Tayangan televisi (TV) Indonesia tergantung pada para pemodal. Mereka berperan besar dalam menentukan tayangan. Akibatnya, stasiun TV lebih mengedepankan komersialisasi dari pada membawa pesan moral dan pendidikan. Mengapa demikian?
Media membuat proses perubahan begitu cepat. Media semisal televisi dapat menyampaikan pesan-pesannya hingga ke pelsok pedesaan. Televisi memiliki cengkraman yang kuat dalam mempengaruhi karakter masyarakat Indonesia. TV memiliki kekuatan menciptakan image dalam waktu relatif singkat, karena tayangan di TV sangat cepat diserap oleh mata dan telinga, mengingat bentuknya yang visual. Singkatnya, media telah menjadi sarana informasi sekaligus pembentuk mental bangsa Indonesia. Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa 50 jam dalam seminggu, masyarakat Indonesia menghabiskan waktu di depan TV dan anak–anak Indonesia menonton TV selama 20 jam per minggu. Bisa dibayangkan bagaimana tayangan televisi berpengaruh pada pemikiran dan mentalitas masyarakat Indonesia.
Sebagaimana diketahui, ciri yang membedakan antara industri media dengan industri lainnya adalah dalam mengartikulasikan pesan. Di mana penonton cenderung menerima aturan dan makna di dalamnya sebagai sebuah kebenaran apa adanya. “Penonton akan menerima apa yang disampaikan orang melalui media adalah kebenaran,” kata praktisi kompas, Ninuk Mardiana saat diskusi di Hotel Santika, Jakarta (11/11).
Dikatakan, bagi masyarakat, media itu menggambarkan suatu ideology yang dominant. Dan yang menciptakan system tadi adalah orang-orang yang berada di dalam news room, redaksi dan pemilik modalnya. Kalau masyarakatnya patriarki, tentu saja orang-orang di dalam news room itu menggunakan sudut pandang patriarik dalam menciptakan citra. Tetapi sebenarnya, perkembangan media di Indonesia yang mengikuti perkembangan media yang suda lebih dului berkembang seperti barat. “Dalam perkembangannya, TV juga telah melakukan feminisasi. Karena tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ekonomi, social masyarakat yang konsumtif yang menginginkan bukan berita-berita yang serius. Tayangan yang feminis ini dapat menggabungkan antara yang serius dan hiburan,” paparnya.
Tayangan televisi yang didominasi oleh hiburan-hiburan yang tidak mendidik, bahkan cenderung melahirkan mental negative pada pemirsanya. Persoalan inilah yang selanjutnya menjadi keresahan dalam masyarakat. Tayangan-tayangan seperti sinetron tidak ragu-ragu memberikan tema-tema yang menggambarkan masyarakat hedon, gelamor, kekerasan, kejahatan, mistik, pelecehan seksual, anak sekolah yang judes, perempuan yang licik, dll.
Selain itu, menurut aktifis Kartini Network yang juga Anggota DPR RI, Nursyahbani Kajtasungkana, tayangan TV Indonesia masih lebih menayangkan eksploitasi tubuh dan seksualitas perempuan dari pada mengedepankan bangunan social. Tayangan TV saat ini cenderung memotifasi orang untuk berbuat negatif.
Terkait masalah tersebut, pakar komunikasi, Effendi Ghozali menyayangkan sikap masyarakat kelas menengah yang hipokrit. Artinya, mereka sudah tau persoalannya tapi tidak ada yang bertindak. Sudah terlalu banyak orang yang bicara soal keprihatinan mereka tentang tayagan TV di Indonesia. “Menteri bicara, mantan menteri, tokoh-tokoh masyarakat ikut bicara bahwa program TV tidak mendidik. Hingga saat ini, mana ada yang bertindak,” katanya sesaat sebelum menjadi narasumber pada seminar bertajuk membongkar seksualitas perempuan dalam media di Jakarta.
