07 Desember 2007

Menerima Perbedaan Sebagai Sunnatullah

Oleh : Mukhlis Hasyim

Islam adalah agama yang universal yang mengatur segala sektor kehidupan untuk semua suku bangsa di dunia dan berlaku hingga akhir zaman. Kehadiran al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman umat Islam membutuhkan penafsiran yang tidak mudah karena terbentur oleh ruang dan waktu. Artinya, Islam pertama kali lahir di jazirah Arab berabad-abad yang silam dan akan dilaksanakan pula di seluruh penjuru dunia dari generasi ke generasi dengan keadaan yang berbeda.

Dengan demikian, akankah seluruh umat Islam dunia mampu menjalankan ajaran Islam secara seragam? Lalu akankah akal manusia sebagai sumber perbedaan? Sebab perbedaan (khilafiyah) mulai muncul setelah Rasulullah wafat. Lahirlah berbagai aliran pemikiran (teology) dan fiqih dalam bentuk mazhab akibat perbedaan pandangan dalam melihat realitas kehidupan yang terus berkembang. Lain halnya dengan orang-orang terdahulu yang hidup di Arab bahkan hidup bersama-sama Nabi Muhammad SAW. Mereka akan dengan mudah memahami setiap ajaran yang ada. Lebih-lebih ketika terjadi kesulitan pemahaman tentang ajaran Islam dapat langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Selain itu, kemampuan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an juga faktor utama dalam memahami kandungan al-Qur’an dan al-Hadits.

Islam masuk ke Indonesia setelah Islam terpecah ke dalam berbagai aliran pemikiran. Sebut saja Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, khawarij, Syi’ah, Ahlussunnah wal Jama’ah, yang masing-masing memiliki persepsi yang berbeda dalam memaknai aqidah Islam. Selain itu dalam bidang fiqih telah terbingkai dalam beberapa mazhab seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali yang memiliki persepsi yang berbeda dalam tatacara melakukan ibadah kepada Allah.

Dengan kondisi yang demikian, mampukah umat menemukan kebenaran dalam salah satunya? Tidak ada satu pilihan selain menjalankan ajaran Islam berdasarkan keyakinan. Lebih-lebih di era ini telah muncul masalah-masalah kontemporer yang kebetulan belum terjadi pada zaman.

Banyak kosa kata baru sebagai realitas interaksi manusia yang lahir dan membutuhkan penafsiran dan minimal dihubungkan dengan ajaran Islam. Banyak ajaran Islam yang terungkap dengan bahasa non Arab semisal demokrasi, sivil society, sekularisme dan pluralisme, telah dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal sesungguhnya istilah-istilah di atas hanyalah perbedaan bahasa tapi memiliki makna yang sama dalam istilah-istilah arab.

Perkembangan Islam dari ruang dan waktu yang memiliki kultur yang berbeda-beda ini kemudian semakin memperkecil komunitas dengan semakin bermunculannya firqoh-firqoh hingga ke struktur terkecil dan saling menyalahkan antara satu dengan yang lain.
Maka untuk mewujudkan misi Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam) yang dapat menghantarkan seluruh umatnya kepada kebenaran, maka perlu keterbukaan menerima perbedaan. Selama Islam dijalankan dengan keyakinan, maka tidak ada lagi pertentangan. Biarkanlah perbedaan menjadi sunnatullah sebab manusia tidak akan pernah mampu menyatukan pandangan sebagaimana ia tidak mampu meniadakan malam.

Dalam perbedaan itu, tidak seorangpun yang mampu menemukan kebenarannya sendiri. Sebab kebenaran hakiki hanya ada pada sang kholik. Hanya dia yang mengetahui, apa dan bagaimana ajaran Islam yang sesungguhnya harus dijalankan oleh makhluknya. Tidak ada yang salah pada masing-masing ajaran Islam, yang salah adalah kebodohan manusia yang menyalahkan ajaran yang orang lain meyakininya benar apalagi hanya menentukan kebenaran melalui standar kebiasaan. ***