07 Desember 2007

Presiden ‘Jinakkan’ Dewan

Sikap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang reaktif terhadap ketidakhadiran Presiden SBY pada sidang paripurna interpelasi Iran pertama, seketika berubah. Kini anggota Dewan tidak lagi mempersoalkan hadir atau tidaknya Presiden untuk memberikan jawaban atas interpelasi terkait dukungan pemerintah terhadap resolusi DK PBB No. 1747. Akankah Presiden telah menjinakkan Dewan?


Rapat konsultasi antara Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI (3/7) seolah mampu merubah peta konflik antara eksekutif dan legislative terkait dukungan pemerintah atas resolusi 1747. Para pimpinan Dewan bersama pimpinan fraksi bertemu untuk mencairkan suasana yang kian memanas tentang perdebatan keharusan presiden datang sendiri pada siding interpelasi atau boleh diwakilkan.

Wakil Ketua Fraksi Bintang Pelopr Demokerasi (FBPD) yang juga anggota komisi I DPR RI, Ali Muchtar Ngabalin memberikan tiga catatan besar dari pertemuan di malam hari itu. Menurut Ngabalin, pemerintah merasakan adanya kebutuhan penting untuk bisa berkomunikasi intensif dengan parlemen. Pertemuan itu tidak lebih dari penjelasan pemerintah kepada pimpinan parlemen. Pemerintah juga mencoba memberikan gambaran kepada DPR terkait dukungannya terhadap resolusi yang memberikan sanksi terhadap Iran serta kebijakan luar negeri lainnya.

Namun bagi Ngabalin, pertemuan itu tidaklah cukup untuk memberikan jawaban atas interpelasi yang diajukan Dewan. Forum rapat konsultasi itu hanyalah pertemuan informal. Berbeda dengan pernyataan ketua DPR, Agung Laksono yang menganggapnya sebagai pertemuan formal. “Pertemuan itu tidak bisa dijadikan pertemuan untuk mereduksi masalah interpelasi. Masalah interpelasi adalah masalah yang diatur dalam UUD 1945, UU Susduk dan Tata Tertib DPR. Saya berharap hak-hak konstitusional yang dimiliki anggota Dewan tidak tereduksi oleh kekuatan politik apapun,” kata anggota DPR yang khas dengan lilitan sorban di kepalanya itu.

Untuk itu, sidang interpelasi berikutnya harus tetap dilaksanakan dan mengharuskan Presiden untuk datang secara langsung tanpa diwakili. Pihaknya tengah menunggu keputusan apakah nantinya akan wolk out jika ternyata Presiden tetap tidak hadir dan mengutus wakil dari para menterinya. “Yang jelas, sampai saat ini sikap kami tetap tidak berubah. Sebab, Presiden harus memberikan penjelasan kepada publik dan masyarakat Indonesia atas kebijakan pemerintah mendukung resolusi 1747,” tegasnya.

Hampir semua anggota Dewan termasuk Presiden sepakat bahwa kehadiran Presiden SBY dalam rapat konsultasi dengan DPR itu memang tidak dapat menggantikan sidang paripurna interpelasi. Namun di sisi lain, setidaknya pertemuan informal itu mampu menjinakkan anggota Dewan. Pasca pertemuan, beberapa anggota Dewan menunjukkan sikap lunak terhadap ketidakhadiran Presiden SBY pada sidang interpelasi Juni lalu.

Sementara itu, sidang paripurna interpelasi Iran akan dilaksanakan kembali pada 10 Juli mendatang. Demikian dikatakan wakil ketua DPR, Zainal Ma’arif ketika memberikan keterangan pers seusai memimpin rapat Bamus di gedung DPR RI, Senayan (5/7).

Menurut Zainal, setelah Presiden mendapatkan penjelasan langsung dari fraksi-fraksi pada saat rapat konsultasi, maka presiden telah memahami apa yang menjadi keinginan fraksi-fraksi. Untuk itu, Presiden nampaknya respek terhadap keinginan Dewan untuk menghadirkan dirinya di sidang interpelasi. Maka berdasarkan hasil rapat Bamus hari ini, pimpinan Dewan akan langsung mengirim undangan kepada Presiden malam ini juga (Kamis malam, red) untuk dapat hadir pada sidang interpelasi mendatang.