Rating dan Pemodal
Program di stasiun TV lebih menonjolkan nilai komersialnya, ketimbang pesan moral, apalagi soal pendidikan. Setiap tayangan-tayangan yang akan berdampak negatif, malah dinilai mampu meningkatkan rating, sehingga memiliki nilai jual bagi para pemasang iklan. Keadaan semacam ini memang tidak dapat dielakkan mengingat TV di Indonesia mengantungkan hidupnya dari hasil iklan. Oleh karena itu, atas nama rating, mereka berlomba-lomba menayangkan program-program yang jauh dari nilai pendidikan. Tujuannya tidak lain adalah demi pencapaian target setoran perusahaan. Sehingga pesan moral terkalahkan oleh nilai komersial.
Menurut Effendi Ghazali, dalam menjalankan bisnisnya, maka tayangan-tanyangan TV sangat di[engaruhi oleh pemilik modal. Inilah yang menyebabkan adanya pertentangan antara budaya bangsa dengan suguhan-suguhan meia televise.
Menurutnya, akar persoalannya sebenarnya sederhana. Ada delapan atau sembilan orang yang memiliki uang yang sangat banyak sebagai pemilik modal di beberapa stasiun TV di Indonesia. Lalu mereka lah yang menentukan isi tayangan TV sesuai dengan keinginan dan kepentingan pemilik modal tersebut. “Anda bayangkan bagaimana karakter bangsa ini terbentuk oleh sekitar delapan atau sembilan orang saja selaku pemilik modal di perusahaan media di Indonesia,” kata penasihat program Republik Mimpi di sebuah stasiun TV swasta ini.
Effendi juga mengkritik mekanisme rating yang berlaku di Indonesia. Ia mengatakan rating yang ada tidak diaudit lebih dahulu oleh sebuah Media Rating Council (MRC) sebagaimana di Amerika yang telah ada sejak tahun 1960-an. Artinya, sebelum perusahaan melakukan rating, maka semua kemampuan, alat dan samplingnya harus lebih dahulu diuji oleh MRC tersebut. “Akhirnya saya katakana, TV kita akhirnya jatuh ke tahapan mutakhir dari kapitalisme yaitu milik sekelompok orang saja yang mempertahankan keunggulannya dengan segala cara yang kebetulan saat ini terwaikili oleh rating,” paparnya.
Di mana peran undang-undang. Dosen Ilmu komunikasi Universitas Indonesia itu menyebutkan bahwa UU Penyiaran itu sesungguhnya sudah sangat baik. Namun ada upaya “penolakan” secara langsung maupun tidak langsung oleh menteri komunikasi dan informatika yang lama, apalagi di bawah dirjen penyiaran (sekarang, red) yang terkesan kuat sekali ingin memegang kekuasaan. Padahal persoalan siaran TV semestinya berada di bawah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Akibatnya, KPI dalam perkembangan mutakhir tidak banyak bersuara. Mereka dapat beralasan, dia tidak banyak bicara karena publik tidak banyak berteriak,” ucapnya.
Solusinya, mendesak para pemilik kodal bisa melakukan perubahan. Selain itu, memberlakukan rating alternative yang saat ini digarap oleh Garin Nugroho, dkk. Rating alternative itu adalah sebuah rating yang diusulkan secara kualitatif. “Misalnya, kita punya panel 150 pakar, atau 1.500 masyarakat, lalu mereka mengusulkan tayangan yang secara kualitatif baik. Bukan tayangan yang ditonton, apalagi dengan penghitungan ngacau-ngacau. Tetapi, ini adalah rekomended oleh kelompok masyarakat dengan keterwakilan dari berbagai kelompok, dan bukan hanya selera perkotaan yang bopleh mendominasi selera seluruh Indonesia,” papar Effendi yang saat itu didampingi pemeran Habudi dalam Parodi Republik Mimpi itu.
Selanjutnya, kata Effendi, masyarakat perlu mendesak sebanyak mungkin agar KPI dapat bergerak untuk dapat melakukan moratorium TV. Moratorium TV adalah pemindahan jam tayang. “Saya berharap antara jam 7 – 10 malam, semua tayanagan TV harus dibuat berdasarkan rekomendasi yang disusun oleh rating kualitatif tadi. Mereka tetap mengacu kepada program lama, hanya pindah tempat saja,” tegasnya menutup pembicaraan.(musim)
(OPINI Indonesia / Edisi 68 / 17 - 24 Agustus 2007)
07 Desember 2007
Wajah Buruk Tayangan Televisi Indonesia
Label: Berita dari Opini Indonesia







