Tak dilibatkannya Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dalam reshuffle kebinet jilid II, merupakan babak baru bagi hubungan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Jatah menteri BUMN untuk Partai Golkar tak membuat JK puas karena gagal mereshuffle menteri ekonomi yang menjadi incarannya.
Romantisme duet Presiden SBY dan Wakil Presiden JK tak bertahan lama. Kabarnya, reshuffle menjadi pintu masuk pertarungan keduanya menyongsong pemilihan umum 2009. Mereka pun tengah berebut eksistensi dan reputasi, melempar kesalahan dan berebut keberhasilan. Diperkirakan, konflik politik keduanya akan meletup pada 2008. Pengamat politik Universitas Paramadina memperkirakan koalisi SBY-JK akan dapat bertahan sampai 2008. Karena tahun itu, masing-masing mulai berfikir strategi memenangkan pemilu 2009. Hal ini terlihat dari manuver masing-masing yang sudah jelas.
Kalla telah mulai melakukan intrik-intrik politik. Ia tengah berupaya untuk keluar dari beberapa kegagalan SBY di pemerintahannya. Melalui Golkar, Kalla menyuarakan peningkatan presentase suara bakal calon presiden menjadi di atas 15 persen.Ini dilakukan untuk memberikan peluang banyak bakal calon presiden yang berakibat pada tertutupnya ruang SBY untuk membangun koalisi dengan yang lain. Sebaliknya, SBY mulai melirik-lirik calon dari partai yang tidak terlalu besar. Reshuffle KIB jilid II, yang secara resmi diumkumkan oleh SBY pada tanggal 10 Mei 2007 di Istana Negara beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa SBY memberi peluang kepada mereka. Misalnya, ia tetap mempertahankan menteri dari Partai Amanat Nasional (PAN), Hatta Rajasa, yang selama ini banyak mendapat tuntutan agar diganti.
Awalnya, tampilnya Wakil Presiden, Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar merupakan harapan besar bagi Presiden SBY untuk menjadi partai pendukung pemerintah. Kenyataannya pun demikian. Namun, di sisi lain, menjadi ancaman tersendiri bagi penasihat partai demokrat itu dalam babak berikutnya. Jusuf Kalla bakal menjadi rival kuat pada Pemilu 2009.
SBY tidak tinggal diam dan berupaya membatasi ruang gerak sang wakil. Santer disebut bahwa Kalla pun tak dilibatkan dalam reshuffle kabinet. Tidak dilibatkannya Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dalam membahas reshuffle kabinet merupakan langkah politik Presiden SBY untuk mempersempit ruang Golkar untuk membangun koalisi dengan partai lain. Sebab, kabinet hasil reshuffle jilid II ini menunjukkan bahwa SBY ingin membuka peluang bagi kepentingan koalisi pada pemilu 2009 dengan tidak mengakomodasi Partai Golkar terlalu luas dengan membangun koalisi terbatas.
Meskipun Partai Golkar yang dimotori Jusuf Kalla berhasil memasukkan kadernya pada posisi kunci yaitu kementerian yang memang diincar oleh Partai Golkar seperti kementerian BUMN dengan duduknya Sofyan Djalil yang notabene disebut-sebut orang Jusuf Kalla, tidak membuat Golkar puas.
Golkar justru sempat kecewa. Sebab dari 10 nama yang diajukannya, hanya seorang saja yang ditunjuk. Padahal, Golkar merupakan partai pemenang pemilu legieslatif dan fraksi terbesar di DPR.
Selain itu, Golkar telah mati-matian mempertahankan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, namun gagal. Golkar juga gagal dalam target reshuffle terhadap Menteri Keuangan dan Menko Ekuin. Keduanya adalah menteri yang tidak begitu dekat dengan Jusuf Kalla.
Kekecewaan itu melahirkan serangan baru. Fraksi Golkar di DPR mempelopori dan berhasil meloloskan interpelasi sikap Indonesia terhadap Resoludi DK PBB NO. 1447 memperluas sanksi bagi Iran.
Interpelasi ini dinilai Yudi Latif, erat hubungannya dengan reshuffle. Lebih dari itu, semakin dekat dengan pemilu 2009, maka situasinya akan semakin tegang karena bagaimana pun JK akan menjad lawan tanding SBY yang paling potesnsial di masa depan. “Bahkan ada kemungkinan bahwa JK akan memobilisasi peluang untuk mengunci SBY agar tidak masuk ke kontes berikutnya dengan jalan memperbesar prosentase orang yang bisa masuk sebagai kandidat presiden dengan meningkatkannnya menjadi di atas 15 persen. Dengan begitu, SBY yang datang dari partai demokrat susah tanpa membangun koalisi yang luas,” katanya.
Politik Keseimbangan
Sebagai partai terbesar, Goklar akan tetap diakomodasi SBY. Presiden SBY tentunya tidak akan berani mengesampingkan kepentingan Golkar begitu saja. Namun, di sisi lain, SBY pun membatasi ruang gerak Ketua Umum partai berlambang pohon beringin itu yang juga Wakil Presiden RI.
Sebelumnya Golkar melalui Jusuf Kalla menginginkan adanya reshuffle terhadap kementerian Ekonomi. Memang kelihatannya, menteri-menteri yang tergabung dalamtim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, tak begitu dekat dengan JK dan sebaliknya sangat dekat dengan SBY. Hal ini mungkin saja karena sebagaian besar menteri-menteri dalam tim ekonomi berlatar belakang profesional.
Tentunya SBY tidak akan melepaskan begitu saja bangunan ekonomi itu jatuh ke tangan Golkar. SBY pun tidak mengganti menteri itu.“Namun, tetap saja SBY juga tidak bisa sepenuhnya menolak aspirasi Golkar. Itulah politik keseimbangan yang dikerjakan oleh SBY. Golkar akan diakomodasi secara terbatas dengan mempertahankan aspek-aspek yang lain,” kata Yudi Direktur Reform Institute ini.
Sejauh kepentingan Golkar, SBY sedapat mungkin bisa memperjuangkan nasib orang JK sendiri. Tetapi sejauh menyangkut persoalan ekonomi, selalu di bawah koordinasi sang RI 1.
SBY sendiri seringkali ingin selalu keluar dari kegagalan di bidang ekonomi. Meskipun tidak mengganti figur-figur yang tidak begitu dekat dengan JK, seperti Menkeu, Menko Ekuin yang kelihatannya lebih dekat dengan SBY, tapi untuk beberapa kasus SBY tampaknya ingin cuci tangan dengan seluruh kegagalan pemerintahan ini di bidang ekonomi dengan melimpahkan tanggung jawab di bawah JK.
Oleh karena itu, sebagai balasan, JK juga membangun manuver lain. Salah satunya dengan mengajukan interpelasi. Dia ingin juga melakukan kritik dan serangan terhadap SBY terhadap isu yang dibawa langsung oleh SBY.
SBY dan JK saling lempar. SBY melimpahkan ke JK, sedangkan JK melimpahkan ke SBY. Tapi untuk sesuatu yang berhasil, berusaha untuk mendapatkan kapitalisasinya. Jadi, suatu akses yang inisiatif awalnya itu disumbangkan oleh JK, tapi pada kapitalisasi dan bargaining-nya coba diambil oleh SBY.
Misalnya, dengan mendorong kemungkinan SBY untuk dicalonkannya dirinya pada nobel perdamaian dengan mengabaikan keseluruhan inisitif yang telah disumbangkan JK itu sendiri. Pertanyaannya kemudian adalah apakah disharmonisasi hubungan RI 1 dan RI 2 ini akan berjalan sampai akhir tahun periode pemerintahan keduanya, yaitu tahun 2009 ? Atau justru akan semakin mengerucut menjadi pertarungan yang nyata-nyata ingin sama-sama memperebutkan kursi RI 1 pada Pilpres 2009 ? Tentunya hanya waktu yang akan membuktikan dari semua itu. (musim)
(OPINI Indonesia/Edisi 051/21-27 Mei 2007)
07 Desember 2007
Pasca Reshuffle, SBY-JK Tak Harmonis
Label: Berita dari Opini Indonesia