Interpelasi berujung pada perebutan eksistensi. Presiden tidak mau hadir karena menganggapnya politis, sementara DPR merasa diremehkan jika Presiden hadir. Presiden menuai simpati, DPR tidak berwibawa. Interpelasi pun akan berakhir sia-sia.
Presiden ternyata lihai membaca dan memanfaatkan situasi. Setelah berupaya dipojokkan oleh DPR melalui interpelasi atas dukungannya terhadap resolusi DK PBB nomor 1747, Presiden memilih untuk tidak hadir memberikan jawaban. Ia mewakilkannya kepada para menterinya. Wal hasil, ia gagal ‘ditaklukkan’ oleh DPR, malah Presiden lah yang mendapatkan citra yang baik di mata publik.
Ketidakhadiran Presiden secara langsung dalam sidang Paripurna interpelasi beberapa waktu lalu memperlihatkan kepada publik betapa tidak berwibawanya DPR di mata Presiden. Lebih-lebih ketika DPR mengalihkan substansi interpelasi Iran menjadi persoalan hadir dan tidaknya Presiden membuat citra DPR kian buruk di mata masyarakat.
Menurut Direktur FORMAPPI, Sebastian Salang, interpleasi Iran telah melenceng jauh dari substansinya. Interpelasi yang akan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang mendukung sanksi terhadap Iran itu justeru telah dijadikan sebagai ajang perebutan eksistensi antara DPR dan Presiden. Ia menilai, interpelasi akan dijadikan moment untuk menekan Presiden sekaligus sebagai loncatan menuju impeachment. Presiden menyadari itu, dan memilih untuk tidak hadir meskipun telah dilakukan loby-loby politik oleh pimpinan DPR bersama pimpinan fraksi. “Presiden dapat membaca itu, dan ia memilih tidak hadir. Ketidakhadirannya bahkan menimbulkan simpati public terhadapnya,” katanya saat ditemui OPINI Indonesia di kantornya di kawasan Matraman, Jakarta Timur (11/7).
Pada dasarnya, konstruksi hukum interpelasi adalah menempatkan DPR sebagai lembaga pengontrol. Lalu diberi kewenangan untuk mempertanyakan sebuah kebijakan pemerintah melalui Presiden yang dinilai strategis dan terkait dengan hajat hidup orang banyak. Sementara spirit dari interpelasi adalah memperjelas sebuah kebijakan yang sudah dikeluarkan Presiden agar kebijakan yang dianggap kurang tepat itu dapat diperbaiki. Atau kalau dirasakan fatal, maka forum pertemuan Presiden dan DPR itu bisa membatalkan kebijakannya. “Spirit itu yang semestinya ada antara Presiden dan DPR. Bukan dalam kontek DPR berupaya mencari kesalahan atau kelemahan Presiden. Lalu, melalui kesalahan itu, secara politis digunakan sebagai batu loncatan menuju impeachment,” kata Sebastian.
Menurutnya, inilah yang penting diluruskan karena sudah ada distorsi makna interpelasi menjadi sangat politis. Seolah-olah interpelasi itu adalah jembatan menuju impeachment sehingga mendengar intrpelasi, Presiden menajdi sangat alergi. Sebaliknya, DPR begitu ‘genit’ menggunakan interpelasinya karena menganggapnya dapat menjadi batu loncatan, minimal untuk menggertak presiden. Inilah kekeliruan yang menimbulkan sebuah interpelasi menjadi kehilangan makna.
Diremehkan
Awalnya, konstitusi telah jelas mengatur bahwa hak interpelasi adalah hak DPR untuk mengajukan pertanyaan atas kebijakan pemerintah. Tidak ada penjelasan apakah Presiden harus datang langsung atau bisa diwakilkan. Kenyataanya, DPR malah menyusun sendiri tata tertib yang mengatur Presiden bisa datang sendiri dan memperbolehkan juga untuk diwakilkan.
Ketika Presiden dibenarkan untuk tidak hadir oleh tata tertib, malah DPR membuat polemik baru dengan mempersoalkan ketidakhadiran Presiden. Ini menunjukkan bahwa ada masalah di internal DPR. Munculnya polemik itu mencerminkan betapa anggota Dewan tidak memiliki kesamaan persepsi tentang perlu tidaknya interpelasi Iran itu dilakukan. “Betapa anggota DPR tidak siap dengan Interpelasi Iran. Situasi itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh Presiden untuk mengambil sikap tidak hadir. Bahkan Presiden meminta DPR untuk menyelesaikan persoalan internalnya. Ini kan, Presiden mengajari DPR bagaimana menyelesaikan rumah tangga DPR,” papar Sebastian Salang.
Interpelasi Iran ini akan berdampak terhadap interpelasi dalam kasus yang lain. Ketidakhadiran Presiden akan memancing ketegangan politik yang terus-menerus. Dan hasil perebutan eksistensi ini akan lain jika interpelasi lapindo dapat dilakukan dan Presiden tetap pada pendiriannya untuk tidak hadir. Sebagaimana diketahui, pada saat yang bersamaan, telah bergulir dua interpelasi sekaligus yaitu interpelasi Iran dan interpelasi lapindo. Persoalannya, interpelasi lapindo lebih menyentuh kehidupan masyarakat Indonesia daripada interpelasi Iran. Masyarakat lebih berkepentingan terhadap interpelasi untuk mempertanyakan kegagalan pemerintah dalam menangani bencana lumpur panas lapindo yang melahirkan penderitaan masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya.
Menurut Sebastian, undangan DPR terhadap Presiden perlu dilihat dari pola relasi antara DPR dengan pemerintah khususnya Presiden. Pola relasi ini semestinya harus dibangun dalam kontek saling percaya dan saling menghargai. Pola relasi itu harus dibangun dengan konstruktif. Kehadiran Presiden dalam rapat konsultasi itu membuktikan bahwa kehadiran Presiden itu sebagai bentuk penghargaan terhadap DPR. Dari penghargaan itu lalu DPR ingin mendengar secara langsung alasan presiden dalam kebijakan itu.
Untuk itu, semestinya antara DPR dan Presiden meninggalkan ego dan eksistensi. “Yang terjadi saat ini, malah masalah ego dan eksistensi serta politisasi. Itulah yang terus-menerus menjadi persoalan yang menimbulkan ketegangan politik antara eksekutif dan legislative,” cetusnya.
Public malah melihat sebuah pertunjukan, di mana dominana Presiden menghindari tekanan politik yang datang dari DPR. Kemudian, DPR merasa dlilecehkan oleh ketidakhadiran Presiden. Mereka berjalan dengan posisi maing-masing.
Dengan dukungan yang banyak dari fraksi-fraksi, DPR kini dikuasai oleh Presiden. DPR telah dikendalikan oleh Presiden. Presiden SBY merasa yakin bahwa tidak hadir pun DPR tidak bisa berbuat banyak. Akhrinya, DPR mengalah sebab semakin DPR bersikeras untuk meminta Presiden hadir, maka citra DPR semakin buruk di mata masyarakat. (musim)
(OPINI Indonesia/Edisi 59/16-21 Juli 2007)
07 Desember 2007
Interpelasi Iran; DPR Kehilangan Wibawa
Label: Berita dari Opini Indonesia