21 Desember 2007

Bawaslu, Bagian Dari KPU Tapi Bukan Bawahan KPU

Secara struktur, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di sisi lain, Bawaslu memiliki posisi yang lebih tinggi dari KPU secara fungsional. Bagimanakah mensinergikan kedua lembaga ini?

Bawaslu dibentuk sebagai lembaga independen yang diharapkan kritis terhadap proses pelaksanaan Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU. Bawaslu harus bisa membuktikan kredibilitas poilitk KPU secara publik. Meskipun demikian, independen bukan berarti lepas dari KPU tapi ada di sistem pemilu. Bawaslu tidak lepas dari KPU sebagai sistem Pemiliu secara keseluruan. Bawaslu secara fungsional harus independen.

Posisi Bawaslu yang masuk dalam bagian dari KPU terlihat sedikit ‘ruwet’ dan berpengauh terhadap KPU. Bawaslu secara struktural bukan merupakan anak buah KPU bahkan secara fungsional Bawaslu ada di atas KPU karena Bawaslu akan mengawasi semua stakeholder penyelenggara Pemilu. Demikian dikatakan anggta Komisi II, Idrus Marham. “Kecenderungan orang untuk berlindung di posisi struktural pasti ada. Banyak orang baru percaya diri kalau ada posisi formal. Perilaku orang seperti itu, cenderung bersikap otoriter. Dia akan berlindung pada posisinya, bukan potensi diri,” kata Idrus Marham yang juga anggota Fraksi Golkar.

Oleh karena itu, hendaknya KPU juga harus banyak memikirkan pola hubungannya dengan Bawaslu sehingga tida menimbulkan konflik. KPU harus mampu membuat rumusan petunjuk tekhnis (juknis) yang baik. Sebab, Kalau tidak ada kesepahaman, nanti akan ada konflik.

Menurut Ketua Panja RUU Partai Politik yang kini telah disahkan itu, kehadiran Bawaslu merupakan hasil kompromi dua kutub ekstrem di Parlemen. Sebelumnya, sebagian anggota DPR menginginkan agar Bawaslu independen di luar KPU. Di pihak lain berpendapat bahwa Bawaslu adalah semacam pengawas internal. Akhirnya diambil keputusan kompromis yang menempatkan Bawaslu indevenden secara secara fungsional tetapi masuk dalam struktur sebagai mitra kerja KPU. Ini untuk menghindari pembengkakan beban biaya negara.

Bawaslu dibentuk berdasarkan UU No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilu. UU tersebut telah menjadikan Bawaslu menjadi permanen. Ini disebabkan karena tugas Bawaslu tidak hanya sebatas mengawasi transfaransi dan demokratisasi Pemilu saja, melainkan turut mengawasi pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah yang hampir ada setiap tahunnya.

Menurut anggota KPU, Andi Nur, kehadiran Bawaslu merupkan kemajuan secara demokratis dalam melakukan sistem politk Indonesia. Bawaslu hanya terdiri dari 5 orang anggota yang dipilih dipilih melalui proses seleksi oleh Tim Seleksi yang kini diketuai Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Berbeda dengan pengawas pemilu yang dulu bernama panwaslu yang berasal dari unsur kejaksaan dan kepolisian yang ditunjuk.

Pengangkatan Bawaslu kali ini akan dilakukan melalui proses yang sama dengan pengangkatan anggota KPU. Tim Seleksi akan menyerahkan 15 nama calon anggota Bawaslu ke DPR untuk dilakukan fit and propertes. Selanjutnya, DPR akan menetapkan 5 nama dengan urutan skor teratas untuk diajukan dan diSK-kan oleh Presiden.

Menurut Andi, keanggotaan Bawaslu yang hanya 5 orang akan membuat tugas Bawaslu lebih berat. Lebih-lebih tugasnya bertambah dengan adanya pengawasan pemilu di Luar negari dan pengawasan terhadap Pilkada. Juga, ada pengawas lapangan di tingkat desa meliputi 1 orang 1 desa. Hanya saja, bawaslu di level propinsi ke bawah bersifat ad hoc.

Transfaransi Proses Seleksi

Dalam rangka mendapatkan out put yang maksimal, keterlibatan masyarakat dalam setiap proses seleksi sangat dibutuhkan. Transfaransi menjadi persoalan dalan setiap proses seleksi. Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (Koornas JPPR), Jerry Sumampow mengungkapkan betapa proses seleksi seringkali sangat tertutup bagi akses publik. Terkadang, masyarakatnya juga apatis terhadap proses ini, mereka hanya bersuara dan komplain setelah adanya hasil seleksi. Setidaknya itulah pengalaman JPPR dalam melakukan pemantauan pada saat dilakanakannya seleksi anggota KPU. Oleh karena itu, pihaknya berharap Tim seleksi Bawaslu kali ini bisa lebih flesksibel dalam menerima input dari masyarakat.

Jerry menangkap kesan bahwa timsel seolah tidak mau ’capek’. Padahal masukan masyarakat itu bisa diterima kapan saja. Dikatakannya, masyarakat berharap hasil optimal diharapkan dari Timsel. Sebab, kalau sudah masuk ke DPR, yang terjadi hanyalah proses politik yang mengabaikan tingkat kualitas. ”Oleh karena itu, kita harus perkuat proses seleksi untuk dapatkan 15 nama di Timsel. Kita juga tidak ingin adanya calon yang merupakan ’titipan’ dari partai tertentu. Sementara yang diharapkan publik justeru tidak diloloskan,” katanya.

Timsel harus benar-benar memperhatikan kualitas. Minimal Bawaslu memliki kriteria-kriteria yang dapat menopang kualitas kerja Bawaslu ke depan. Menurutnys, ada empat kriteria yang bisa dijadikan pegangan yaitu Independen, lepas dari partisan partai, di mana tidak cukup dengan surat pernyataan tetapi perlu ada ferivikasi dari masyarakat. Selain itu, memahami dan kompeten di bidang hukum, memiliki moral dan hukum yang bersih dan memiliki sensitivitas gender berkaitan dengan 30% keterwakilan perempuan. ”Dengan keterbatasan waktu yang dimiliki Timsel, maka minimal Timsel dapat konsentrasi dalam empat hal itu,” cetusnya.

Sementara itu ketua Timsel Bawaslu, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menjelaskan, Bawaslu merupakan sebuah tim yang bisa saling melengkapi. Integritas dan independensi adalah prinsip dasar Bawaslu. Selain itu, pengalaman, ahli keuangan, kemampuan komunikasi publik juga sangat dibutuhkan. ”Yang terpenting, bagaimana kemampuan komunikasi untuk memperahankan integritas dan indevendensinya. Politisi itu galak-galak dan emosional. Jangan sampai Bawaslu itu tidak berani menghadapi kejadian semacam itu. Maka dibutuhkan Bawaslu yang berani dan bisa galak juga,” katanya.

Oleh karna itu, pihaknya, siap menjunjung tinggi transfaransi dalam setiap proses seleksi. Siap dikritik dan dan bekerja secara benar dan transparan. Jadi, Timsel akan lebih banyak bermitra dengan LSM dan media massa karena tanpa keduanya, pressure publik akan lemah. ”Kami memang harus hati-hati agar Timsel dapat melahirkan Bawaslu yang berkualitas sehingga berdampak terhadap pemilu yang optimal. Ukuran pemilu yang sukses adalah diterima masyarakat dan internasional,” tambahnya. (musim)

(OPINI Indonesia/Edisi 80/24-30 Desember 2007)