Pasal tentang Daerah Pemilihan (Dapil) pada Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif, menjadi salah satu ‘pertarungan’ dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Perdebatan antara dua opsi, memperbanyak Dapil dan tetap dengan sistem Dapil pada Pemilu 2004. Bagaimanakah mempertemukannya?
Ketentuan tentang Dapil menentukan jumlah perolehan kursi dalam Pemilu legislatif. Tidak heran jika fraksi-fraksi saling ’ngotot’ mempertahankan opsi masing-masing demi kepentingan partainya pada Pemilu 2009 mendatang. Akibatnya, rapat panja pun sempat deadlock dan berakhir di forum loby.
Fraksi Partai Golkar (FPG) sebagai fraksi terbesar di Parlemen menginginkan agar Dapil diperbanyak dan ketersediaan kursi diperkecil di setiap Dapil. Mereka mengusulkan agar ketersediaan kursi antara 3 hingga 7 di setiap Dapil. Ketua FPG, Prio Budi Santoso saat ditemui OPINI Indonesia menegaskan, Golkar masih tetap konsisten mempertahankan untuk diadakannya penambahan Dapil ini. Tujuannya, untuk mendekakan calon legislatif (caleg) dengan konstituennya. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas representasi terhadap aspirasi rakyat.
Pada Pemilu 2004 lalu, Dapil berjumlah 69 buah yang tersebar di 32 Propinsi. Dapil sejumlah ini untuk mengatur 148.000.369 pemilih dengan 579.901 TPS. Sementara pada Pemilu 1999, Dapil hanya 27 buah yang terdapat di tiap-tiap propinsi.
Sementara itu, fraksi-fraksi yang mewakili aspirasi partai kecil tetap menginginkan sistem Dapil sama seperti Pemilu 2004. Mereka merasa ’ditelikungi’ oleh partai besar. Anggota Panja UU Pemilu dari Fraksi Amanat Nasional (FPAN), Patrialis Akbar menjelaskan bahwa perdebatan seputar dua opsi terus berlanjut hingga akhirnya dibawa ke forum loby. Tetapi sebagian besar fraksi masih mempertahankan sistim lama. ”Karena Pemilu 2004 sudah bagus, maka kami lebih setuju kalau Dapil ditentukan berdasarkan jumlah yang telah ada. Dan FPAN masih ingin agar Dapil disamakan saja dengan Pemilu lalu,” katanya.
Untung-Rugi
Masing-masing fraksi di Parlemen masih memperhitungkan ’keuntungan’ dan ’kerugian’ dari pasal demi pasal dalam RUU Pemilu. Usulan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk menambah Dapil disambut fraksi besar di DPR. Sebaliknya, partai kecil menolak karena merasa dirugikan. ”Oleh karena itu, kita ingin mengemas agar RUU Pemilu ini harus memperhatikan kepentingan bersama. Tidak ada yang terlalu diuntungkan, juga jangan sampai ada yang merasa dirugikan,” kata Patrialis di sela-sela rapat Panja RUU Pemilu di gedung DPR, Jakarta (28/11).
Namun, dominamsi partai besar diperlihatkan dalam upaya penambahan Dapil. Bertambahnya Dapil dan pengurangan jatah kursi menguntungkan partai besar. ”Upaya penambahan Dapil adalah wujud dari monopoli partai besar. Pengecilan kursi ini sama artinya dengan menyingkirkan partai kecil. Yang diuntungkan tetap saja partai besar,” kata Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro), Hadar N Gumay.
Menurutnya, gagasan mengubah Dapil dengan memperbanyak jumlah dapil tetapi memperkecil jumlah kursi yang diperebutkan hanya menguntungkan dua parpol besar yakni Partai Golkar dan PDI Perjuangan. ”Kami melihat hanya Golkar dan PDI yang pemilihnya merata di semua wilayah Indonesia. Kalau dari sisi ini, saya menilai perubahan Dapil hanya akan menguntungkan kedua parpol tersebut,” katanya.
Selain itu, kepadatan penduduk berpengaruh terhadap perolehan kursi. Melihat hasil Pemilu 2004, partai-partai besar seperti Partai Golkar dan PDIP justeru banyak mendapatkan kursi dari daerah-daerah yang tigkat kepadatan penduduknya lebih rendah. Umumnya daerah luar Jawa. Berdasarkan hitung-hitungan semacam ini, maka partai Golkar dan PDIP akan lebih diuntungkan jika Dapil banyak dan jatah kursi sedikit.
Akibat Ketidakadilan
Perdebatan kedua paksi di DPR memang pertarungan kepentingan masing-masing partai. Mereka tentunya menginginkan agar partainya memperoleh suara besar dan perolehan kursi yang lebih banyak. Namun, kegigihan partai besar untuk menambah Dapil adalah apresiasi dari ketidakadilan. Demikian dikatakan Koordinator Seknas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Jerry Sumampow saat dihubungi OPINI Indonesia.
Pada dasarnya, Jerry lebih setuju dengan jumlah Dapil yang ada pada pemilu 2004. Namun pihaknya juga melihat ketidakadilan terhadap partai yang memperoleh suara terbesar di Dapil tertentu. Ketidakadilan yang dimaksud Jerry adalah saat partai yang memperoleh suara terbesar mendapatkan kursi yang sama dengan partai yang lebih kecil. Perolehan kursi tidak representatif dalam keterwakilan di DPR. Faktor uatamanya adalah sisa suara dari perolehan kursi partai yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dan suara partai yang tidak memenuhi BPP.
Oleh karena itu, menurut Jerry, yang harus dipikirkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah bagaimana memodifikasi dan mengelola sisa suara agar prinsip representasi benar-benar diterapkan. Partai besar pun bisa menerima konsep Dapil pada Pemilu 2004 sebagaimana yang diinginkan oleh partai kecil. ”Memang tidak adil jika partai yang memenuhi bahkan melampai BPP, tetapi memperoleh kursi yang sama dengan partai yang tidak memenuhi BPP,” kata pimpinan lembaga yang kini konsern melakukan pemantauan pelaksanaan pilkada di berbagai daerah itu.
Yang lebih adil menurut Jerry adalah sisa suara harus dikembalikan kepada partai pemenang di Dapil tertentu. Itu mungkin akan mengobati kekecewaan partai-partai besar. ”Sebagai pemenang, mestinya mendapatkan kursi yang lebih banyak dari yang bukan pemenang. Yang kita lihat sekarang, tidak ada pemenang, karena antara yang meperoleh banyak suara dan suaranya kecil, masing-masing mendapat kursi yang sama,” tuturnya.
Dengan demikian, suara rakyat menjadi terkorbankan. Rakyat yang berharap kepada partai tertentu menjadi kandas karena keterwakilan partai yang dimenangkannya tidak proporsional dengan perolehan kursi di parleman. ”Dalam sisi demokrasi, memang tidak adil. Dan inilah yang harus dipikirkan jalan keluarnya,” tegas Jerry. (musim)
(OPINI Indonesia / Edisi 77 / 3-9 Desember 2007
07 Desember 2007
Dapil, Upaya Monopoli Partai Besar
Label: Berita dari Opini Indonesia