21 Desember 2007

Menanti Sekjen DPR Baru Yang Bebas Proyek

Akhir Desember 2007 ini, Sekjen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Faisal Djamal akan memasuki masa pensiun. Selain, memikirkan pengganti yang lebih kredible, DPR juga dihadapkan pada proyek yang dikontroversial.

Sekjen DPR, Faisal Djamal akan menutup masa jabatannya dengan dua proyek yang kontroversial. Selain proyek renovasi rumah dinas berikut pembagian uang pengganti sewa tempat tinggal, DPR juga diberikan paket faksimili. Sebelumnya, Sekjen DPR dikecam karena menganggarkan pembagian uang Rp. 15 juta kepada masing-masing anggota Dewan sebagai pengganti uang sewa rumah dan apartemen selama masa renovasi perumahan. Kedua proyek terakhir ibarat kado akhir tahun sekaligus kenang-kenangan dari Faisal Djamal yang akan meninggalkan Sekjen DPR karena pensiun.

Kesan orientasi proyek begitu melekat pada kepemimpinan Faisal Djamal. Tak jarang pengamat parlemen menyebutkan, Sekjen DPR ’mendekati korupsi’. Bahkan beberapa waktu lalu, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon, meminta agar Faisal Djamal diperiksa terkait proyek-proyek yang dilaksanakan. Bagaimana tidak, DPR kerap diributkan dengan kontroversi berbagai rencana proyek Sekjen. Ada yang berhasil, ada juga yang dibatalkan akibat kecaman publik.

Direktur Indonesian Parliamentary Center, Sulastio tidak melihat banyak prestasi yang dihasilkan pada periode ini. Hal ini dapat diukur dari korelasi program dengan substansi program yang telah dilakukan oleh Sekjen DPR. Idealnya, Sekjen harus mampu menopang tiga fungsi utama DPR yaitu fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan. Tetapi itu tidak dilakukan oleh Sekjen, malah lebih berorientasi proyek semata. ”Tugas Sekjen adalah memenuhi kebutuhan Anggota DPR terkait fungsi-fungsinya. Tetapi hal itu tidak kelihatan. Yang muncul hanya program-program terkait belanja-belanja DPR seperti pagar, security, taman, dll,” katanya.

Sebaliknya, yang harus dikedepankan Sekjen seharusnya hal-hal yang berkorelasi langsung dengan kebutuhan angota DPR dalam rangka meningkatkan kualitas kerjanya. Sekjen adalah pelayan bagi anggota Dewan yang mampu menyiapkan tenaga-tenaga ahli, sumber-sumber data, sehingga pekerjaan DPR bisa lebih mudah dan menghasilkan produk-produk yang berkualitas. ”Faisal Djamal tidak lebih dari Sekjen sebelumnya. Ia leih berperan sebaga birokrat. Sekjen banyak memandang keluhan anggota DPR ditanggapi sebagai proyek. Jadi, Masalah anggota Dewan kerap dijadikan proyek bukan perbaikan,” cetusnya.

Selalu saja, kebijakan Sekjen terkesan sepihak. Buktinya, anggota Dewan yang difasilitasi Sekjen mengaku tidak tahu terhadap berbagai rencana proyek untuk kepentingan anggota Dewan itu. Akibatnya, tidak jarang anggota Dewan sendiri menolak diberikan fasilitas. Dalam kasus renovasi rumah dinas anggota Dewan di Kalibata, misalnya. Ketua Fraksi PAN DPR, Zulkifli Hasan ’ngotot’ untuk dibatalkan. Pihaknya menilai, pengadaan rumah dinas pada dasarnya tidak dibutuhkan karena dinilai terlalu eksklusif. ”Sebaiknya wakil rakyat dan pejabat tinggal bersama-sama masyarakat,” katanya.

Kasus yang sama juga terkait dengan pembagian faksimili yang kini tengah dirubutkan pulik. Sementara banyak anggota Dewan yang mengaku belum mengetahui hal itu. Bahkan, Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno menyebutkan bahwa pimpinan DPR RI sendiri belum mengetahui adanya pembagian masin faksimili untuk setiap anggota DPR itu.

Dalam kondisi seperti itu, hendaknya Sekjen tidak perlu membiarkan kontroversi berkelanjutan sehingga mengganggu isu-isu yang lebih substansial untuk diperdebatkan publik. DPR seharusnya sibukkan dengan urusan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, malah direpotkan untuk berdebat soal kepentingan anggota Dewan sendiri. Pada saat itulah sebenarnya memiliki tugas untuk melakukan klarifikasi. ”Sekjen seharusnya punya ide untuk membantu DPR melakukan klarifikasi sehingga tidak selalu menjadi polemik. Sementara, hal semacam Itu tida pernah ada. Akhirnya, anggota Dewan pun ikut-ikutan pura-pura menolak,” kata Sulastio.

Sebenarnya, anggota Dewan tidak mungkin menolak fasilitas yang diberikan. Tetapi, DPR juga harus menjaga image. Penolakan anggota Dewan bisa saja karena Sekjen melangkah melebihi hasil rapat Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).

Sekjen Baru

Memasuki masa Sekjen DPR Faisal Djamal, sudah saatnya DPR kini memikirkan Sekjen yang baru. Masa pensiun Faisal Djamal dapa dijadikan moment untuk memperbaiki kinerja Sekjen DPR periode mendatang dengan kerja-keja yang populis dan tidak menimbulkan kontroversi yang berlebihan.

Dua bulan sebelum berakhir masa jabatan, DPR sebenarnya harus sudah melakukan fit and propertes. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda melakukan hal itu. Apalagi DPR kini tengah menjalani masa reses.

Terkait akan adanya pengangkatan sekjen baru, Sulistio memberikan kriteria. Selain bukan pegawai negari sipil yang dibawah birokrasi seperti saat ini, pihaknya juga harus memiliki pengalaman di komisi, atau Sekjen di lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi, yang bersangkutan tidak terlalu birokratis.

Sekjen DPR RI merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedududukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekjen bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Sekjen DPR yang kini dipimpin oleh Faisal Jamal memang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dan fasilitas anggota DPR. Tetapi dalam prakteknya, Sekjen seringkali mengeluarkan kebijakan yang berlebihan yang menimbulkan image buruk terhadap anggota Dewan sendiri. Anggota Dewan selalu menuai makian dari masyarakat, meskipun pada dasarnya, kesemuanya adalah kebijakan Sekjen.

Agar sebagai ’pelayan’ DPR, Sekjen harus mendapatkan legitimasi dari anggota DPR, maka Sekjen harus dipilih melalui sidang paripurna. Denga demikian legitimasi dari hasil pemilihan oleh seluruh anggota melalui paripurna dapat melakukan control terhadap Sekjen. Hal ini juga dapat menghindari kebijakan tidak populis seperti sebelumnya. (musim)

(OPINI Indonesia/Edisi 80/24-30 Desember 2007)