26 Juni 2009

Manohara dan Politik Entertainment

Kasus kekerasan terhadap model cantik Manohara semakin menghentakkan masyarakat Indonesia dan mengingatkan atas sederetan kasus kekerasan terhadap warga Negara Indonesia di luar negeri. Manohara menguak kasus kekerasan oleh suaminya, secara menggebu-gebu dan ‘bertele-tele’. Endingnya adalah penayangan sebuah film berjudul ‘Manohara’ di sebuah stasiun televisi swasta. Akankah ini adalah politik entertainment atau lebih tepatnya, politik marketing bagi dunia hiburan.

Sekilas, dalam iklan tayangan film Manohara itu, tergambar bagaimana penyiksaan yang dilakukan oleh Fahri, sang pangeran kerajaan Klantan Malaysia terhadap istrinya Manohara. Tapi sayang, iklan tersebut terlalu memancing rasa penasaran penonton, sehingga ditayangkan dengan sangat singkat. 'Manohara, segera di RCTI' demikian kalimat penutup di iklan tersebut.

Barangkali persepsi ini adalah ‘sisi miring’ dari fenomena celebrity. Teradang, semua pemberitaan terhadap mereka selalu diniali sebagai sensasi. Maklum, modal utama mereka adalah popularitas. Maka tak jarang, sang artis rela melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian publik.

Pertanyaan utama adalah manakah yang lebih dulu muncul antara pemberitaan kasus Manohara dan film Manohara?. Jika pemberitaan kasus Manohara, maka mungkin ini sebuah karya seni yang tanggap, cepat, tepat dan patut diberi apresiasi. Tetapi kemungkinan pertama ini sangat kecil mengingat pengerjaan sebuah film memakan waktu yang tak sebentar. Oleh karena itu, tanpa menafikan kasus kekerasannya, kemungkinan yang lebih kuat adalah film Manohara telah lama disiapkan. Singkatnya, kasus Manohara hanyalah politik marketing untuk mendongkrak rating film Manohara.