Sekejam-kejamnya ibu tiri, tidak sekejam ibu kota... Atau, ibu kota ibarat hutan rimba yang sangat ganas. Namanya hutan rimba, tentunya sesuatu yang menyeramkan, apalagi banyak binatang buasnya. Begitulah sebuah pepatah yang menggambarkan bagaimana hidup di ibukota yang penuh tantangan.
Terlihat di berbagai dalam benakku, ada bocah-bocah tak berbaju. Ada wanita tua yang terpakasa menjadi warga kolong jembatan. Ada juga berbagai pembunuhan sekedar merebut setetes air dan sesuap nasi untuk bertahan dari haus dan lapar. Tak seorang pun perduli. Yang kuat berjaya, yang lemah teraniaya.
Tetapi, aku akhirnya memilih untuk berada di dalamnya. Sebab, aku tau bahwa di balik kekejamannya, ia menyimpan sejuta impian. Jakarta telah menjadi pusat interaksi di segala bidang. Aku pernah mendegar celetukan yang mungkin tak bermaksud serius. "kalau mau jaddi Presiden, gubernur, pengusaha, anggota DPR, semuaya harus berangkat dari Jakarta.
Tanpa terpengaruh oleh ucapan di atas, saya akhirnya harus membulatkan tekad untuk berani hidup di rimba itu, tanpa rencana. Sejak niatku bulat untuk melanjutkan studi ke Pascasarjana UGM Yogyakarta, tiba-tiba ada sepucuk surat ku dapati. Di pojok kiri atas tertulis PMII. Ternyata aku tela menjadi Pengurus Besar PMII. "kalau begitu, sekalian aja aku S2 di Jakarta. Aku harus berangkat," gumamku tanpa ragu.
Dengan berbekal tekad dan sekedar ingin bertualang, maka tanggal 5 Juli 2005 aku mulai menapaki rimba kota dengan harapan, sehari, se bulan dan setahun ke depan ada perubahan yang membawaku menjadi minimal siapa bertahan di sini.***
16 September 2007
Menapaki Rimba Kota
Label: Kumpulan Kisah Nyata
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar