04 Mei 2010

REFLEKSI 50 TAHUN PMII
Setengah Abad Berkhidmat Untuk Islam dan Bangsa

Oleh: Mukhlis Hasyim
(Wasekjen PB PMII & Caretaker PKC PMII NTB)

KENYATAAN yang tidak dapat dibantah, bahwa mahasiswa Indonesia menempati keadaan seolah-olah memaksakan kepadanya untuk menentukan pilihan antara dua alternatif. Pertama, ikut melarutkan diri bersatu dengan pola-pola struktur social budaya tradisional bangsa Indonesia yang masih hidup dengan kokoh. Atau, Kedua, Memilih dan merangkul sepenuhnya tradisi kehidupan mahasiswa yang diwariskan oleh peradaban Barat yang menekankan keunggulan pribadi, menjunjung tinggi keutamaan akal, kritis dan analitis serta menempatkan sub kulturnya di atas sub kultur yang lain dalam masyarakat dan kebudayaan bangsa Indonesia.

Mengutif pandangan seorang ahli antropologi, Mattulada, memilih alternatif pertama tanpa menghiraukan pengaruh dari yang ke dua, berarti sama dengan menjerumuskan diri ke dalam kemelut masa silam dan membiarkan diri ditelan oleh keganasan dunia modern yang penuh dengan kegelisahan dan keresahan. Memilih secara apriori alternatif ke dua berarti meninggalkan nilai serta segala kesyahduan dan ketenangan masa silam dan akan menjadi orang asing dalam negerinya sendiri.

Salah satu elemen yang mengakomodir kedua kenyataan tersebut adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organisasi kemahasiswaan yang lahir di Surabaya pada tanggal 17 April 1960. PMII berpegang teguh pada ajaran Islam yang datang dari Timur Tengah sekaligus terbuka dengan peradaban Barat, tetapi tak akan pernah melepas tradisi lokal sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Setidaknya, sikap itulah yang dihasilkan oleh Paradigma Kritis Transpormatif (PKT) PMII yang meletakkan prinsip Islam sebagai agama, Barat sebagai kenyataan dan Indonesia sebagai kebangsaan.

Pandangan PMII tentang Islam bersumber dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai manhaj al fikr (metodologi berfikir). Sebuah cara berfikir yang menempatkan sesuatu secara proporsional dan penuh keseimbangan, mengikuti gagasan pemikiran Al Asy’ari dan Al Maturidi. Di sisi lain, gagasan Barat sebagai sebuah kenyataan tidak harus ditinggalkan. Faktanya, Barat lebih berani membuka kejumudan akibat hegemoni negara, bahkan agama sekaipun. Dan yang pasti, PMII senantiasa setia kepada negara. Kemajemukan bangsa Indonesia harus dihargai sebagai satu kekayaan dan kekuatan di mata dunia. Oleh karena itu, PMII akan tetap mengawal dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan pancasila sebagai ideologi negara.

Ketiga hal itu tersebut di atas merupakan impelementasi dari lima prinsip PMII yaitu tasamuh (toleransi), ta’adul (keadilan), tawasuth (keseimbangan), tawadzun ( ), dan hurriyah (kemerdekaan) untuk mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin. Dengan demikian, PMII bisa tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia. PMII dapat berkembang di daerah yang mayoritas beragama Hindu seperti Bali, maupun di daerah yang mayoritas Kristiani seperti NTT dan Papua. PMII dapat mentransformasikan nilai Islam dan tradisi lokal dalam bingkai NKRI, dan inilah yang membuat PMII dengan mudah diterima di semua daerah hingga terbentuknya 220 pengurus cabang di 33 propinsi di Indonesia.

Sejarah PMII

Barangkali ketigabelas pendiri PMII tak pernah menyangka bahwa organisasi yang didirikannya di Surabaya pada tanggal 17 April 1960 itu akan bertahan dan melahirkan ribuan kader secara terus-menerus setiap tahun. Mereka adalah mahasiswa berkultur organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) yang ingin memiliki wadah yang terpisah dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Saat itu, mahasiswa hanya menjadi bagian struktur IPNU di bawah Departemen Perguruan Tinggi, salah satu departemen yang membidangi kemahasiswaan di IPNU.

Berawal dari sebuah musyawarah mahasiswa nahdliyyin (NU) pada tanggal 14-16 April 1960 di Wonokromo Surabaya, PMII lahir sebagai organisasi baru berbasis mahasiswa Islam. Kelahirannya langsung disambut oleh mahasiswa NU di berbagai daerah. Mereka keluar dari organisasinya dan memilih untuk bergabung dengan PMII. Tak heran jika sejak setahun setelah berdiri, PMII dapat membentuk 13 cabang di Indonesia yaitu Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, Ciputat, Malang, Ujung Pandang, Surabaya, Banjarmasin, Padang, Banda Aceh dan Cirebon. Dalam perkembangannya selama 50 tahun, PMII telah memiliki 220 cabang yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia.

Salah satu perjuangan terbesar PMII di usianya yang belia saat itu adalah peran besarnya dalam melakukan penentangan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penopang bangkitnya Orde Baru. Orde Baru yang dilahirkan saat itu adalah sebuah era penyelamatan terhadap krisis ekonomi dan politik yang diakibatkan oleh Orde Lama. Waktu itu, Orde Lama tidak mampu lagi berdiri secara politik dan ekonomi. Rezim ini telah dianggap salah langkah dalam mengelola negara. Politik berdikari yang dipelopori Presiden Soekarno menyebabkan berhentinya semua bantuan dari luar negeri yang mengakibatkan penderitaan rakyat. Selain itu ’politik komprontasi’ dengan Malaysia telah menyedot separoh dari anggaran negara. Diperparah lagi dengan isu yang dilemparkan oleh PKI bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta.