Meskipun demikian, Zainal kembali tidak dapat memastikan kehadiran Presiden karena itu menjadi pilihan Presiden. ”Sebagian fraksi yang mengikuti rapat konsultasi memang meminta Presiden datang langsung. Tetapi presiden tidak dapat dipaksa. Kalaupun tidak datang, silahkan fraksi menilai dan menyikapinya”, katanya.

Lunak

Berbeda dengan komitmen sebelumnya, banyak anggota Dewan kini mulai lunak. Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) misalnya. Fraksi berlambang ka’bah ini sangat reaktif atas ketidak hadiran Presiden pada sidang interpelasi sebelumnya. Sesaat setelah kepastian bahwa Presiden hanya diwakilkan beberapa menterinya, FPP langsung menyebarkan pernyataan tertulis yang mengharuskan Presiden datang langsung.

Kali ini, FPP justeru tidak mempermasalahkan jika Presiden tidak hadir pada sidang interpelasi berikutnya. Ketua FPP, Lukman Hakim Saefudin justeru begitu kuat melegitimasi tata tertib yang meperbolehkan Presiden dapat diwakilkan. ”Kami setuju untuk mengundang kembali Presiden dalam sidang interpleasi berikutnya, tetapi apakah Presiden datang langsung atau diwakilkan, bagi kami tidak menjadi persolan,” katanya.

Bagaimana pun, lanjut Lukman Hakim, Dewan tidak bisa memaksa Presiden untuk hadir karena dalam tata tertib membuka peluang untuk memberikan penafsiran bahwa presiden bisa mewakilkan kepada yang lain. Pasal 174 ayat 4 yang membuka peluang presiden bisa mewakilkan kepada menteri-menterinya. ”Oleh karena itu, surat dewan hanya bersifat normatif meminta kehadiran presiden untuk menyampaikan keterangan berkaitan dengan interpelasi yang diajukan Dewan. Akan halnya presiden hadir sendiri atau mewakilkannya, merupakan sikap politik presiden,” katanya seraya menyebutkan beberapa fraksi yang berpandangan sama dengan FPP, seperti beberapa anggota dari FPDIP.

FPP tidak akan mempersoalkan prosedural tentang datang atau tidaknya Presiden. Yang lebih diutamakan adalah keterangan Presiden terkait dukungannya terhadap resolusi 1747 daripada sekedar debat kusir menyangkut hadir atau tidaknya Presiden.

Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh anggota Fraksi Partai Golkar, Yudy Krisnandi. Menurut Yudi, sebagian besar fraksi termasuk FPG menginginkan memang Presiden hadir langsung untuk menjawab interpelasi. Anggota komisi I ini berpandangan, jawaban Presiden langsung pada sidang interpelasi adalah sarana komunikasi poltik yang efektif. Tetapi, kalau pun Presiden akan mewakilkan kepada para menterinya kembali, tentu menjadi pilihan presiden. ”Kami tidak memaksakan kehadiran Presiden. Tapi harapan besar agar Beliau dapat hadir,” sebutnya.

Anggota dewan pelopr interpelasi ini terlihat mulai ’jinak’. Kali ini ia pun menyebutkan tidak ada kekuatan politik untuk memaksa agar Presiden datang. ”Kalau Presiden tidak datang, saya yakin bisa dipahami oleh masyarakat,” cetusnya.

Lebih jauh, melalui FPG, Yudi memberikan akan memberikan penghormatan dan memberikan jaminan untuk mengamankan jalannya persidangan serta tidak akan mempersoalkan jawaban presiden jika Presiden bersedia datang langsung. Bahkan, apapun jawaban Presiden tidak akan dipersoalkan secara berlebihan. ”Apapun jawaban Presiden, kami hanya menunggu reaksi dari masyaakat. Kalau ada reaksi, dewan sebagai wakil rakyat juga akan bersikap. Kalau tidak ada gejolak masyarakat, tidak ada masalah. Minimal kehadiran Presiden setidaknya akan mmapu mengklarifikasi atas sikap pemerintah yang mendukung resolusi yang memberikan sanksi terhadap Iran atas program nuklirnya itu,” paparnya diplomatis. (musim)

(OPINI Indonesia/Edisi 58/1-7 Juli 2007)