Ergogan memiliki agenda Islam yang tersembunyi sejak mulai menjadi Perdana Menteri pertama kalinya tahun 2002.

Kemenangan AKP dalam Pemilu Turki 2007 menunjukkan semakin kuatnya cengkraman partai berbasis Islam. Ini adalah kemenangan kedua setelah AKP memenangkan Pemilu 2002. Dengan demikian AKP yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan adalah partai berbasis Islam yang mengukir prestasi paling gemilang sejak diproklamirkannya negara Turki modern. Padahal, AKP baru didirikan pada bulan Agustus tahun 2001, usia yang sangat belia bagi sebuah partai politik.
Kemenangan AKP menjadi bukti bahwa mayoritas rakyat Turki tidak terpengaruh oleh kampanye kalangan sekuler yang menuduhnya sebagai partai yang membawa misi menghancurkan sekulerisme. Sebelumnya, kaum pendukung sekularisme menuding Perdana

Menteri Erdogan hendak merombak paham sekuler Turki dengan ideologi Islam. Namun, tuduhan itu dibantah oleh seorang profesor sosiologi dan pakar pergerakan Islam, Nilufer Gole. Ia mengungkapkan pembelaannya dengan mengatakan bahwa ini bukan Islamisasi, tetapi partai berideologi Islam membaur dengan tradisi demokrasi. Ia merupakan keberhasilan sistem parlemen pluralis Turki dan dapat menjadi contoh evolusi sebuah pergerakan Islam radikal.
Namun apabila dicermati, ideologi dan basis gerakan AKP sesungguhnya berakar dari Refah Partisi atau Welfare Party atau Partai Refah. Partai ini memiliki basis pemilih muslim yang ingin kembali kepada syari’at Islam dan menentang sekulerisme. Akan tetapi, catatan keberhasilan partai-partai politik Islam di Turki belum mampu membawa perubahan yang signifikan. Partai-partai ini selalu mengalami pasang surut. Sebab, kemenangan demi kemenangan yang diraih selalu diikuti dengan pembubaran partai politik. Kecuali kehadiran rezim AKP yang mampu menghabiskan satu periode pemerintahan, memenangkan Pemilu kembali serta lolos dari guncangan manuver politik kalangan sekuler dan tidak dibubarkan sebagaimana partai-partai politik sebelumnya. Inilah wujud dari bangkitnya Islam politik di Turki.

Sekularisme Turki

Turki menjadi negara yang cukup fenomenal di mata negara-negara di dunia. Barangkali karena Turki berada diantara dua benua , sehingga menjadi medan pertarungan dua peradaban besar dan kontradiktif yaitu peradaban Barat dan Islam. Tidak hanya itu, Turki bahkan menjadi sebuah negara vital, tempat bersinggungnya berbagai kepentingan strategis. Para pejabat Amerika Serikat (AS) misalnya memandang Turki sebagai negara garis depan dalam pertarungan global antara kekuatan-kekuatan reformis, modernis, dan sekularisme dan negara-negara terbelakang, intoleran, dan anti Barat yaitu antara kekaburan religius dan modernisme peradaban. Dalam arti geostrategis, para pemimpin dan tokoh kebijakan AS menganggap Turki dengan sistem politik sekulernya, sebagai model bagi negeri-negeri muslim dan sebagai benteng terhadap peyebaran Islam revolusioner.

Fenomena terbesar terjadi ketika diproklamirkannya Republik Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1923 M. Mustafa Kemal dan pengikutnya lebih memilih peradaban Barat dari pada melanjutkan peradaban Islam yang telah mengakar selama berabad-abad lamanya. Turki akhirnya diproklamirkan menjadi negara sekuler di tengah mayoritas penduduknya yang beragama Islam. Inilah cara alternatif bagi Mustafa Kemal dalam menyelamatkan Turki dari kemerosotan politik dan ekonomi pasca kekalahan Turki pada Perang Dunia I. Pilihannya adalah dengan memodernisai Turki dan mendekatkannya dengan Barat.

Seketika Turki menjadi negara modern sebagaimana yang dicita-citakan Attaturk. Yaitu sebuah negara modern yang berlandaskan pada prinsip republikanisme, nasionalisme, populisme, sekularisme, etatisme, dan revolusionerisme sekaligus menjadi sila dari Kemalisme.

Sila republikanisme merupakan garis demarkasi dan sistem kekuasaan yang semula berada di tangan Sultan lalu beralih ke tangan rakyat yang diwakili oleh parlemen. Sila nasionalisme merupakan kekuatan kritik dan perlawanan terhadap ideologi Ottomanisme dan Islamisme yang secra geografis dan etnis meliputi berbagai wilayah, agama, dan suku bangsa. Republikanisme dan nasionalisme muncul dan meraih kemenangan. Salah satu penyebabnya adalah merosotnya kekuasaan kesultanan Utsmani (Ottoman Empire) di awal abad ke-20. Kekuatan birokrasi dan para pendukugnya kian melemah, sementara kekuatan ekonomi ilmu pengetahuan dan militer Barat mulai bangkit. Kebangkitan dan supremasi Barat baru disadari oleh penguasa Ottoman ketika Jerman dan kawan-kawannya, termasuk Dinasti Utsmani kalah dalam perang dunia I. Kekalahan Utsmani pada PD I ini semakin mendorong keyakinan para pendukung nasionalisme-turkisme yang dipimpin oleh Mustafa Kemal untuk menggalang dan menghidupkan semangat kebangsaan, bukannya kesultanan dan ke-Islaman. Karena menurut Mustafa Kemal, hanya ideologi dan bendera kebangsaan yang mampu membangkitkan masyarakat dan bangsa Turki untuk mempertahankan identitas dan kehormatan dirinya di hadapan ancaman Eropa, terutama Inggris.

Adapun sila populisme berarti kerakyatan yaitu the governance of the people, with the people, for the people. Prinsip ini jelas berbeda dari semasa kesultanan karena yang memegang dan mengendalikan politik adalah sultan, bukannya rakyat. Adapun sila etatisme berasal dari Barat yang berkembang di abad ke-19, yaitu campur tangan negara terhadap perencanaan dan pengaturan ekonomi rakyat, sebagai kritik terhadap faham ekonomi libralisme. Sementara sila sekularisme, sebagai salah satu prinsip ideology Kemalisme yang mengundang kontroversi dan caci-maki serta kemarahan para ulama. Di mata Mustafa kemal dan para pengikutnya, satu-satunya jalan keluar untuk menyelamatkan Turki waktu itu ialah dengan cara menyingkirkan peran ulama dan merobohkan ‘mitos’ kehalifahan, karena semua itu tak lebih sebagai ‘macan ompong’. Agama telah dimanipulasi untuk kepentingan sultan. Jadi asal mula munculnya sekularisme di Turki bukan ditujukan untuk memusnahkan Islam dari bumi Turki melainkan mengeliminasi peran ulama yang dipandang tidak cakap dan tidak mampu lagi memberikan keamanan dan harga diri bangsa Turki terutama setelah Turki ternyata kalah dalam PD I. Terakhir adalah revolusionisme. Sila-sila ini tidak begitu prinsipil tetapi lebih menggambarkan spirit gerakan pembaharuan yang dipimpin oleh Mustafa Kemal yang memang sangat revolusioner.