Bukti yang tak dapat diingkari oleh siapapun adalah jemari tangan kanan Sahabat Zamroni, --Ketua Umum Pengurus Besar PMII saat itu yang tinggal dua buah. Tiga jari lainnya terputus ketika memimpin demonstrasi dalam menegakkan Orde Baru melalui koalisi gerakan yang diberinama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Saat itu, Zamroni menjadi ketua Presedium Pusat KAMI. Artinya, PMII adalah pemimpin pergerakan untuk melakukan perubahan di negeri ini.

Gerakan PMII menurun menjelang tahun 1971. Dimana saat itu akan diadakan Pemilihan Umum (Pemilu). Para aktifis PMII masih terlena dengan gerakan political oriented, mungkin karena pengaruh NU yang pada waktu itu masih menjadi salah satu partai politik -–Partai Nahdlatul Ulama (PNU)–- yang diperhitungkan di negeri ini. Kondisi sosial politik menjelang dan setelah pemilu 1971 menyebabkan merosotnya kretifitas aktifis PMII untuk melaksanakan kegiatan dan memainkan peran sebagai laboratorium kader bagi warganya.

Kondisi inilah yang selanjutnya menjadi pijakan awal diinisiasikannya indevendensi PMII dari NU. Maka pada Musyawarah Besar (Mubes) II tanggal 14-16 Juli 1972, PMII mencetuskan indevendensinya pada tanggal itu juga. Tercatat tanggal 14 Juli 1972 itu, PMII secara formal menyatakan lepas dari struktur NU agar PMII tidak lagi merasa canggung dalam menghadapi masalah-masalah nasional karena harus selalu memperhatikan kepentingan induknya yaitu NU. Sementara secara politis, sikap indevenden itu konon ada bergaining antara tokoh PMII dengan pemerintah, dan ternyata terbukti sejumlah tokoh PMII tersebut seperti Zamroni, Abduh Paddare, Hatta Musthofa, Said Budairi tercatat sebagai orang yang melahirkan Deklarasi Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Begitulah seterusnya, dan hingga kini PMII tetap menjadi organisasi yang terpisah dari NU dan terbuka terhadap mahasiswa yang berlatar belakang ormas lain seperti Muhammadiyah atau Nahdlatul Wathan di Nusa Tenggara Barat.

PMII di NTB

Lambannya perkembangan Perguruan Tinggi di setiap kabupaten di NTB tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan PMII sebagai organisasi berbasis kampus. Akibatnya, PMII hanya berdialegtika di Mataram dalam waktu yang lama sebelum akhirnya terekspansi dan terbentuknya Pengurus Cabang di 6 kabupaten/kota di NTB sejak tahun 2003 yaitu Lombok Timur, Lombok Tengah, Bima, Sumbawa, Dompu dan Sumbawa Barat. Padahal Pengurus Cabang PMII Mataram telah dibentuk 35 tahun sebelumnya.

Namun tak banyak bukti otentik yang masih tersimpan sebagai bukti sejarah perkembangan PMII saat itu. Karena selain tidak terdokumentasi secara rapi, gerakan mahasiswa secara nasional juga tengah mengalami pemasungan. Setelah pukulan berat melalui penangkapan dan pengadilan para aktivis mahasiswa akibat gerakan mahasiwa di tahun 1974 dan 1978, kampus dijinakkan. Perguruan Tinggi semakin dikontrol dengan ketat oleh negara melalui aparat birokrasi masing-masing Perguruan Tinggi. Pada tahap ini negara bukan hanya melakukan tindakan represif terhadap pimpinan mahasiswa yang dianggap biang kritik dan protes, tetapi juga dengan sistematis dan terencana negara merubuhkan gerakan-gerakan yang mencoba dibangun mahasiswa di luar sistem yang disediakan negara.

Hegemoni negara terhadap kampus ditunjukkan dengan keluarnya SK Komkamtib tahun 1974 dari Menteri P&K, dan SK Komkamtib tahun 1978 yang membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa di semua Perguruan Tinggi. Bahkan dilanjutkan dengan SK pada tahun yang sama tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) disertai dengan perangkat BKK.

Saat itu aktivitas politik dan protes tidak mampu lagi dilakukan karena resiko terlalu besar yang harus ditanggung, yakni dipecat dari kampus.oleh karena itu, PMII dalam tahun 1980-an lebih terkonsentrasi pada kegiatan diskusi dan kontemplasi. Setidaknya pengaruh itu pula lah yang dirasakan oleh PMII di Mataram, lebih-lebih sebagai organisasi yang baru hadir di Mataram.

Namun secara sistematis, kepengurusan PMII Mataram berjalan normal kembali setelah tahun 1985. Beberapa mahasiswa IAIN Sunan Ampel saat itu ingin membangun kembali semangat berorganisai mahasiswa NU di Mataram. Dengan sumber daya yang terbatas itulah mengawali regenerasi kaderisasi PMII hingga tetap eksis dan tumbuh subur di bumi gora.

Tulisan ini telah dimuat di Harian NTB Post pada peringatan Harlah PMII 17 April 2010