07 Desember 2007

Golkar Tiadakan Konvensi

Mekanisme yang demokeratis dan inovatif telah digagas Partai Golkar pada kepemimpinan Akbar Tanjung. Sebuah konvensi untuk menetapkan calon presiden (capres) 2004 telah memperbaiki citra Partai beringin menjadi pertai terbuka dan berbeda dengan Golkar orde baru. Pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III ini, akankah konvensi untuk capres 2009 ditiadakan?

Adanya wacana dan keinginan kuat untuk mencalonkan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla sebagai calon tunggal dari Partai Golkar pada pemilihan presiden (Pilpres) 2009 mendatang, telah memicu munculnya ide peniadaan konvensi. Pro kontra seputar mekanisme penetapan capres di Partai Golkar mewarnai pelaksanaan Rapimnas III yang berlangsung di hotel Borobudur Jakarta (22-25/11).

Konvensi telah menjadi isu paling hangat dalam Rapimnas Partai Golkar kali ini. Padahal, wacana konvensi tidak menjadi prioritas. Wacana ini muncul dari banyaknya Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang ingin juga membahas soal kepastian konvensi.

Sebelumnya, ketua umum partai Golkar, Yusuf Kalla terkesan selalu menghindar dari upaya konvensi. Wakil Presiden yang terpilih dari parti Demokrat dan koalisi kebangsaan ini cenderung ingin mencari pola baru. Akankah politisi sekaligus ’saudagar kaya’ yang populer dengan inisial JK ini takut terulangnya kembali kasus kekalahan seorang ketua umum pada konvesi sebelumnya? Hal semacam ini telah dialami oleh ketua umum Golkar sebelumnya, Akbar Tanjung yang kalah dalam konvensi oleh Wiranto dalam pencalonan presiden 2004 lalu.

Dalam sambutannya pada acara pembukaan Rapimnas itu, Kalla menegaskan bahwa Partai Golkar tidak akan membuang banyak waktu dan dana hanya untuk menjaring calon presiden. Partai Golkar harus all out dalam pertarungan sebenarnya pada pemilihan presiden 2009. ”Saya tidak ingin dana kita habiskan pada saat konvensi. Pertarungan sebenarnya adalah pilpres, bukan konvensi,” katanya.

Sebelumnya, JK juga mengatakan sistem konvensi sebagai ajang penyaringan capres dari Partai Golkar telah menyimpang dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Untuk itulah menyongsong Pemilu 2009, partai akan menyaring capres melalui forum Rapimnas. Konvensi dinilainya tidak lagi menjadi ajang pertarungan ide dari para calon, melainkan sudah berubah menjadi forum adu kekuatan yang saling menjatuhkan. ”Rapimnas atau konvensi tentu itu merupakan pilihan politik dan itu sah. Tetapi, karena konvensi telah terbukti menyimpang dari AD/ART dan tidak memberikan manfaat apapun kepada partai maka menuju pemilu 2009, Golkar kembali ke rapimnas," katanya usai memberikan sambutan dalam peluncuran buku tentang Partai Golkar di Jakarta.

Pernyataan JK itu dinilai loyalisnya bukan karena ketakutan terhadap banyaknya calon pesaingnya dari internal partai Golkar yang akan maju sebagai presiden. Wakil Sekretaris DPP Partai Golkar, Rully Chairul Azwar membantah upaya peniadaan konvensi sebagai bentuk kekhawatiran JK. ”JK tidak khawatir, lagi pula, Partai Golkar bukan ingin menghapus konvens tetapi melakukan penyempurnaan terhadap mekanisme rekrutmen capres.

Perubahan yang dimaksud Rully adalah sebelumnya penyaringan dan penjaringan capres menghasilkan nominasi calon yang masuk ke pemilihan dan dipilih oleh elit inernal partai. Maka saat ini dilakukan melalui dua tahapan yaitu tahap penyaringan serta penjaringan dan tahap pemilihan serta penetapan. Saat ini juga dilakukan penyempurnaan dengan melakukan survei langsung ke masyarakat.

Pencitraan

Konvensi telah mendongkrak citra Partai Golkar. Golkar benar-benar menjadi ’Golkar baru’ sebagaimana jargon yang didengungkan pasca reformasi. Namun demikian, adanya wacana penghapusan konvensi dinilai sebuah kemunduran dan akan berdampak buruk bagi partai yang telah berkuasa sejak orde baru ini.

Pengamat politik, Arbi Sanit bahkan menyebutkan Golkar sama dengan sepuluh tahun lalu. Demokratisasi yang sudah dimulai menjelang pemilu 2004 menjadi sia-sia. ”Kalau Golkar benar-benar menghilangkan konvensi, berarti Golkar kini menjadi parpol yang oligarki, dimana pemilihan dilakukan oleh pemimpinnya” kata Arbi sekaligus menjelaskan bahwa terdapat dua cara bagi partai politik di dunia untuk memilih calonnya yang akan dikirim ke pemilu yaitu parpol yang demokratis akan melakukan pemilihan dengan konvensi dan parpol yang tidak demokratis atau oligarki dilakukan oleh pimpinannya.

Arbi menilai, kegagalan konvensi 2004 sebagaimana disebutkan JK hanyalah karena maraknya politik uang (money politic). Maka untuk meperbaikinya tidak harus menghilangkan konvensi, melainkan membuat aturan untuk mengatasi politik uang.

Tidak hanya pengamat, orang dalam semisal Slamet Effendi Yusuf juga tidak ingin jika konvensi ditiadakan. Ketua panitia konvensi Partai Golkar 2004 ini mengakui bahwa konvensi yang diketuainya itu banyak kelemhan termasuk adanya politik uang. Namun demikian, konvensi tetap masih dianggap perlu dilakukan Golkar, karena kalau hanya karena politik uang bukan alasan yang mendasar. Sebab, di mana-mana banyak praktek politik uang semisal kongres, muktamar, munas.

Senada dengan Arbi, yang harus dilakukan Golkar, menurut Slamet, adalah memperbaiki sistem konvensi agar tidak terjadi politik uang. ”Kemenangan partai Golkar pada pemilu 2004 adalah mendongkrak nama baik partai. Dan itu akibat dari konvensi,” katanya.

Beda Istilah

Maraknya pro kontra terhadap konvensi menuntut adanya upaya mencari istilah lain sebagai pembenaran. Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Agung Laksono tidak menyebut konvensi akan ditiadakan. Ketua DPR RI ini menyebutkan mekanisme konvensi akan tetap dilakukan tetapi dengan sistim yang berbeda.

oleh karena itu, peniadaan istilah konvensi bukan berari menutup ruang bagi tokoh-tokoh lain termasuk yang berada di luar struktur untuk ikut ’bertarung’ merebut pencalonan dari Golkar. ”Partai Golkar akan tetap mengakomodir tokoh-tokoh yang tidak berada di struktur partai saat ini. Jadi, hanya bentuknya saja yang berbeda, tidak melalui konvensi seperti dulu. Sekarang akan dilakukan juga dengan survey langsung ke masyarakat untuk mengetahui kekuatan masing-masing kader yang layak untuk dicalonkan,” terangnya. (Musim)

(OPINI Indonesia/Edisi 76/.... Nopember 2007)