Turki sebagai sebuah negara yang diagungkan oleh negara-negara berpenduduk muslim di dunia karena bagian dari pusat peradaban Islam, tiba-tiba disulap menjadi negara yang sangat anti terhadap simbol-simbol Islam. Misalnya, di mata masyarakat Indonesia, Turki adalah sebuah negara berpenduduk mayoritas muslim dan pernah memimpin dunia Islam selama tujuh ratus tahun (tujuh abad), yaitu sejak permulaan abad ke-13 hingga jatuhnya Kekhalifahan Utsmani pada awal abad ke-20 itu. Tapi kini Turki benar-benar berkiblat ke Barat dan meninggalkan keagungannya di mata negara-negara berpenduduk muslim tersebut. Khilafah Islamiyah tinggal menjadi goresan sejarah bagi masa lalu Turki.

Mustafa Kemal Attaturk benar-benar telah sukses menanamkan nilai sekularisme dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Turki. Melalui kekuasaannya selaku presiden pertama pasca kemerdekaan Turki, Mustafa Kemal telah menjadikan sekularisme menjadi ‘harga mati’. Tak seorang pun mampu melawan kekuatan ideologi yang dipelihara secara turun temurun itu. Militer sebagai alat pertahanan negara selalu tampil di depan membentengi sekularisme.

Mustafa Kemal dengan mulus melenggang menuju tampuk kekuasaan setelah melalui perjuangan yang tidak terlalu panjang. Al Wakil menyebutkan bahwa kekalahan Turki pada perang dunia menjadi moment besar bagi Mustafa Kemal untuk melancarkan misinya. Ia tampil menjadi pahlawan di hadapan rakyat Turki dengan membuat opini bahwa ia bercita-cita membebaskan negara dan mengembalikan kekayaan negara kepada Turki. Mustafa Kemal berhasil menggaet hati rakyat Turki ke pihaknya dengan memberikan janji bahwa ia akan membebaskan khalifah dari tawanan penjajah. Ia berupaya membangun Turki modern dengan berargumentasi bahwa dirinya akan berkonsentrasi memperbaiki kondisi internal Turki yang babak belur dan tidak ingin sibuk memikirkan negara-negara Arab. Hal ini adalah upaya-upaya awal untuk menjauhkan Turki dari kebudayaan Islamis Arabis.

Posisi Mustafa Kemal semakin kuat setelah mendirikan Cumhuriyet Halk Partisi (CHP) atau Republican People's Party atau Partai Rakyat Republik untuk mendukung dirinya dalam merealisasi semua rencananya. Ia juga membentuk dewan revolusi. Mustafa Kemal kemudian menghukum orang-orang yang tidak mau masuk partainya dan menjatuhkan vonis hukuman gantung kepada ratusan orang Turki. Atas peristiwa tersebut, rakyat Turki dilanda kepanikan dan tidak ada seorang pun yang berani menentang keinginan Mustafa Kemal. Selanjutnya, Mustafa Kemal memulai langkah-langkahnya untuk menumbangkan Khalifah Islamiyah.

Ia merebut kekuasaan dari tangan khalifah dan menjadikan khalifah sebatas lambang yang tidak memiliki wewenang untuk memerintah atau melarang. Ia memisahkan antara agama dan negara serta melucuti khalifah dari jabatannya. Pada akhirnya dialah yang berkuasa penuh dan memimpin negara Turki sesuai dengan sekenario yang dirancang oleh asing. Turki akan menjadi negara merdeka dan asing menarik pasukannya jika Turki menerima syarat yang diajukan Inggris yaitu diantaranya menghancurkan Khilafah Islamiyah dan menjadikan Turki sebagai negara sekuler. Setelah peristiwa tersebut, khalifah tidak memiliki peranan yang berarti. Klimaksnya pada tanggal 3 Maret 1924 M, badan legislatif mengangkat Mustafa Kemal sebagai presien Turki dan membubarkan Khalifah Islamiyah selama-lamanya. Maka jadilah Turki negara sekuler.

Di bawah sekularisme, terjadi perubahan besar-besaran dalam ketatanegaraan melalui segala bentuk konstitusinya. Sebuah konstitusi yang sengaja dibuat untuk memodernisasi Turki yang berlandaskan pada sekularisme. Maka, tidak kurang dari 10 kata sekuler dan sekularisme tertuang dalam konstitusi. Inilah salah satu wujud dari tatanan awal sekularisme yang masuk ke dalam struktur negara yang akan mengatur kehidupan publik.

Di bawah pemerintahan Mustafa Kemal, Turki melakukan modernisasi besar-besaran dengan berkiblat ke Barat. Ia mengganti penggunaan huruf Arab dengan Latin, poligami dilarang dan wanita diberi kebebasan yang sama dengan pria. Singkatnya, Attaurk ingin membangun Turki modern tanpa pengaruh Arab dan Islam. Ideologi baru ini dimplementasikan melalui dikeluarkannya serangkaian kebijakan dan hukum antara tahun 1922 dan 1935. Selain penghapusan sistem khilafah, diantara perubahan radikal lainnya adalah, penutupan sekolah-sekolah Islam tradisional (madrasah), dan pembubaran pengadilan agama, penghapusan Kementerian Urusan Agama dan Wakaf pada tahun 1924. Pada tahun-tahun berikutnya, rezim baru mulai membubarkan sejumlah tarikat, melarang pemakaian tutup kepala khas dinasti Utsmani (fez) bagi laki-laki, menghalangi perempuan untuk memakai kerudung dan mengadopsi kalendar Gregorian sebagai satu-satunya kalender resmi. Pada tahun 1926, Hukum Pidana baru yang berdasarkan model Swiss mulai diadopsi. Pengadopsian ini menandai berakhirnya hubungan hukum negara dengan syariah sekaligus dimulainya pengenalan undang-undang pernikahan dan perceraian sipil. Pada tahun 1928, negara mulai mendeklarasikan diri sebagai negara sekuler, Islam tidak lagi dianggap sebagai agama resmi negara. Hari minggu ditetapkan sebagai libur mingguan resmi pada tahun 1935.

Terlihat jelas, bahwa wujud sekularisme Kemalian ini didesign tidak hanya sekedar untuk menyingkirkan agama dari ruang publik. Lebih dari itu, kebijakan baru ini juga bertujuan agar negara dapat mengontrol agama. Satu langkah penting yang dilakukan dalam proses ini adalah mengontrol ulama dan tarikat sufi melalui berbagai cara termasuk menetapkan undang-undang mengenai penyatuan sistem pendidikan yang menjadi landasan hukum bagi penutupan seluruh madrasah dan pelimpahan seluruh urusan pendidikan pada kekuasaan kementerian pendidikan. Selain dilarang memakai baju tradisional (termasuk fez dan turban) ulama juga tidak boleh memakai gelar yang melambangkan otoritas keagamaan seperti ‘alim’ atau ‘syeikh’.

Usaha-usaha ini juga menandakan bahwa Ulama tidak lagi memainkan peran signifikan dalam masyarakat. Pengetahuan yang mereka kuasai dan wakili dipandang tidak lebih sebagai peninggalan masa lalu dan hambatan bagi usaha negara untuk menghadirkan modernitas dalam masyarakat Turki. Kesempatan mereka untuk bekerja dengan pengetahuan dan pengalaman pendidikan yang mereka miliki kini terbatas pada masjid dan institusi-institusi keagamaan. Karena institusi-institusi itu pun dikontrol dan dibiayai oleh negara, independensi ulama pun dilumpuhkan secara efektif. Kelas intelektual lama tergantikan oleh kelas intelektual baru yang berusaha untuk memutuskan ikatan masa lalu dan membangun negara dengan budaya sekuler baru.

