Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tiba-tiba terkesan angker setelah serangkaian alat pengamanan berteknologi tinggi diberlakukan. Demi keamanan, setiap orang yang beraktifitas di Gedung DPR harus memiliki kartu akses. Asal tidak menjauhkan anggota dewan dengan rakyat.
Memasuki gedung DPR-RI tidak sebebas hari-hari sebelumnya. Gedung yang tidak lagi sesakral pada orde baru itu, kini justru semakin ’angker’ bak markas militer, terutama bagi mereka yang jarang berunjung. Sebelumnya, untuk memasuki gedung parlemen ini cukup dengan meninggalkan kartu identitas serta diawasi oleh kamera yang siap mengintai di setiap lantai.Saat ini, untuk bertemu dengan anggota Dewan saja harus melalui beberapa level pengamanan. Memasuki pintu gerbang, pengunjung dihadang oleh pamdal yang dilengkapi dengan detector system. Begitu pula ketika hendak memasuki setiap gedung nusantara di lingkungan Senayan.
Kini, gedung Nusantara I dan setiap lantai gedung tempat ruang kerja anggota Dewan ini telah ditambah dengan pintu masuk yang hanya dapat dibuka dengan kartu akses. Bagi siapa yang tidak memegang kartu akses, maka akses untuk bertemu dengan wakil rakyat pun tertutup.
Untuk tamu yang hendak masuk, terlebih dahulu ia mendaftarkan diri di samping pintu masuk gedung nusantara I dengan meninggalkan kartu identitas diri. KTP/SIM itu lalu ditukarkan dengan kartu pengunjung/tamu dan kartu akses untuk dapat memasuki gedung serta ruang kerja anggota Dewan yang dituju. Itu pun terbatas, karena kartu yang berukuran ATM itu hanya dapat mengantarkan ke satu lantai saja. ”Kami butuh kenyamanan dan keamanan dalam bekerja,” kata seorang anggota DPR yang enggan disebutkan namanya.
Mungkin ia takut diklaim bahwa dirinya enggan bertemu dengan tamu yang kabarnya kerap datang rame-rame dengan tujuan yang tidak jelas itu. Sistem pengamanan ini diterapkan menyusul sering terjadinya peristiwa-peristiwa yang dapat mengganggu keamanan bagi mereka yang beraktifitas di dalam gedung ini. Kabarnya, seringkali anggota DPR mengaku ’dipalak’ oleh para tamu yang mengaku sebagai konstituen. Mereka juga terdiri dari para tamu yang datang daerah untuk sekedar minta tiket pulang, atau mereka yang membawa proposal atau bahkan sekedar mencari proyek.
Premanisme pengunjung juga menjadi momok yang menakutkan. Beberapa waktu lalu, anggota Fraksi Bintang Reformasi (FBR), Ade Daud Nasution ’dismack down’ sekelompok orang yang tidak dikenal. Juga berbagai kasus kehilangan berupa uang dan handphone anggota Dewan dan karyawan di ruang kerjanya.Untuk itu, setiap lantai dari 23 lantai telah terpasang pintu yang hanya dapat dibuka dengan kartu akses. Mereka yang bisa masuk adalah mereka yang memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Para ’pemburu’ anggota dewan tidak lagi bisa leluasa turun naik lantai untuk mencari ’mangsanya’.
Tidak demikian bagi anggota DPR, karyawan dan wartawan. Bagi mereka yang beraktifitas di dalam gedung ini telah disediakan kartu akses sendiri. Sekretariat Jenderal DPR, telah membagikan kartu akses untuk staf Setjen DPR dan staf anggota DPR. Sementara Bagian Pemberitaan dan Penerbitan Setjen DPR juga membagikan kartu tersebut untuk para wartawan.
Mempersulit Akses
“Tempelkan kartu akses anda,” tegur petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) kepada OPINI Indonesia saat memasuki gedung nusantara I (1/5). Menurut petugas pamdal, penggunaan kartu akses telah mulai berlaku hari ini (1 Mei, red) kecuali di tiap lantai yang rencananya mulai diberlakukan pertengahan bulan.
