Partai Politik (Parpol) sudah bisa memantapkan diri menyongsong Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Sebab, Rancangan Undang-Undang (RUU) Partai Politik telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Sempurnakah?
Meski RUU Partai Politik telah disahkan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun sejumlah pihak masih menganggapnya belum sempurna. Munculnya kritikan dan terhambatnya proses pengesahan yang sebelumnya tertunda menunjukkan bahwa UU itu masih banyak memiliki kekurangan.
Hingga hari pengesahan, seluruh fraksi masih belum menerima secara utuh hingga terpaksa diadakan lobi-lobi kembali. Sebelumnya, perdebatan yang alot juga mewarnai rapat Pansus terkait keterwakilan peremuan serta Azas dan ciri partai. Keduanya pun di bawa ke forum lobi.
Beberapa elemen masyarakat pun menunjukkan beberapa kelemahan, misalnya terkait proses pembahasannya. Pokja Keterwakilan Perempuan–Kemitraan, menyampaikan keprihatinannya terhadap proses pembahasan. Menurut Anggota Pokja, Masruchah, proses pembahasan RUU Parpol ini telah dicederai oleh pembahasannya yang tertutup di tingkat Panja maupun Pansus. ”Tempat rapat yang jauh dan berpindah-pindah telah menjauhkan akses publik. Selain menghamburkan uang negara, mereka juga terkesan menghindar dari kontrol dan monitoring masyarakat,” kata aktifis Koalisi Perempuan Indonesia ini.
Sehari sebelumnya, elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi untuk Penyempurna RUU Politik banyak mengkritik naskah UU yang telah diproses sejak 5 September itu. Koalisi yang terdiri dari LSPP, ICW, CETRO, FORMAPPI, IPC, PSHK, dan Imparsial ini juga menyayangkan proses yang tidak transfaran dan menutup kontrol publik sehingga berpengaruh terhadap kualitas UU.
Untuk mendorong kekuatan Parpol, minimal ada tiga hal yang seharusnya diperkuat dalam UU Parpol ini yaitu kesetaraan partisifasi, akuntabilitas dan transfaransi, dan demokratisasi Parpol. Demikian dikatakan Sekjen FORMAPPI, Sebastian Salang saat konferensi pers dalam rangka menyikapi pengesahan RUU Parpol di Pulo Dua, Taman Ria Senayan (5/11).
Menurutnya, harus ada kesetaraan partisifasi dari kelompok yang termarjinalkan secara politik. Mereka adalah perempuan dan penyandang cacat. UU ini memperlihatkan adanya partisifasi perempuan yang cukup jelas, meskipun untuk penyandang cacat belum dicantumkan.
Direktur Eksekutif Cetro, Hadar N Gumay, mengapresiasi 30 persen keterwakilan perempun dalam kepengurusan Parpol. ”Tapi, sayang sekali tidak sampai keada kepengurusan di tingkat daerah. Seharusnya UU Parpol juga mewajibkannya hingga kepengurusan di tingkat propinsi dan kab/kota,” katanya.
Hal lain, semestinya harus ada akuntablitas dan tarnsfaransi Parpol dalam keuangan. Keuangan parpol harus dilaporkan kepada publik berdasarkan hasil audit. Kenyataan dalam UU ini, upaya mendorong tranfasaransi dan akuntabilitas masih setengah hati. Seharusnya perlu ada mekanisme komplain dari masyarakat.
Selain itu, UU ini akan membuat beban negara menjadi meningkat. Ini berarti, Parpol semakin ketergantungan kepada negara. Subsidi negara atas Parpol berdasarkan perolehan suara berakibat kepada pembengkakan subsidi negara terhadap Parpol. Berbeda dengan sebelumnya yang berdasarkan perolehan kursi. Seharusnya, semakin ke depan, Parpol mandiri. ”Ini juga harus dikawal karena berimplikasi terhadap KKN. Akan ada kongkalikong antara pemerintah dan partai. Pemerintah bisa saja membeli partai melalui subsidi ini,” kata Hadar N Gumay.