Reformasi agama inilah salah satu contoh tindakan ekstrim dari rezim Kemalis setelah penghapusan khalifah. Reformasi ini bertujuan untuk memisahkan agama dari kehidupan politik negara dan mengakhiri kekuatan tokoh-tokoh agama dalam masalah politik, sosial dan kebudayaan. Selain itu Mustafa Kemal juga mengajukan pemikiran tentang nasionalisme agama. Menurutnya agama merupakan suatu lembaga sosial dan karena itu harus disesuaikan dengan sosial dan budaya masyarakat Turki. Mustafa Kemal meninggal dunia pada tanggal 10 November 1938, setelah tiga kali menjabat sebagai presiden Republik Turki, yaitu pada tahun 1927, 1931 dan 1935. Mustafa Kemal diakui berhasil menciptakan sistem pemerintahan parlementer dan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kehidupan demokratisasi di Turki. Perjuangan Mustafa Kemal dilanjutkan oleh generasi setelahnya. Mereka secara turun-temurun menguasai pos-pos penting negara guna melanjutkan misi sekularisme melalui perombakan konstitusi dan aturan-aturan lainnya. Membangun benteng pertahanan sekaligus menyerang unsur-unsur lain yang akan mengancam keberlangsungan sekularisme di Turki.
Upaya-upaya itu sekaligus mengbur kejayaan Khilafah Islamiyah di bawah kerajaan Dinasti Utsmaniyah. Pada abad ke-12, Bizantium jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Ottoman yang dipimpin Raja Osman I. Pada masa inilah pemerintahan Turki Ottoman memperoleh pengaruh Islam yang kuat. Bahkan pengaruh dan wilayahnya meliputi jazirah Arab, Balkan, Hongaria, kawasan Afrika Utara, bahkan sampai ke Indonesia. Dinasti ini pernah memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Aceh yaitu zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Meskipun mereka telah berhasil mensekularisasi Turki secara sistematis namun selalu ada ketakutan munculnya kekuatan baru yang suatu saat akan memutuskan rantai perjuangan mereka. Pembubaran Partai Refah di era multi partai adalah salah satu bukti ketakutan adanya kekuatan yang akan mengembangkan ideologi Islam. Kehadiran Partai refah seolah menjadi momok bagi bangkitnya kekuatan Islam yang akan menghancurkan sekularisme. Demikian pula dengan upaya-upaya Kemalian (pengikut ajaran Mustafa Kemal) lainnya yang dilakukan secara sistematis sebagai bagian dari perjuangan mempertahankan sekularisme.

Pasang Surut Islam Politik

Pengekangan terhadap pelaksanaan ajaran Islam memang dibatasi oleh negara. Tetapi basis pemilih muslim kerap diperhitungkan secara politik, termasuk oleh partai-partai sekuler. Beberapa kali partai penguasa mencoba memunculkan simbol-simbol Islam sebagai strategi pemerintah untuk merawat pemilih dari kalangan muslim pedesaan yang masih taat beragama. Lebih-lebih setelah diberlakukannya sistem politik multi partai. Parta-partai banyak memperhitungkan suara umat Islam . Bahkan partai berkuasa yang nyata-nyata sekuler juga terlihat lebih toleran terhadap agama, seperti partai yang didirikan oleh Mushafa Kemal Attaturk sendiri yaitu Partai Rakyat Republik (CHP). Untuk mendapatkan tempat di hati umat Islam yang taat, maka pada tahun 1947, rezim CHP memasukkan kembali mata pelajaran pendidikan agama yang bersifat pilihan di sekolah-sekolah dan mendirikan pusat-pusat pelatihan calon khatib dan da’i. Universitas Ankara mengumumkan dibukanya Fakultas Teologi. Dan di tahun 1949, makam dan tempat suci diizikan untuk dibuka kembali. Meskipun demikian, CHP tetap mewaspadai timbulnya reaksi keagamaan dalam politik dengan memberlakukan pasal 163 UU Hukum Pidana, yang secara tegas melarang propaganda yang menyerang karakter sekuler negara.

Sementara itu, pemerintahan Partai Demokerat yang berhasil menaklukkan CHP pada pemilu 1950 dan 1954 pun banyak mengeluarkan kebijakan yang toleran terhadap Islam. Pengumandangan adzan dalam bahasa Arab diizinkan lagi, pendidikan keagamaan diperluas dan jumlah sekolah-sekolah khatib diperbanyak. Terdapat peningkatan yang cukup tajam dalam pembangunan masjid, dan penjualan literatur keagamaan diizinkan kembali. Orang-orang demokerat tidak mengakhiri pengintegrasian Departemen Agama ke dalam birokerasi dan setiap khatib tetap menjadi pegawai negeri. Dalam sikapnya terhadap Islam itu, pemerintahan Partai Demokerat secara tersirat mengakui bahwa agama tidak mesti bertentangan dengan kemajuan. Bagi mayoritas elite terpelajar yang telah menginternalisasikan dogma-dogma Kemalis dan memperoleh kedudukan di jajaran kaum elite yang berkuasa karena mewakili sudut pandang positivis yang berkiblat ke Barat, pengakuan ini mengancam hegemoni kultural mereka dan monopoli mereka di panggung politik dan dalam roda pemerintahan. Inilah sebabnya mengapa reaksi mereka terhadap ekspresi-ekspresi keagamaan yang non politis sekalipun, nyaris histeris. Sementara angkatan bersenjata yang menganggap dirinya sebagai penjaga warisan Attaturk, berkeyakinan kuat bahwa bahwa Partai Demokerat telah mengkhianati tradisi-tradisi Kemalis.

Pengenduran kebijakan-kebijakan sekuleris di bawah PD membuat Islam jauh lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari di kota-kota, di mana kultur warga pedesaan bagaimana pun juga menjadi lebih jelas melalui urbanisasi besar-besaran. Kaum intelektual Turki di masa itu memandang hal ini sebagai kebangkitan Islam kembali. Berbagai kebijakan yang banyak menonjolkan Islam dan didukung oleh faktor maraknya oposisi serta kebijakan yang merugikan militer pro rezim lama mengakibatkan terjadinya kudeta. Maka, pada pagi dini hari tanggal 27 Mei 1960, unit-unit angkatan bersenjata mengambil alih semua gedung pemerintah baik di Ankara maupun di Istanbul dan menangkap semua menteri dan deputi PD, termasuk Perdana Menteri Menderes dan Presiden Celal Bayar.

Hal di atas menunjukkan bahwa kekuatan Islam politik dapat menjadi gunung es yang sewaktu-waktu menjadi kekuatan politik yang dominan. Hal ini disebabkan karena sekularisme Kemalis hanya terkonsentrasi di perkotaan dan menjadi mainan elite semata. Namun hegemoni negara dan menjadikan Islam sebagai komoditi politik membuat Islam politik sulit berkembang dan selalu mengalami pasang surut. Akan tetapi inilah peluang baik bagi tumbuh dan berkembangnya kekuatan Islam politik di masa-masa berikutnya. Hasilnya, mereka berhasil menciptakan basis politik sendiri melalui kendaraan politik yang selanjutnya dapat memenangkan beberapa Pemilu terakhir.