Sejumlah pihak mulai bersuara miring dengan pemberlakuan pintu akses tersebut. Penggunaan kartu akses ini dinilai semakin mempersempit akses rakyat terhadap wakilnya. Padahal, pengamanan saat ini sudah dianggap ketat, bila diperketat lagi dengan pemberlakuan kartu akses, maka masyarakat menjadi semakin kesulitan untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung. Penggunaan kartu akses sama artinya dengan membatasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi.
Lebih keras, pengadaan kartu akses dinilai hanya bernuansa bisnis dan bermotivasi proyek ketimbang untuk pengamanan. Diketahui, anggaran pengamanan gedung DPR/MPR mencapai Rp 1,7 miliar. Sementara itu, pengamanan ekstra ketat di DPR, tidak sebanding dengan informasi yang bisa diperoleh masyarakat, sebab tidak semua masyarakat mengetahui ruang kerja anggota Dewan yang hendak dituju. Petugas pun belum tentu dapat menunjukkan. Wal hasil, kartu akses dapat menyesatkan tamu dan tidak dapat bertemu anggota Dewan yang dituju mengingat satu kartu bagi tamu hanya untuk satu lantai.
Menanggapi kontroversi itu, Kepala Pengamanan Dalam (Pamdal) DPR Mardian Umar mengatakan, peningkatan pengamanan itu dilakukan untuk mengantisipasi tindak kejahatan di kompleks parlemen. Peningkatan pengamanan dengan menggunakan kartu akses tidak dimaksudkan untuk membatasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan bertemu dengan anggota DPR. Masyarakat tetap bisa melakukan hal itu dengan terlebih dahulu melapor ke Pamdal dan Humas DPR untuk diberikan kartu akses khusus tamu. “Setiap hari lebih dari 6 ribu orang beraktifitas di gedung DPR dari berbagai elemen dan kepentingan. Dari pedagang kantin, pegawai, wartawan, staf ahli dan anggota DPR. Bahkan banyak juga yang kedatangannya tidak jelas,” tegasnya saat melakukan sosialisasi kartu akses.
Karena itulah pihak keamanan perlu memantau disetiap sudut seluruh pihak yang beratifitas di DPR. Penggunaan kartu akses tidak bermaksud mempersulit akses masyarakat kepada anggota DPR. Kartu akses juga berguna untuk memantau jumlah dan data setiap orang yang datang di gedung DPR.
Ketua DPR RI, HR Agung Laksono. Ia juga membantah adanya anggapan pengamanan yang dilakukan di Gedung DPR dengan menggunakan kartu akses sebagai pengamanan yang berlebihan. Penerbitan kartu akses di lingkungan Gedung Parlemen tidak dimaksudkan untuk mempersulit rakyat bertemu dengan wakilnya. Sebaliknya, kartu akses dibuat untuk mencegah dan mengantisipasi kemungkinan adanya prilaku negatif di lingkungan gedung. DPR terbuka untuk rakyat dengan tidak mengenyampingkan ketertiban dan keamanan. ”Gedung ini tidak pernah ditutup untuk masyarakat, tidak pula dilarang memasukinya. Tapi, semuanya ada prosedurnya,” katanya.
