Partisifasi politik perempuan yang masih kurang membuat gerah para aktifis perempuan. Mereka menuntut jatah untuk dapat duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) minimal 30 persen. Rancangan Undang-Undang (RUU) Bidang Politik menjadi bidikan utama.
Kurangnya keterlibatan kaum perempuan dalam politik bukan karena rendahnya kualitas, melainkan tidak diberikan kesempatan oleh kaum laku-laki. Oleh karena itu RUU yang tengah dibahas DPR harus memayungi 30 persen keterlibatan perempuan. Demikian dikatakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meng PP), Meutia Hatta Suasono saat menyampaikan aspirasi publik ke ketua Panja RUU Parpol dan Pemilu di Gedung DPR, Jakarta (21/11)
Keterlibatan perempuan di politik, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia dinilai tidak seimbang. Dari penduduk Indonesia sekitar 225 juta dengan 53 persen pemilih perempuan dan 47 persen pemilih laki-laki hanya dapat menghantarkan hanya sedikit perempuan di parlemen. Sebagai perbandingan, saat ini anggota DPR terdiri dari 11 persen perempuan dan 89 persen laki-laki. Di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terdiri dari 21 persen perempuan dan 79 persen laki-laki.
Sementara itu, partai politik sebagai kendaraan menuju parlemen masih kurang memperhatikan keterlibatan perempuan. Sebut saja Partai Golkar hanya memiliki 19 orang dari 128 kursi, PDIP 12 orang dari 109 kursi, PKB 7 orang dari 52 kursi, Partai Demokrat 6 orang dari 57 kursi, PAN 6 orang dari 52 kursi, PKS 4 dari 45 kursi, PPP 3 orang dari 58 kursi. Sementara PBR dan PDS masing-masing 2 orang dari 13 dan 12 kursi yang dimiliki di parlemen.
Oleh karena itu, Meutia Hatta menghimbau kepada ketua partai politik yang umumnya laki-laki untuk tidak melihat perempuan sebagai warga kelas dua. Harapannya, keterlibatan perempuan lebih dari Pemilu 2004. ”Banyak perempuan yang mampu di bidang politik, tetapi tidak diberikan kesempatan yang sama setara dengan laki-laki. Perempuan memang harus meningkatkan kualitas tetapi tentu laki-laki juga harus proporsional memberi tempat kepada perempuan,” katanya.
Pembangunan Indonesia juga membutuhkan sentuhan tangan kaum perempuan. Untuk itu, perempuan harus banyak terlibat di parlemen agar dapat mengawasi jalannya pembangunan. Sebab, pembangunan, kata Meutia, tidak hanya untuk laki-laki tetapi juga untuk perempuan. Di mana kebutuhan kaum peremuan seringkali berbeda dengan kebutuhan kaum laki-laki. ”Ini bukan hanya keinginan ’orang Jakarta’, tetapi kepentingan di seluruh daerah,” kata Meutia yang menjanjikan reward kepada partai politik yang memperjuangkan dan memberikan ruang minimal 30 persen bagi keterlibatan perempuan.
SMS
Banyak cara dalam melakukan pressure untuk mewujudkan keinginan. Bersama-sama Meneg PP, para aktifis perempuan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU Politik (ANSIPOL) dan Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) ini benar-benar ingin membuktikan bahwa aspirasinya benar-benar menjadi keinginan publik. Meraka telah menggalang dukungan langsung dari publik melalui layanan Sort Messege Service (SMS). Pada kesempatan yang sama, mereka juga menyerahkan total dukungan sementara yang telah masuk kepada pimpinan Panja partai politik sebagai bukti dukungan nayata dari publik yang menginginkan peningkatan keterwakilan perempuan di bidang politik.
Dukungan yang masuk berasal dari 32 propinsi di tanah air dengen presentase dukungan disuarakan oleh perempuan sebanyak 71,7 persen dan laki-laki 28 persen degan total dukungan sebanyak 2.696 orang. ”Ini dalam rangka menekan parleman untuk dapat menempatkan perempuan tidak hanya sebagai pajangan dalam Pemilu. Kami harus memastikan beberapa masalah dapat diputuskan dalam pembahasan RUU Politik itu. Masing-masing masalah presentase minimal 30 persen, sanksi terhadap Parpol yang tidak menjalankannya, serta penempatan nomor urut caleg perempuan,” kata ketua GPPI, Ani Sucipto.
Tersangkut Loby
Perempuan memang akan diberikan jatah di perleman. Akan tetapi, perempuan juga harus berproses tidak hanya pada saat pencalonan. Ketua Panja RUU Parpol Idrus Marham memang mengakui kurangnya keterlibatan perempuan. Dan sesungguhnya tidak ada aturan yang melarang keterlibatan mereka. ”Hampir semua fraksi menyetujui aspirasi ini, dan persoalannya saat ini masih di tingkat loby saja,” kata anggota Fraksi Golkar ini yang ’belum ketemu’ perempuan alias masih membujang ini.
Menurut Idrus, ada empat hal yang masih harus dibicarakan di tingkatan loby ini diantaranya presentase keterlibatan perempuan sebagai pendiri. Pertimbangannya, jangan sampai presentase keterlibatan perempuan ini justeru menjadi penghambat lahirnya partai baru yang kini dipermudah. Selain itu, presentase dalam kepengurusan partai. ”Ada fraksi yang hanya ingin presentase 30-35 persen itu berlaku hanya di kepengurusan tingkat pusat saja. Tetapi Fraksi Golkar sendiri menginginkan aturan ini berlaku hingga ke kepengurusan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota,” terangnya.
Selain itu, perdebatan dan loby DPR masih tersangku di persoalan jabatan publik dan penempatan nomor urut. Ada fraksi yang komitment untuk menempatkan 1 orang caleg dari 3 tiga caleg yang ada (30 persen). Selanjutnya, penempatan nomor urut apakah perempuan menempati nomor 1, 2 atau 3. ”Dalam hal ini, banyak fraksi yang mengininkan untuk menyerahkan kepada internal partai masig-masing,” tambah politisi asal Sulawesi Selatan ini.
Meskipun demikian, belum ada ketentuan sanksi bagi partai politik yang ternyata tidak menjalankan ketentuan ini. Idrus pun tak menyebutkan bahwa ketentuan sanksi telah diatur dalam RUU. Pihaknya hanya menyerahkan kepada kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). ”Kalau UU sudah mencantumkan syarat 30 persen perempuan dalam kepengurusan dan caleg, lalu parpol tidak melakanakannya, maka pada saat verifikasi KPU berhak menolak. Demikian juga dalam pencalonan, KPU berhak untuk mengembalikan,” tegasnya. (Musim)
(OPINI Indonesia/Edisi 76/.... Nopember 2007)
07 Desember 2007
Perempuan Minta Jatah Di Parlemen
Label: Berita dari Opini Indonesia