Akan tetapi, partai politik berbasis Islam di Turki nampaknya hanya pandai menyerang tetapi tidak pintar bertahan. Beberapa kali partai-partai ini mengungguli Pemilu atau setidaknya meraih suara yang signifikan, namun akhirnya dengan mudah dibubarkan. Ini menunjukan kekuatan Islam politik masih terus mengalami pasang surut. Pada tahun 1995, kalangan sekuler dibuat tercengang dengan kemenangan Partai Refah. Sungguh mengejutkan karena partai yang secara tegas diproklamirkan sebagai partai Islam, memenangkan Pemilu di negara sekuler. Partai Islam ini bahkan mampu mengantarkan pimpinannya, Necmattin Erbakan sebagai Perdana Menteri. Dialah perdana menteri pertama yang berasal dari partai Islam di Turki.

Kemenangan Partai Refah membuat kalangan sekuler benar-benar merasa terusik. Pokok persoalannya adalah, kubu sekuler tak rela setelah Pemilu 1995 ‘bendera’ Islam semakin berkibar di kancah pemerintahan, apalagi berperan dominan menggantikan peran sekuler warisan Attaturk. Maka, dengan dalih menjaga kelangsungan sekulerisme dalam negara sebagaimana diamanatkan konstitusi, kubu sekuler dibantu militer memaksa PM Erbakan lengser dari kursi Perdana Menteri pada akhir Juni 1997. Tampuk pemerintahan kemudian diambil alih oleh CHP, partai sekuler yang beroposisi, dan menempatkan Mesult Yilmaz duduk di kursi Perdana Menteri yang ditinggalkan Erbakan. CHP bersama militer tak puas hanya dengan menurunkan Erbakan. Ratusan pegawai negeri sipil yang beraliran Islam disapu bersih dari birokrasi pemerintahan. Bukan cuma itu, para seniman juga terkena pembersihan. Sekitar 39 orang diadili karena mementaskan sebuah drama yang melukiskan militer Turki sebagai musuh Tuhan.

Tidak berhenti di situ, pemerintahan Yilmaz mengancam membatalkan izin operasional lebih dari 400 sekolah di Turki yang mengajarkan agama Islam. Segala izin untuk membangun ataupun merehabilitasi masjid ditangguhkan sampai ada jaminan dari kubu Islam bahwa tidak akan ada Islamisasi di Turki. Selain itu, sebagian besar dari 32 bank yang bebas bunga, yang dikelola golongan Islam, ditutup. Sekitar 53 organisasi dan kelompok kebudayaan dilarang dengan tuduhan melanggar prinsip konstitusi tahun 1923 yang menghendaki pemerintahan sekuler. Sedikitnya 18 jurnalis yang dekat dengan Partai Refah mendapat sorotan tajam di berbagai media yang sepenuhnya dikontrol pemerintah. Kekuasaan Partai Refah hanya bertahan 2 tahun. Necmettin Erbakan diturunkan dari jabatannya, lalu disusul dengan dibubarkannya partai yang dipimpinnya itu melalui keputusan Mahkamah Konstitusi Turki pada tanggal 11 Januari 1998.

Pembubaran partai bukan berarti menghilangkan kekuatan Islam politik. Sisa-sisa aktifis partai itu lalu membentuk Partai Fadilah menyongsong Pemilu 1999. Partai ini menunjuk politisi senior Rucai Kutan sebagai ketuanya. Akan tetapi, partai ini hanya mampu meraih urutan ke tiga dengan perolehan hanya 15.41 persen suara. Namun partai ini pun harus menerima kenyataan pahit yaitu dibubarkan pula dengan tuduhan yang sama, anti ideologi sekuler dan mengancam sekularisme serta membawa misi Islam. Kekalahan dan pembubaran Partai Fadilah menjadi kelemahan sekaligus menjadi kekuatan Islam politik berikutnya. Pasca kekalahan Partai Fadilah, bekas pengurus Partai ini terpecah menjadi dua kelompok. Kalangan tua yang identik dengan faham Islam konservatif membentuk Partai Saadat. Dan kalangan muda yang memilih faham neoliberalisme membentuk AKP.

Pilihan pada faham neoliberalisme nampak lebih tepat mengingat rawannya Islam politik yang selalu berada dibawah bayang-bayang pengawasan militer. Itulah yang menyebabkan AKP dengan mudah meraih kemenangan pada Pemilu 2002, setahun sejak partai ini didirikan. Selain mengambil masa pemilih berbasis Islam, AKP juga mampu meraih simpati masyarakat sekuler yang tidak yakin dengan kemampuan partai-partai sekuler seperti CHP, dalam merubah sistem kehidupannya. Akhirnya, AKP dengan mulus menguasai parlemen dan kursi perdana menteri.
Kekuatan AKP semakin tak terbendung ketika mampu menunjukkan diri sebagai partai yang tidak anti sekuler, serta meningkatkan perekonomian Turki. Inilah yang menopang kemenangannya untuk kedua kalinya pada Pemilu 2007 dengan menguasai tiga unsur negara yang paling strategis sekaligus yaitu parlemen, perdana menteri dan presiden. AKP menduduki 341 dari 550 kursi di Perlemen, mempertahankan Recep Toyyip Erdogan sebagai Perdana Menteri dan menghantarkan Abdullah Gul sebagai Presiden. Hal inilah yang menjadi ancaman besar bagi kalangan militer yang khawatir dengan runtuhnya bangunan sekularisme Turki.

Di saat AKP mulai menguat, partai berbasis Islam kembali terancam bubar. Untung saja AKP mampu membuktikan diri sebagai parti anti kelularisme. Pada Juli 2008 lalu, Mahkamah Konstitusi Turki sempat menyidangkan gugatan jaksa yang menuntut agar AKP dibubarkan dengan alasan mengancam keberlangsungan sekularisme di Turki. Perdana Menteri Recep Toyyib Erdogan dituduh makar terhadap negara yang dipimpinnya yang secara nyata berazaskan sekularisme. Tuduhan itu terlontar setelah pemerintah di bawah rezim AKP mengesahkan pencabutan peraturan larangan berjilbab di perguruan tinggi. Pada 23 Februari 2008 lalu, Presiden Abdullah Gul menandatangani perubahan konstitusi itu setelah parlemen yang didominasi AKP menyetujui amandemen. Padahal, larangan berjilbab adalah produk rezim sekuler dan menjadi salah satu simbol dari sekularisme Turki. Artinya, kebijakan AKP itu secara nyata telah melawan prinsip-prinsip sekularisme Kemalis.

AKP memang terlalu cepat mengeluarkan kebijakan yang kontroversial di kalangan sekuler, terutama masalah yang berkaitan dengan nilai-nilai sekularisme Kemalis. Barangkali karena AKP terlalu optimis atas kemenangannya yang signifikan dalam Pemilu 2007 dan penguasaannya terhadap parlemen. Berbeda dengan kebijakannya pada periode 2002-2007 setelah AKP meraih kemenangan hanya 34.28 persen suara. Saat itu, AKP sama sekali tidak terlihat berseberangan dengan prinsip-prinsip sekularisme Kemalis melainkan lebih konsentrasi pada pembangunan ekonomi. Kenyataannya, panatisme atas sekularisme yang ditanamkan oleh Mustafa Kemal Attaturk sekitar 72 tahun itu masih kuat, terutama dari kalangan militer. Atas nama pengawal sekularisme, militer selalu siap tampil di depan dalam menghalau potensi-potensi yang mengancam sekularisme Turki. Kekuatan politik yang selalu dianggap paling berbahaya adalah kekuatan Islam politik yang dipelopori oleh partai politik berbasis Islam seperti AKP.

