Aku mengimpikan, setelah aku pulang dengan segala kesuksesanku, aku ingin berbakti kepada kedua orang tuaku. Aku ingin memanjakan mereka. Tapi sungguh Allah berkehendak lain. Pada hari Minggu dini hari, tanggal 17 Juni 2007, Ibuku dipanggil Yang Maha Kuasa ketika aku belum berada di sampingnya.
Sungguh aku belum sempat mengabarkan kepadanya bahwa dia telah sukses melahirkanku, membesarkanku, mendidikku. Tetapi itulah rahasia Tuhan. Aku lega menerimanya sebab aku tahu, seluruh hidupnya dia telah persembahkan untuk penciptanya. Ia adalah hamba Allah yang bertaqwa.
Sebulan sebelumnya, tak ada satu isyarat pun yang datang tuk memberitahukan bahwa Ia menyalamiku tuk berpamitan dari pandangan mataku untuk selamanya. Pertengahan April 2007 lalu, aku pulang menemuinya sekedar tuk bertanya keadaannya. Ia begitu gembira, menyambutku dengan hangat dan memberiku segala perhatian yang telah lama ia tidak berikan. Maklum, aku berada di rantau. Malam itu ia begitu manja kepadaku. Ia minta dipijit, meskipun akhirnya harus meninggalkannya kembali menjalankan kewajibanku di Jakarta demi masa depanku.
Dengan lega aku meninggalkannya disertai penuh harapan bahwa di hari lebaran nanti aku akan datang kembali membawakan sejuta kasih sayang. Sebulan di Jakarta, ternyata, tanpa ada isyarat sedikitpun yang datang tuk mengabarkan bahwa aku kan menerima ujian berat di hari esok.
Malam itu, malam minggu. Aku hanya menghabiskan waktuku di tempat biasa aku bermalam minggu. Tempat itu tidak lain adalah Sekretariat PB PMI. Maklum, pendatang baru yang belum bertemu cinta.
Pukul 02.30 WIB, aku tiba-tiba tersentak oleh suara dering HP. Ku lihat nomor panggilan, dengan jelas tertulis nama "My Uncle" yang berarti ia adalah pamanku. Aku mulai berprasangka buruk. "Tidak biasanya ia meneleponku dini hari seperti itu. Apalagi di Indonesia Bagian Tengah telah menunjukkan pukul 01.30. Ada apa gerangan?," gerutuku dalam hati, sesaat sebelum mengangkat telephon.
Dalam hatiku sempat terfikir, 'pasti ada musibah'. Kalupun ada musibah, pasti orang terdekatku. Aku tidak merasakan adanya kesabaran dalam benak Pamanku tuk segera memberikan kabar. Ternyata benar, memulai kata-katanya, pamanku tak mampu berkata. Ia hanya mengucapkan beerapa kata. "Pulanglah malam ini juga, ibumu dirumah sakit".
Aku sudah berfikir, tidak mungkin ia menyuruhku pulang malam ini juga, kalau tidak ada hal yang luar biasa. Aku mulai pasrah, aku lemas dan hanya mampu mengucapkan istigfar. Aku ambil air wudlu dan ku do'akan semoga aku diberi kesempatan agar ibuku masih bisa menyapaku walaupun dengan satu nafas saja. Aku berdo'a...
Aku kembali dikejutkan oleh suara dering handphoneku. Aku angkat dan tanpa mengabariku, aku sudah mengambil kesimpulan bahwa ibuku telah pergi tuk selamanya. Sebab, sebelum mereka memberitahuku, aku telah mendengar suara tangis yang menandakan bahwa ada yang hilang di antara mereka.
Benar, ternyata belaian tangan, pijatanku sebulan yang lalu adalah salam terakhir untukku. SELAMAT JALAN IBU, Do'aku menyertaimu....
25 September 2007
Tuhan Telah Mengambil Ibuku Kembali
Label: Kumpulan Kisah Nyata