07 Desember 2007

Setjen DPR, Dari Proyek Ke Proyek

Tidak semua program yang diusulkan Sekretariat Jendral (Setjen) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi kebutuhan anggota Dewan. Program fisik untuk menopang kinerja DPR dinilai hanya berorientasi proyek. Dekatkah dengan korupsi?
Tidak diloloskannya usulan pengadaan laptop senilai Rp. 21 milyar untuk seluruh anggota Dewan, Setjen DPR justru mengalihkannya dengan usulan pengadaan server. Pengadan server senilai Rp 1,376 miliar ini sebagai terjemahan dari konpensasi dari pembatalan pengadaan laptop tersebut.

Sebelumnya, Setjen DPR RI, Faisal Jamal mengatakan proyek server ini merupakan pengganti pengadaan laptop yang telah dibatalkan beberapa bulan lalu. Menurutnya, saat rapat pimpinan menyikapi penolakan publik terhadap pengadaan laptop itu, Setjen DPR diminta untuk mencari alternatif lain guna meningkatkan kinerja DPR. Alternatif lain itulah yang diterjemahkan oleh Setjen dengan peningkatan layanan teknologi informasi (TI) melalui pengadaan server.

Pengadaan server untuk melayani kebutuhan internet anggota DPR. Padahal, di setiap ruangan, masing-masing anggota Dewan telah disediakan staf yang lengkap dengan layanan jaringan internetnya.

Tutup Buku

Akhir tahun anggaran seringkali dimanfaatkan untuk mencari keuntungan. Menjelang tutup buku tahun anggaran 2007 ini, kadang-kadang program banyak dibuat hanya untuk menghabiskan anggaran. Sebab kalau tidak dpergunakan akan dikembalikan ke kas negara. Itulah kecurigaan yang berkembang atas usulan pengadaan 20 unit server di DPR RI.

Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (FORMAPPI), misalnya, menilai usulan Sekjen hanya untuk menghabiskan anggaran tahun 2007 ini. Menurut Sekjen FORMAPPI, Sebastian Salang, proyek tersebut hanya mengejar batas waktu penggunaan anggaran di DPR. Sebagaimana diketahui, batas penggunaan anggaran 2007 ini akan berakhir tanggal 14 Desember.

Bukan berarti, Sebastian tidak setuju dengan adanya program layanan tekhnologi informasi bagi anggota Dewan. Pihaknya mendukung tujuan DPR dalam membangun 20 unit server sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja serta akses akuntabilitas pada publik. Tetapi di sisi lain, Setjen hendaknya memperhaitkan unsur efektivitas dan substansinya. Sebastian tidak ingin kalau Setjen hanya terkesan melaksanakan tugasnya karena kejar proyek.

Berbagai anggapan demikian wajar mengingat berbagai usulan proyek yang tiada henti. Sederatan rencana pembangunan fisik telah dilakukan Setjen DPR secara berturut-turut tanpa jarak. Rencana yang dianggap tidak substantif akhirnya mentah ditengah jalan akibat kecaman publik. Beberapa proyek yang berhasil dilaksanakan diantaranya pembuatan pagar gedung DPR, pembuatan taman, penambahan lift, penambahan personil pamdal, pembaharuan sistem pengamanan gedung hingga pemasangan detector system. Saat ini, setjen tengah membenahi tempat parkir sepeda motor di belakang gedung DPR.

Sementara itu, di antara yang lolos berupa pengadaan laptop untuk 550 anggota Dewan, renovasi gedung nusantara III, renovasi rumah dinas. Kini Setjen kambali menuai kontroversi atas rencana pengadaan server.

’Mendekati Korupsi’

Praktek korupsi tidak hanya menggunakan uang publik kepentingannya sendiri yang berupa nominal barang kerugian publik. Indikasi korupsi dapat juga terjadi melalui perencanaan program di luar kebutuhan publik. Apakah program yang diusulkan sesuai dengan kepentingan publik atau tidak. Program yang dipaksakan adalah bagian dari indikasi korupsi. Demikian dikatakan Masyarakat Transfaransi Indonesia (MTI), Arif Hidayat saat dihubungi OPINI Indonesia.

Tanpa bermaksud menuduh, Arif mengatakan, unsur ’mendekati korupsi’ dapat saja terjadi dalam rencana berbagai proyek di DPR. Saya tidak mengatakan bahwa Setjen DPR melakukan korupsi sebab tidak ada bukti. Tetapi dugaan ke arah itu bisa saja terjadi,” katanya.

Untuk itu, lembaga manapun hendaknya mengutamakan prioritas terlebih dahulu. Misalnya, perombakan rumah DPR dan pengadaan server menjadi prioritas atau tidak. ”Semua mau dirombak, padahal yang rusak tidak seberapa. Padahal, yang direnovasi kan yang rusak saja. Di sini akan menimbulkan kecurigaan publik. Sangat kelihatan kalau proyek dipaksakan. Kalau layanan internet sudah ada, mengapa harus diadakan lagi. Pakai saja yang ada dulu,” ungkap Arif.

Hubungan proyek dengan duet Faisal Jamal dan Ketua DPR? Arif tidak melihat adanya korelasi yang erat antara keduanya. ”Terlalu jauh kalau sampai menghubungkannya ke pimpinan Dewan. Secara personal mungkin saja ada, tetapi berdasarkan kewenangan saya kira tidak ada,” bantah Arif.

Memang usulan Setjen harus dikonsultasikan dengan DPR. Selain sebagai keputusan atas kebutuhan mereka, juga karena anggaran ada di DPR. Tetapi Arif mengaku tidak yakin kalau semua proyek berdasarkan persetujuan mereka. Buktinya, banyak anggota Dewan yang kerap menolak rencana Setjen setelah beredarnya isu proyek tertentu.

Arif lebih melihatnya sebagian dari keinginan Setjen untuk proyek semata. Lebih-lebih saat ini akan tutup buku. (musim)

(OPINI Indonesia/Edisi 77 / 3 – 9 Desember 2007)