Kebangkitan dan Prospek Islam Politik

Tak pernah terbayangkan, jika di sebuah negara sekuler tiba-tiba mayoritas rakyatnya memutuskan untuk tidak memilih partai sekuler dalam Pemilu. Sebaliknya, mereka memilih partai yang berhaluan Islam yang selama ini dibenci oleh kalangan sekuleris Kemalis. Untuk kedua kalinya AKP menang dalam Pemilu Turki. Banyak orang tentu bertanya, bagaimana bisa terjadi?. Mengapa rakyat Turki mempercayakan kekuasaan politiknya dipegang oleh AKP, bukan kepada partai oposisi yang sekuler seperti CHP atau MHP? Apakah rakyat Turki memilih dan kembali mempercayakan suaranya untuk AKP karena semata-mata garis politiknya lebih diwarnai dan dijiwai semangat Islam, ataukah gejolak politik yang berimplikasi terhadap kehidupan sosial masyarakat?. Akankah ini adalah era kebangkitan Islam politik di Turki? Menarik untuk dicermati, Turki sebagai sebuah negara demokrasi yang secara geografis berada di dua benua yaitu Asia dan Eropa. Kultur Eropa memang sangat mewarnai masyarakat Turki dengan demokrasinya semenjak Mustafa Kemal mengambilalih kekuasaan dari Sultan Abdul Hamid dan mengubah negeri itu dari Khilafah Islamiyah menjadi Republik Turki.

Pandangan negara-negara di dunia tiba-tiba terkonsentrasi pada hasil Pemilu Turki. Dimana partai-partai sekuler ditaklukkan oleh AKP, sebuah partai yang dekat dengan nilai-nilai Islam, simbol-simbol Islam dan pemilih-pemilih dari kalangan Islam yang taat beragama. Inilah awal dari bangkitnya kembali Islam politik sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah.

Secara historis, kemenangan gemilang partai berbasis Islam itu bisa dipahami dari tiga periode yang dianggap merupakan titik balik sejarah gerakan Islam politik di Turki. Kemenangan partai politik berbasis Islam ini tidak hanya pada perolehan suara di parlemen, tetapi juga berhasil menduduki jabatan penting seperti Perdana Menteri dan Presiden. Ketiga periode itu adalah pertama, periode dari bulan Maret tahun 1994 hingga tahun 1997. Periode kedua pasca tahun 1997 hingga berdirinya AKP pada bulan Agustus tahun 2001. Periode ketiga, kemenangan AKP tahun 2002 hingga sekarang.

Periode pertama (1994-1997), ditandai oleh keberhasilan politik luar biasa gerakan Islam politik setelah Partai Refah yang dipimpin oleh Necmettin Erbakan memenangkan pemilu lokal pada 27 Maret 1994. Partai Refah untuk pertama kalinya saat itu berhasil memegang jabatan gubernur di dua kota terpenting di Turki, yaitu Kota Istanbul dan Ankara. Kader muda Partai Refah, Recep Tayyip Erdogan yang baru berusia 40 tahun saat itu menduduki kursi jabatan gubernur Istanbul. Laju Partai Refah semakin tidak dapat dibendung waktu itu dengan kemenangan pada Pemilu parlemen pada bulan Desember 1995 yang mengantarkannya ke tampuk kekuasaan. Necmettin Erbakan ditunjuk sebagai perdana menteri.

Menurut banyak pengamat politik, ada dua interpretasi dari kemenangan Partai Refah tersebut. Pertama, kegagalan ideologi sekuler yang diadopsi negara Turki sejak diproklamirkannya Turki modern tahun 1923 M, dalam membawa rakyat negara itu ke kondisi yang lebih modern secara sosial dan ekonomi. Kedua, pengaruh bangkitnya gerakan Islam politik di Timur Tengah yang diwarnai oleh masuknya kubu Islam ke dalam kekuasaan di Yaman, Sudan, Jordania, dan Maroko. Selain itu, Turki juga tidak pernah sepi dari gejolak politik dalam negeri. Partai-partai politik di Turki bersaing dengan atas nama ideologi Kemalisme sebagai ideologi kekuasaan dan negara. Berbagai kudeta dan pertumpahan darah terjadi atas nama ideologi itu. Para elite politik silih berganti memegang tampuk kekuasaan dan menggiring negara Turki ke arah dunia Barat dengan atas nama ideologi Kemalisme.

Memang, sejalan dengan penerapan sekularisme, Turki menjadi negara maju dan sejajar dengan negara-negara Barat. Namun sejarah juga mencatat, situasi politik Turki selepas menjadi republik tidak luput pula dari catatan negatif yang mencederai tatanan demokrasi di negeri itu. Antara lain, perebutan kekuasaan oleh tentara mewarnai beberapa kali perubahan rezim pasca Mustaha Kemal Attaturk. Tercatat kudeta militer terjadi pada 1960, 1971 dan 1980.
Misalnya, pada kudeta 1980, Jenderal Kenan Evren merebut kekuasaan dengan bertindak lebih represif. Partai politik dibubarkan, pelarangan kritik terhadap pemerintah, beberapa media massa diberangus, lawan-lawan politik dipenjarakan dan sebagian diantaranya mengalami kematian secara tidak jelas. Militer secara tradisional merupakan pendukung utama sekularisme. Oleh karena itu, tentara berkepentingan agar nilai-nilai sekularisme tetap diterapkan oleh siapa pun rezim yang berkuasa di Turki. Para penguasa mengimpor mekanisme, konsep, tradisi, dan gaya hidup dengan atas nama ideologi tersebut dalam upaya memerangi buta huruf, kemiskinan, keterbelakangan, fanatisme madzhab, dan etnis. Inilah yang menciptakan struktur masyarakat di Turki antara minoritas modern yang otoriter dan mayoritas konservatif yang memegang kuat tradisinya dan mencoba melakukan pembaruan dari dalam nilai-nilai masyarakat itu sendiri. Wujud struktur masyarakat yang timpang itu menyebabkan terjadinya krisis sosial di Turki yang lambat laun berdimensi politik. Krisis tersebut menemukan titik singgung dengan kepentingan gerakan Islam politik di negara itu.