Menurutnya, pengamanan yang ketat dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi mereka yang berada di Gedung DPR. Mereka akan dapat bekerja dengan baik. Dikatakan, kartu akses adalah langkah pengamanan yang punya dasar. Tentunya sudah ada koordinasi dengan aparat keamanan. Semua tamu akan diketahui maksud dan tujuannya datang ke DPR. Termasuk bagi masyarakat yang akan menyampaikan aspirasinya. “Adapun tamu yang datang secara temporer, akan diberikan kartu tamu dan kartu akses. Sama sekali bukan untuk mensterilkan gedung ini dan mencegah orang datang,” katanya. (musim)
(OPINI Indonesia/Edisi049/6 - 12 Mei 2007)
Memasuki gedung DPR-RI tidak sebebas hari-hari sebelumnya. Gedung yang tidak lagi sesakral pada orde baru itu, kini justru semakin ’angker’ bak markas militer, terutama bagi mereka yang jarang berunjung. Sebelumnya, untuk memasuki gedung parlemen ini cukup dengan meninggalkan kartu identitas serta diawasi oleh kamera yang siap mengintai di setiap lantai.Saat ini, untuk bertemu dengan anggota Dewan saja harus melalui beberapa level pengamanan. Memasuki pintu gerbang, pengunjung dihadang oleh pamdal yang dilengkapi dengan detector system. Begitu pula ketika hendak memasuki setiap gedung nusantara di lingkungan Senayan.
Kini, gedung Nusantara I dan setiap lantai gedung tempat ruang kerja anggota Dewan ini telah ditambah dengan pintu masuk yang hanya dapat dibuka dengan kartu akses. Bagi siapa yang tidak memegang kartu akses, maka akses untuk bertemu dengan wakil rakyat pun tertutup.
Untuk tamu yang hendak masuk, terlebih dahulu ia mendaftarkan diri di samping pintu masuk gedung nusantara I dengan meninggalkan kartu identitas diri. KTP/SIM itu lalu ditukarkan dengan kartu pengunjung/tamu dan kartu akses untuk dapat memasuki gedung serta ruang kerja anggota Dewan yang dituju. Itu pun terbatas, karena kartu yang berukuran ATM itu hanya dapat mengantarkan ke satu lantai saja. ”Kami butuh kenyamanan dan keamanan dalam bekerja,” kata seorang anggota DPR yang enggan disebutkan namanya.
Mungkin ia takut diklaim bahwa dirinya enggan bertemu dengan tamu yang kabarnya kerap datang rame-rame dengan tujuan yang tidak jelas itu. Sistem pengamanan ini diterapkan menyusul sering terjadinya peristiwa-peristiwa yang dapat mengganggu keamanan bagi mereka yang beraktifitas di dalam gedung ini. Kabarnya, seringkali anggota DPR mengaku ’dipalak’ oleh para tamu yang mengaku sebagai konstituen. Mereka juga terdiri dari para tamu yang datang daerah untuk sekedar minta tiket pulang, atau mereka yang membawa proposal atau bahkan sekedar mencari proyek.
Premanisme pengunjung juga menjadi momok yang menakutkan. Beberapa waktu lalu, anggota Fraksi Bintang Reformasi (FBR), Ade Daud Nasution ’dismack down’ sekelompok orang yang tidak dikenal. Juga berbagai kasus kehilangan berupa uang dan handphone anggota Dewan dan karyawan di ruang kerjanya.Untuk itu, setiap lantai dari 23 lantai telah terpasang pintu yang hanya dapat dibuka dengan kartu akses. Mereka yang bisa masuk adalah mereka yang memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Para ’pemburu’ anggota dewan tidak lagi bisa leluasa turun naik lantai untuk mencari ’mangsanya’.
Tidak demikian bagi anggota DPR, karyawan dan wartawan. Bagi mereka yang beraktifitas di dalam gedung ini telah disediakan kartu akses sendiri. Sekretariat Jenderal DPR, telah membagikan kartu akses untuk staf Setjen DPR dan staf anggota DPR. Sementara Bagian Pemberitaan dan Penerbitan Setjen DPR juga membagikan kartu tersebut untuk para wartawan.
Mempersulit Akses
“Tempelkan kartu akses anda,” tegur petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) kepada OPINI Indonesia saat memasuki gedung nusantara I (1/5). Menurut petugas pamdal, penggunaan kartu akses telah mulai berlaku hari ini (1 Mei, red) kecuali di tiap lantai yang rencananya mulai diberlakukan pertengahan bulan.
