07 Desember 2007

“Lingkaran Setan” Kenaikan Tarif Tol

Kenaikan tarif tol benar-benar menjadi “lingkaran setan”. Pemerintah melaksanakan amanat Undang-Undang (UU). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak, yang berarti melanggar UU yang dibuatnya sendiri, meskipun suaranya adalah bentuk keberpihakan kepada rakyat.

Kenaikan tarif ruas tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) cukup tentunya membebankan masyarakat. Tetapi, apa hendak dikata, UU 38/2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/2005 tentang jalan telah mengaturnya. Di mana tarif tol harus disesuaikan dalam dua tahun. Artinya, kenaikan tarif bisa menjadi fenomena rutinitas setiap dua tahunan.

Diketahui, saat ini pemerintah telah menaikkan tarif tol antara 15-20 persen. Jadi, kenaikan tarif pada 13 ruas jalan itu berkisar antara Rp. 500 hingga Rp. 1.500. Kenaikan meliputi tol Jagorawi yang dikelola oleh PT Jasa Marga, tol dalam kota, Cikampek-Padalarang, Padalarang-Cileunyi, Palikanci, Semarang seksi A, B, C, Surabaya-Gempol dan Belmera. Selain itu tol Tangerang-Merak yang dikelola PT Marga Mandala Sakti, tol Surabaya-Gresik oleh PT Marga Bumi Matra Raya dan tol Ujung Pandang I dan Serpong-Pondok Aren yang dikelola oleh PT Bosowa Marga Nusantara.

Kabarnya, kenaikan tarif ini merupakan kebijakan dalam upaya penyesuaian tingkat kenaikan inflasi dan perubahan penggolongan kendaraan. Diketahui, saat ini lima golongan kendaraan yang dulunya hanya tiga golongan. Golongan I, II A dan II B menjadi golongan I, II, III, IV, V. Golongan I untuk kendaraan ringan, golongan II untuk truk dua dan tiga gandar, golongan empat untuk truk empat gandar, dan golongan lima untuk truk lima gandar.

Akibatnya, kenaikan tarif tak lepas dari kontroversi. Beberapa kalangan memprotes kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 370/2007 itu. Bahkan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan akan melakukan class action. Tak elak, anggota DPR pun mendukung sikap kedua lembaga yang melakukan pembelaan terhadap konsumen itu. Bahkan, pihak beberapa fraksi di parlemen berniat menggunakan hak angket.

Sikap DPR

Sikap beberapa anggota DPR yang mendukung class action dan menggunakan hak angket memang wujud dari keberpihakan para wakil rakyat terhadap sector riil masyarakat. Namun di sisi lain, timbul pertanyaan, mengapa anggota Dewan banyak yang protes, padahal kenaikan tarif adalah implementasi dari UU yang dibuatnya sendiri.

Simak saja, pandangan beberapa fraksi yang menyatakan penolakan atas kenaikan tarif tersebut, mendukung adanya class action, dan mengancam akan menggunakan hak angket. Fraksi oposisi seperti FPDIP dan FPAN ditambah FPBR dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) telah sepakat menggunakan hak angket.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP), Tjahjo Kumolo mengatakan, momen kenaikan tarif tol tidak tepat, di tengah kondisi masyarakat yang susah. Tjahjo menyadari bahwa pemerintah berhak menaikkan tarif, namun semestinya melihat situasi dan kondisi masyarakat. Tjahjo bahkan mendukung usaha masyarakat untuk menggugat kenaikan tarif tersebut melalui jalur class action seperti yang akan diajukan oleh YLKI dan YLBHI.

Hal senada diungkapkan oleh Ketua Fraksi Partai Bintang reformasi (FPBR) Bursyah Zarnubi. Dikatakan, fraksi yang dipimpinnya sepakat untuk menggunakan hak angket dan menekankan adanya audit yang transparan terhadap pengelola tol, sebelum menaikkan tarif.

Hal serupa juga dikatakan Ketua Fraksi Golkar (FPG), Priyo Budi Santoso. Meski kurang sepakat dengan hak angket karena dinilai politis, namun Priyo tetap menyatakan menolak kenaikan tarif. Ia lebih memilih jalur class action dan DPR masih bisa menggunakan hak budget.

Apapun statmennya, yang jelas, para wakil rakyat ini sama-sama ingin menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat. Tetapi di lain pihak, anggota parlemen telah menafikan UU yang dibuatnya sendiri.

Cari Bukti

Penggunaan hak angket oleh DPR pada dasarnya tidak disalahkan. Sebab, hak angket dapat diajukan apabila ada kebijkan yang betentangan dengan UU. Apakah kebijakan kenaikan tol melanggar UU atau tidak.

Kalau ada indikasi adanya kebijakan yang bertentangan dengan UU, semestinya DPR harus segara mengambil langkah guna mencari bukti pada sisi mana UU telah dilanggar terkait kebijakan itu. Hal yang dapat dilakukan oleh angota DPR adalah dengan menelusuri prosedur pengambilan keputusan, apakah cacat secara politik dan hukum atau tidak. Selain itu, hasil ketetapan bertentangan dengan UU atau tidak serta bagaimana dengan kaidah-kaidah hukumnya. Demikian dikatakan Direktur Lingkar Madani Indonesia ( Lima ), Ray Rangkuti saat dikonfirmasi OPINI Indonesia.

Dikatakan Ray, tidak ada larangan bagi anggota DPR untuk menggunakan hak angket, asalkan dapat membuktikan ketiga hal tadi. Sebab ada keputusan yang dibuat tidak melanggar UU tetapi prosedurnya salah. Ada pula prosedur pengambilan keputusannya benar tapi isinya salah.

“Kalau memang DPR bisa membuktikan ketiga hal itu memang salah, DPR sah-sah saja menggunakan hak angket. Tetapi kalau hak angket dilakukan pada ketentuan di mana mereka menyepakatinya, ya ga tepat,” katanya.

Tetapi menurut Ray, keputusan menaikkan tarif tol memang dinilainya terindikasi salah. Presiden telah mengambil kebijakan secara diam-diam dan keputusannya terkesan sepihak. Padahal pengambilan setiap kebijakan yang berhubungan dengan kehendak publik harus dengan mekanisme keterlibatan publik terlebih dahulu.

Menanggapi keseriusan anggota DPR dalam menggunakan hak angket, Ray merasa pesimis. Apalagi kalau DPR tidak bisa membuktikan ketiga hal tadi. “Kita tidak pelu berharap banyak. Kalau pun penggunaan hak angket itu juga akan bernasib baik, paling-paling juga hasilnya seperti interpelasi. Hangat sebentar, ada tawar-menawar publik, setelah itu redam,” pangkasnya. (musim)

(OPINI Indonesia / Edisi 67 / 10 – 17 September 2007)