Krisis yang dialami ideologi Kemalisme itu timbul bersamaan dengan buyarnya ideologi kiri di dunia yang disimbolkan oleh ambruknya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan ideologi dalam front yang biasanya menjadi tumpuan kaum fakir miskin.
Partai Refah menemukan momentum tersebut dengan mengumandangkan jualan kubu kiri seperti jargon keadilan dan kesejahteraan. Maka, berpalinglah massa kiri ke Partai Refah. Menurut Pemimpin Demokratik Sol Parti (DSP) atau Partai Kiri Demokrat, Bulent Ecevit, buyarnya kubu kiri di Turki dan internasional, telah membantu bagi bangkitnya Partai Refah. Ia mengatakan, suara yang diraih Partai Refah adalah suara dari golongan kaum putus asa atau kecewa atas partai-partai sekuler baik dari kiri mau-pun kanan. Sementara seorang pejabat dari Doğru Yol Partisi (DYP) Partai Jalan Kebenaran pimpinan Tansu Ciller juga mengatakan, ketika ideologi kiri di Turki mengalami kebangkrutan, maka naiklah popularitas Partai Refah yang dengan sangat cerdik mengadopsi jargon-jargon sosialisme dan Islam. Ia meramalkan, golongan dalam jumlah besar dari kaum kiri radikal Turki dalam waktu dekat akan berpaling ke partai Islam.
Ada lagi kondisi yang sangat menguntungkan bagi Partai Refah dalam menuai kemenangan yaitu meletusnya Perang Bosnia dan Chechnya. Perang kedua negara ini menjadi isu luar negeri yang dibangun Partai Refah untuk menarik simpati pemilih yang mayoritas muslim. Saat terjadi perang Perang Bosnia dan Chechnya itu, Para pengamat dan wartawan yang beraliran sekuler, mulai berbicara dimensi agama dalam kasus Bosnia dan Chechnya, serta mereka berani menuduh kekuatan Rusia ingin membasmi keberadaan umat Islam di Eropa Timur. Media massa Turki membentuk opini umum bahwa rakyat Bosnia dan Chechnya terancam eksistensinya hanya lantaran mereka beragama Islam. Isu tersebut telah berandil besar terjadinya perubahan paradigma berpikir rakyat dan elite Turki ke arah yang lebih Islamis. Rasa sentimen keagamaan pun meningkat tajam. Inilah yang menyebabkan berpalingnya pemilih Turki dari partai sekuler ke partai Islam.

Meskipun demikian, masyarakat di kalangan sekularis masih dihantui kecemasan akan praktik syariat Islam jika partai Islam berkuasa. Mereka khawatir terjadinya pembatasan kebebasan dan keterbukaan yang selama ini mereka nikmati. Akan tetapi, Necmettin Erbakan saat itu selalu menegaskan dalam berbagai kesempatan bahwa Partai Refah adalah partai politik yang penuh persaudaraan, perdamaian, dan kecintaan. Ia pun menghindari berbicara tentang syariat Islam di Turki. Seorang anggota parlemen dari Partai Refah paling jauh hanya berani menegaskan, bahwa Partai Refah akan menerapkan larangan minuman keras, menutup pabrik minuman keras, dan menutup tempat-tempat prostitusi di wilayah yang dikuasainya. Namun tak lupa, Partai Refah memberikan solusi. Misalnya, menutup pabrik minuman keras tetapi menggantinya dengan pabrik lain untuk menghindari pengangguran. Menutup tempat-tempat prostitusi, tapi negara akan berusaha membantu keuangan bagi mereka yang ingin nikah secara sah sehingga mereka tidak terjerumus pada pola hubungan illegal.

Dalam konteks ini, Partai Refah sengaja mengumandangkan jargon-jargon yang tidak membuat cemas kaum sekularis. Erbakan juga menolak kalau Partai Refah akan menjelma sebagai partai yang akan menerapkan larangan secara paksa. Ia mengatakan, jalan terbaik untuk melakukan perubahan adalah dengan cara membujuk secara bijak hingga benar-benar muncul kesadaran serta kesediaan. Ia juga menegaskan, menolak mencapai kekuasaan dengan kekuatan dan kekerasan. Aksi teroris dan kekerasan sama sekali bukan dari ajaran Islam.

Inilah bagian dari kondisi-kondisi dan dinamika Turki yang dapat dimanfaatkan Partai Refah dalam mencapai kekuasaan. Partai politik yang lahir dan berkembang dengan ideologi dan faham yang berbeda dengan umumnya partai sekluer yang ada, mampu merebut suara mayoritas dalam Pemilu. Juga fraksi mayoritas di Parlemen, serta memegang jabtan perdana menteri. Tetapi, rival-rival politik di tingkat elit tentunya tak tinggal diam. Sekulerisme yang masih kental akan terus dipertahankan oleh kalangan sekuler yang dimotori militer. Mereka tetap merasa tidak nyaman jika Partai Refah berkuasa. Sebab, apapun argumentasinya hanyalah bentuk diplomasi dan tipuan. Maka secara diam-diam, militer pun melakukan kudeta.

Akibatnya, partai ini hanya mampu menunjukkan eksistensinya selama 3 tahun. Partai Refah harus menelan pil pahit sejak runtuhnya pemerintahan Perdana Menteri Necmettin Erbakan yang juga pemimpin partai ini. Pada bulan bulan Juni tahun 1997, Necmettin Erbakan diturunkan dari jabatannya yang dilukiskan sebagai kudeta putih yang digalang oleh militer. Jatuhnya pemerintahan PM Erbakan itu disusul dengan dibubarkannya Partai Refah melalui keputusan Mahkamah Konstitusi Turki pada tanggal 11 Januari 1998.

Periode Kedua (1998 - 2001), adalah masa transisi Islam politik yaitu antara kemenangan Partai Refah pada Pemilu 1995 dan kemenangan AKP pada Pemilu 2002. Meski Partai Refah dibubarkan, namun ideologi dan karakter politik para tokoh dan kader-kadernya masih melekat. Mereka terhimpun kembali dalam kekuatan baru dengan membentuk partai politik baru.
Menyongsong Pemilu Turki tahun 1999, kader-kader Partai Refah itu membentuk Partai Islam Fadhilah dengan menunjuk politisi senior Rucai Kutan sebagai ketuanya. Namun pada Pemilu ke-14, Minggu 18 April 1999 itu, partai yang terus tertekan oleh kalangan sekuler ini tidak bisa mengulangi kemenangan seperti yang dialami partai pendahulunya. Partai ini hanya mampu menempati urutan ketiga atau hanya 15,41 persen suara. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dibubarkannya Partai Refah, di mana ada pengaruh psikologis pemilih mengingat Pemilu 1999 diselenggarakan berselang waktu hanya setahun setelah Partai Refah dibubarkan. Di sisi lain, masih terjadinya tekanan politik dari kalangan sekuler. Buktinya, Partai Islam Fadhilah dibubarkan dengan tuduhan anti ideologi sekuler sebagaimana alasan pembubaran Partai Refah.
Selain dibubarkan, mantan kader-kader Partai Fadilah juga tidak solid. Perjuangan mereka menjadi terpecah, sebagian tetap pada faham Islam konservatif, sebagiannya lagi memilih menganut faham liberal. Mantan kader-kader Partai Fadhilah yang menganut faham Islam konservatif lalu mendirikan Felicity Party (Saadet Partisi) atau Partai Saadet. Mereka terdiri dari kalangan politisi senior di pimpinan Rucai Kutan. Sedang mereka yang liberal terdiri dari kalangan politisi muda di bawah pimpinan Recep Tayyip Erdogan, kemudian membentuk Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP). Tetapi itulah berkah dari perpecahan mereka, faham liberal sedikit memberikan ruang bagi kalangan plitisi muda melalui AKP untuk melanjutkan perjuangannya hingga membawa prestasi yang tak kalah gemilangnya dengan Partai Refah pada periode selanjutnya.

Periode III (2002 – 2008) merupakan periode kegemilangan Islam politik. Pilihan faham liberal yang dianut oleh kalangan politisi muda ternyata tepat. Hal ini membuka ruang bagi mereka untuk tidak merasa dianggap sebagai partai Islam yang akan mengancam sekulerisme. Meskipun membawa misi Islam dan melawan sekularisme, mereka tidak ingin muncul secara pulgar. Faham liberal dan perpecahan akibat perbedaan faham dengan kalangan tua menjadi tameng mereka untuk tidak dikatakan sebagai kelompok yang kontra sekularisme.

Apapun motifnya, tetapi paling tidak hal ini dianggap sebagai bagian dari strategi saja. Tentu mereka tidak menginginkan AKP yang dibentuknya bernasib sama dengan partai pendahulunya seperti Partai Refah dan Partai Fadhilah. Ini hanyalah strategi untuk mengelabui politisi sekuler agar AKP tidak terklaim sebagai partai kontra sekluarisme. Padahal sulit dipungkiri, sebab bagaimana pun Partai Islam Fadhilah yang melahirkan AKP, juga terlahir dari Partai Refah. Di sisi lain, pemimpin AKP, Tayyip Erdogan adalah pengagum Necmettin Erbakan, pemimpin Partai Refah. Namun, membungkus AKP dengan neo-liberalism lebih diterima dibandingkan partai Saadet yang secara nyata diproklamirkan sebagai partai yang beraliran Islam konservatif.
Meskipun demikian, AKP tetap saja kembali dianggap sebagai partai yang akan mengancam sekulerisme. oleh karena itu dalam rangka menghadapi Pemilu, AKP selalu mendapatkan black campign yang menyebutkan bahwa AKP akan mengembalikan Turki ke masa lalu lagi. Tetapi, kemampuannya menepis dan bukti nyata selama kekuasaan partai berbasis Islam sebelumnya berkuasa ditambah dengan persoalan sosial masyarakat Turki di bawah pengaruh sekulerisme. Akhirnya, banyak masyarakat yang memilih alternatif lain untuk merubah kondisi negaranya. Maka jadilah AKP sebaai pemenang Pemilu 2002 itu dengan pero;ehan 34,28 persen.

Kemangangan AKP pada tahun 2002 itu adalah awal kemenangannya pada Pemilu berikutnya. Di mana pada Pemilu 22 Juli 2007 lalu, AKP kembali mendulang suara mayoritas dengan 46,66 persen suara atau 341 dari 550 kursi di Parleman Inilah prestasi paling gemilang partai berbasis Islam yang mampu memenangkan Pemilu secara berturut-turut dalam dua kali Pemilu. Kemenangan AKP tersebut menunjukkan semakin kuatnya partai berbasis Islam di pentas politik Turki dalam tiga dekade tersebut. Hal ini sekaligus menunjukkan semakin diragukannya kemampuan sistem sekuler di negara itu dalam menyelesaikan problema masyarakat.
Kemenangan-kemenangan partai berbasis Islam terutama AKP, tentu saja menjadi perhatian serius banyak kalangan di Turki, negara-negara Islam, dan negara-negara Barat. Bagaimana tidak, partai yang dianggap tabu di negara sekuler bisa mengalahkan partai penguasa yang berlandaskan pada ideologi negara. Namun, di luar dugaan, pencabutan larangan berjilbab diperguruan tinggi menjadi pintu masuk kalangan sekuler yang sekaligus menjadi masalah baru bagi AKP. Kejaksaan Turki mengadukan AKP ke Mahkamah Konstitusi dengan tuduhan makar terhadap sekularisme. Jaksa penuntut meminta agar partai berkuasa, AKP dibubarkankarena menjadi ancaman bagi status resmi Turki sebagai republik sekuler. Di depan majelis MK, Jaksa Abdurraham Yalcinkaya mengatakan, AKP telah menjadi titik konsentrasi kegiatan anti-sekuler. "Risiko semakin meningkat setiap hari," kata petisi setebal 162 halaman yang diserahkan oleh Yalcinkaya kepada Mahkamah Konstitusi. "Bahayanya jelas dan nyata. Tidak ada cara lain untuk melindungi masyarakat selain menutup partai," kata dokumen tersebut. Selain itu, jaksa meminta perdana menteri, presiden, dan 69 anggota partai dilarang aktif dalam politik. Bukti utama yang diajukan oleh jaksa adalah upaya pemerintah untuk mencabut larangan berjilbab bagi wanita di perguruan tinggi.

Sementara itu AKP mengutuk kasus yang diajukan terhadapnya sebagai serangan terhadap demokrasi. Polisi juga menangkap 20 orang warga dan dua orang jenderal yang diduga akan melakukan kudeta. Penahanan dua jenderal ini terjadi sehari setelah AKP disidangkan terkait tuntutan pelarangannya di dalam sidang MK tersebut. Keadaan ini menunjukkan bahwa saat ini AKP dalam keadaan yang tidak aman. Jika kekuatan politik AKP melemah, maka selalu ada kemungkinan militer akan bereaksi kembali atas nama benteng sekularisme Turki sebagaimana yang dilakukannya terhadap perdana menteri Necmattin Erbakan dan Partai Refah atas tuduhan membawa misi Islam. Saat ini AKP telah berani mengambil kebijakan kontroversial dengan mencabut larangan berjilbab di Perguruan Tinggi. Padahal larangan berjilbab di itu adalah produk pemerintahan kalangan sekuler. Artinya, AKP secara terang-terangan telah berani menantang kalangan sekuler.

Tetapi di sisi lain, keadaan Partai Refah dan AKP mungkin saja berbeda. Sebab kemenangan Partai Refah pada Pemilu 1995 itu tidaklah signifikan, hanya 21.38 persen yang dibayang-bayangi oleh Motherland Party dengan 19.65 persen. AKP memiliki legitimasi yang jauh lebih besar hingga mencapai 46.66 persen, sementara partai pemenang kedua hanya 20.85 persen yang diraih oleh partai yang didirikan oleh Mustafa Kemal Attaturk, Republican People's Party (CHP).

Dengan demikian, tentu saja AKP tampil lebih percaya diri. Hal ini meminimalisir ketakutan terhadap ancaman militer. AKP memiliki mayoritas rakyat yang tidak setuju dengan kebijakan AKP. Lebih-lebih kebijakan itu adalah pro rakyat. Oleh karena itu, akan ada lagi kebijakan-kebijakan serupa yang suatu saat akan dikeluarkan. Dan jika rakyat merasa lebih nyaman dengan hal itu, maka AKP akan tetap tampil sebagai penguasa hingga Pemilu berikutnya. Meskipun akhirnya dikudeta dan AKP dibubarkan, maka tidak sulit bagi partai berbasis Islam lainnya untuk menggalang kekuatan kembali sebab, keberhasilan pembanguanan dari kebijakan AKP yang pro rakyat menjadi modal partai politik berbasis Islam yang muncul berikutnya.
Memang, militer dan kelompok sekuler yang direpresentasikan melalui CHP sebagai kekuatan politik dominan di Turki sangat cemas melihat manuver-manuver politik AKP. Wujudnya, kelompok sekuler ini tak henti-hentinya menuding bahwa AKP akan mengganti sistem politik sekuler Turki dengan sistem politik yang lebih bernafaskan Islam. Kekhawatiran kaum sekuler akan terjadinya Islamisasi di Turki adalah suatu hal yang berlebihan. Dalam menjalankan roda pemerintahan Turki selama lima tahun ke depan, AKP akan lebih bersikap pragmatis. Pragmatis dalam arti akan lebih berfokus pada hal-hal yang praksis dan membumi sifatnya, seperti menjaga laju pertumbuhan ekonomi Turki yang terus membaik pada rezim AKP.

Akankah Islam politik akan terus mampu bertahan? Entahlah, tetapi yang jelas Islam politik akan terus mengalami pasang surut. Jika AKP tidak sampai dibubarkan, maka inilah awal dari kegemilangan Islam politik di Turki. Setidaknya, saat ini AKP telah mampu melakukan antisifasi dengan melakukan penangkapan terhadap mereka yang terindikasi akan melakukan kudeta. Pemerintah melalui kepolisian telah menangkap puluhan orang, dua diantaranya adalah jenderal purnawirawan. Sebaliknya, jika terpaksa harus terjadi kudeta militer dan AKP dibubarkan, maka setidaknya AKP telah menampilkan sebuah dinamika politik yang simpatik. Artinya, kekuatan Islam politik sewaktu-waktu dapat muncul kembali, sehingga Islam politik tidak akan pernah mati di Turki, meskipun tidak pula mengalami kejayaan.

Penutup

Turki adalah negara sekuler yang mengacu kepada doktrin sekularisme Kemalis. Akan tetapi sekularisme selama sekitar 72 tahun itu terancam bergeser setelah unsur-unsur strategis dalam sistem kenegaraan Turki dikuasai oleh partai berbasis Islam pasca kemenangan AKP dalam dua kali Pemilu. Kemenangan partai-partai berbasis Islam dalam pemilu menandai bangkitnya Islam politik di Turki.

Keberhasilan gerakan Islam politik berawal dari dua hal besar yang telah dilakukan yaitu penggalangan basis melalui gerakan Islamisasi dan mempertahankan kepercayaan pendukung melalui kebijakan pro rakyat yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Partai refah dan AKP. Sasarannya adalah masyarakat yang taat beragama yang umumnya berada di pedesaan, masyarakat pro sekuler yang jenuh degan resim sekuler, dan masyarakat yang tidak terjebak pada prinsip sekularisme maupun Islam tetapi lebih membutuhkan kesejahteraan melalui peningkatan ekonomi. Inilah peluang bagi bangkitnya Islam politik di Turki.

Kemenangan AKP dalam dua kali Pemilu secara berturut-turut, Pemilu 2002 dan Pemilu 2007, telah berpengaruh terhadap sistem ketatanegaraan Turki. Struktur kenegaraan Turki dikuasi oleh AKP yang Islamis. Pada Pemilu 2002 AKP berhasil menguasai parlemen dengan mendudukkan 363 kadernya dari 550 kursi yang tersedia di Parlemen. AKP juga berhasil menghantarkan Recep Toyyib Erdogan sebagai Perdana Menteri Turki. Sementara pada Pemilu 2007, AKP kembali menguasi parlemen dengan meraih 341 kursi pada Pemilu 2007 dan mempertahankan Recep Toyyib Erdogan sebagai perdana menteri untuk periode ke-2. Yang lebi prestisius adalah AKP mampu menghantarkan Abdullah Gul sebagai presiden Turki. Dengan demikian, proses perubahan sistem ketatanegaraan akan lebih mudah dilakukan
Hal ini ditandai dengan keberanian AKP untuk mengeluarkan serangkaian kebijakan yang bertentangan dengan sekularisme Kemalis. Salah satu contohnya adalah dicabutnya larangan berjilbab di perguruan tinggi. Meskipun hanya dalam tataran simbolik namun secara jelas bahwa masyarakat Turki menginginkan sebuah sistem negara yang tidak melakukan pengekangan terhadap kehidupan beragama mereka. Keinginan semacama ini tersirat dari dukungan yang diberikannyya kepada AKP. Turki tentu akan mengalami perubahan sistem. AKP akan melakukan prubahan sistem ketatanegaraan yang Islami, minimal akan mereduksi makna sekularimse di mana tidak lagi ada pengekangan terhadap rakyatnya dalam melaksanakan ajaran agamanya.

Namun, tidak ada yang dapat menjamin bahwa AKP yang kontroversial di kalangan sekuler akan mampu bertahan hingga akhir periode pemerintahan. Telah banyak bukti yang menjadi pelajaran bagaimana Turki dijauhkan dari kekuatan politik berbasis Islam oleh kalangan militer. Akan tetapi, legitimasi AKP melalui kemenangan yang signifikan pada Pemilu 2007 juga menjadi keyakinan bahwa AKP akan mampu melewati tantangan dari militer. Lebih-lebih jika tidak ada niat bagi AKP untuk melakukan Islamisasi Turki. Meskipun harus menelan pil pahit, di mana AKP dibubarkan, namun sejarah AKP akan menjadi spirit dan modal perjuangan partai-partai berbasis Islam lainnya pada masa yang akan datang. Partai berbasis Islam lainnya akan lebih mudah menggalang kekuatan kembali.

Bahan Bacaan

Abdalla, Ulil Abshar. (2005). Menjadi Muslim Liberal. Jakarta, Nalar.
Abegebriel, A. Maftuh, dan Abeveiro, A. Yani. (2004). Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia. Jogjakarta, SR-Ins Publishing.
Arubusman, Muhidin. (2006). Terorisme Di Tengah Arus Global Demokrasi. Jakarta, Spectrum.
Budiman, Arif. (1996). Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama.
Chaidar. Pemilu 1999; 1419 H Pertarungan Ideologis Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler. Darul Falah.
Denny JA. (2000). Negara Sekuler Sebuah Polemik. Jakarta, Pura Berdikari Bangsa.
Gerges, Fawaz A. (2002). Amerika dan Islam Politik; Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan?. Jakarta, AlvaBet.
Leega, David C, dan Kellstedt, Lyman A. (1993). Agama Dalam Politik Amerika, Judul Asli: Rediscovering The Religious Factor in America Politics, Terj. Debbie A Lubis dan A Zaim Rofiqi. Jakarta, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia.
Lewis, Geoffrey. (2002). The Turkish Language Reform: A Catastrophic Success. Oxford, Oxford University Press.
Lombard, Denys. (2006). Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Madjid, Nurcholis. (1999). Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta, Paramadina.
Moertopo, Ali. Studi Wilayah. Jilid I. Jakarta, Bakin.
Mulyasantosa, Nandang. (1983). Tanya Jawab Sistem Politik (Political System). Bandung, CV. ARMICO.
Shalabi, Ali Muhammad. (2002), Bangkit dan Runtuhnya Khalifah Utsmaniyah, Terj. Samson Rahman. Jakarta, Pustaka Al Kautsar.
Soehino. (1993). Ilmu Negara. cet ketiga. Yogyakarta, Liberty.
Thaib, Dahlan, dkk. (1999). Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Toprak, Binnaz. (1999). Islam dan Perkembangan Politik di Turki, Judul Asli Islam And Political Development in Turkey, Terj. Karsidi Diningrat R. Yogyakarta, PT. Tiara Wacana.
Vaezi, Ahmad. (2006). Agama Politik Nalar Islam. Terj. Ali Syahab. Jakarta, Citra.
Wahid, Abdurrahman. (2001). Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Depok, Desantara.
Wakil, Muhammad Hayyid. (1998). Wajah Dunia Islam Dari Dinasti bani Umayyah Hingga Imperialisme Modern. Terj. Fadhli Bahri. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.
Zurcher, Erik J. (2003). Sejarah Modern Turki. Judul Asli: Turkey, A Modern history. Terj. Karsidi Diningrat R. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.


*) Dimuat di Jurnal Fikroh IAIH NW Pancor, Lombok Timur