Sejumlah pihak mulai bersuara miring dengan pemberlakuan pintu akses tersebut. Penggunaan kartu akses ini dinilai semakin mempersempit akses rakyat terhadap wakilnya. Padahal, pengamanan saat ini sudah dianggap ketat, bila diperketat lagi dengan pemberlakuan kartu akses, maka masyarakat menjadi semakin kesulitan untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung. Penggunaan kartu akses sama artinya dengan membatasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi.
Lebih keras, pengadaan kartu akses dinilai hanya bernuansa bisnis dan bermotivasi proyek ketimbang untuk pengamanan. Diketahui, anggaran pengamanan gedung DPR/MPR mencapai Rp 1,7 miliar. Sementara itu, pengamanan ekstra ketat di DPR, tidak sebanding dengan informasi yang bisa diperoleh masyarakat, sebab tidak semua masyarakat mengetahui ruang kerja anggota Dewan yang hendak dituju. Petugas pun belum tentu dapat menunjukkan. Wal hasil, kartu akses dapat menyesatkan tamu dan tidak dapat bertemu anggota Dewan yang dituju mengingat satu kartu bagi tamu hanya untuk satu lantai.
Menanggapi kontroversi itu, Kepala Pengamanan Dalam (Pamdal) DPR Mardian Umar mengatakan, peningkatan pengamanan itu dilakukan untuk mengantisipasi tindak kejahatan di kompleks parlemen. Peningkatan pengamanan dengan menggunakan kartu akses tidak dimaksudkan untuk membatasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan bertemu dengan anggota DPR. Masyarakat tetap bisa melakukan hal itu dengan terlebih dahulu melapor ke Pamdal dan Humas DPR untuk diberikan kartu akses khusus tamu. “Setiap hari lebih dari 6 ribu orang beraktifitas di gedung DPR dari berbagai elemen dan kepentingan. Dari pedagang kantin, pegawai, wartawan, staf ahli dan anggota DPR. Bahkan banyak juga yang kedatangannya tidak jelas,” tegasnya saat melakukan sosialisasi kartu akses.
Karena itulah pihak keamanan perlu memantau disetiap sudut seluruh pihak yang beratifitas di DPR. Penggunaan kartu akses tidak bermaksud mempersulit akses masyarakat kepada anggota DPR. Kartu akses juga berguna untuk memantau jumlah dan data setiap orang yang datang di gedung DPR.
Ketua DPR RI, HR Agung Laksono. Ia juga membantah adanya anggapan pengamanan yang dilakukan di Gedung DPR dengan menggunakan kartu akses sebagai pengamanan yang berlebihan. Penerbitan kartu akses di lingkungan Gedung Parlemen tidak dimaksudkan untuk mempersulit rakyat bertemu dengan wakilnya. Sebaliknya, kartu akses dibuat untuk mencegah dan mengantisipasi kemungkinan adanya prilaku negatif di lingkungan gedung. DPR terbuka untuk rakyat dengan tidak mengenyampingkan ketertiban dan keamanan. ”Gedung ini tidak pernah ditutup untuk masyarakat, tidak pula dilarang memasukinya. Tapi, semuanya ada prosedurnya,” katanya.
Menurutnya, pengamanan yang ketat dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi mereka yang berada di Gedung DPR. Mereka akan dapat bekerja dengan baik. Dikatakan, kartu akses adalah langkah pengamanan yang punya dasar. Tentunya sudah ada koordinasi dengan aparat keamanan. Semua tamu akan diketahui maksud dan tujuannya datang ke DPR. Termasuk bagi masyarakat yang akan menyampaikan aspirasinya. “Adapun tamu yang datang secara temporer, akan diberikan kartu tamu dan kartu akses. Sama sekali bukan untuk mensterilkan gedung ini dan mencegah orang datang,” katanya. (musim)
(OPINI Indonesia/Edisi049/6 - 12 Mei 2007)