Sementara Ridaya LN dari ICW menyoroti audit keuangan Parpol yang hanya yang berasal dari APBN dan APBD saja. Di pihak lain, tidak ada mekanisme yang mengatur tentang sumbangan dari peroarangan termasuk perusahaan. Hanya ada himbauan untuk dilaporkan tanpa perincian sumbangan itu dari siapa saja. Kalaupun tidak membuat laporan, tidak ada sanksi. Juga, tidak ada batas sumbangan dari pengusaha. ”Bukan masalah besarnya sumbangan, melainkan adanya konglomerasi di mana beberapa perusahaan mememberikan sumbangan yang ternyata dimiliki oleh satu orang. Kita ingin menetralkan Parpol dari dominasi dan kekuasaan uang,” kata Dayat.
Namun, Ketua Pansus RUU Parpol, Ganjar Pranowo, membantah tuduhan-tuduhan itu. Pihaknya mengaku tak pernah bermaksud menutup-nutupi proses pembahasan RUU. ”Itu semua dilakukan karena menyesuaikan dengan kondisi saja. Tidak mungkin kami melakukan rapat di gedung DPR hingga dini hari. Sementara kami membtuhkan yang kondusif supaya proses pembahasan berjalan lancar. Makanya, saya selalu menempatkan diri sebagai speaker dan siap memberikan informasi kapan pun,” kata Ganjar dalam konferensi pres seusai mengikuti sidang paripurna pengesahan RUU Parpol menanggapi banyanya kritikan.
Dari berbagai keputusan terhadap UU itu, pihaknya juga memberikan kewajiban Parpol atas keterwakilan perempuan hingga ke propinsi dan Kabupaten/Kota. Namun di sisi lain, Parpol kecil juga tidak bisa dipaksakan untuk itu. ”Kami juga menghargai partai kecil yang kesulitan melakukan itu. Kami juga tak bermaksud mengaborsi dan mematikan partai-partai kecil,” ungkapnya
Azas Parpol
Salah satu yang menjadi perdebatan fraksi hingga terjadi penundaan pengesahan UU Parpol adalah terkait azas dan ciri parpol. Anggota Komisi II, Idrus Marham, menegaskan bahwa azas pancasila menjadi keniscayaan. Menurutnya, tidak perlu menggunakan pendekatan sosial politik. yang lebih produktif adalah pendekatan rasional. ”Kalau mau bersaing, mari kita bersaing secara ide dan program. Jangan bersaing dengan memunculkan simbol-simbol agama. Persoalannya, kalau bangsa ini mau maju harus ada gagasan dalam bentuk ide dan program, dasarnya tetap pancasila,” tegasnya.
Hingga hari pengesahan, lima fraksi yang terdiri dari FPPP, FPKS, FPAN, FPBR dan FBPD menyatakan tidak setuju terhadap bab IV pasal 9. Mereka pun membuat sikap minderheidsnota, yaitu nota ketidaksetujuan yang disampaikan lima fraksi dari partai berbasis Islam ini. Namun kekuatan terbesar yang berasal dari FPG, FPDIP, FPD, FKB, dan FPDS berhasil membendung hingga UU disahkan dalam sidang paripurna yang dipimpin wakil ketua DPR, Muhaimin Iskandar. Meskipun demikian, Ketua fraksi PPP, Lukman Hakim Saefudin menegaskan tidak ikut bertanggung jawab atas keputusan ini.
Bab yang dipersoalkan adalah Bab IV yang mengatur tentang Asas dan Ciri Parpol. Pasal 9 ayat 1 menyebutkan asas parpol tidak boleh bertentangan dengan UUD 45. Ayat 2, Asas dan Ciri Parpol dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita parpol yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Ayat 3 Asas dan Ciri Parpol sebagaimana termasuk dalam ketentuan ayat 1 dan 2 merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD 45. Hal ini berbeda dengan UU No 31 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa azas Parpol tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. (musim)
(OPINI Indonesia/Edisi 78/10 - 17 Desember 2007
07 Desember 2007
RUU Parpol Disahkan Menjadi UU
Label: Berita dari Opini Indonesia