07 Desember 2007

Menghemat Biaya atau Ingin Mendulang Suara?

Usulan penghematan biaya Pemilihan Umum (Pemilu) adalah keinginan yang menarik. Namun secara politik, sering dilihat sebagai pintu masuk bagi partai tertentu untuk mencari keungtungan. Salah satunya dengan mengganti mekanisme pencoblosan dalam pemilihan dengan tulisan. Partai politik ingin menghemat biaya kah atau ingin mendulang suara Pemilu?

Wakil Presiden, Yusuf Kalla selalu menekankan penghematan terhadap biaya Pemiliha Umum (Pemilu) 2009. Salah satu tawarannya adalah mengganti mekanisme pencoblosan dengan menulis di kertas suara Pemilu. Upaya itu dilakukan dalam rangka menyikapi tingginya usulan anggaran Pemilu yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu.

Logika yang dilontarkan Ketua Umum Partai Golkar ini adalah, terjadi pemborosan pada kertas suara yang panjangnya hingga satu meter. Hal ini berpengaruh terhadap banyaknya kebutuhan kertas serta biaya percetakan. Dengan menulis pada kertas suara berarti dapat mencetak kertas suara yang lebih kecil dan lebih murah.

Menurutnya, tidak masalah dengan adanya anggapan bahwa masyarakat Indonesia yang banyak buta huruf. Malah, pihaknya merasa tersinggung kalau masyarakat Indonesia dikatakan buta huruf. ”Yang buta huruf itu hanya 5 persen. Dan buta hurufnya orang Indonesia pasti masih bisa menandai sesuatu,” tegas Kalla yang mencontohkan bahwa orang Indonesia yang buta huruf itu masih bisa pegang uang dan mengenali angka pada uang tersebut.

Tawaran Kalla dinilai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Muladi sebagai upaya mencegah manipulasi. Bahkan Muladi menuding, bagi yang menolak tawaran baik yang dilontarkan sang Wapres adalah mereka yang punya kepentingan, baik secara finansial maupun nonfinansial. Dengan sistem yang kompleks mereka bisa mudah memanipulasi. ”Lebih dari itu, adanya kalkulasi biaya yang berkurang dari usulan KPU adalah hal yang luar biasa dalam rangka penghematan. Bagi yang terbiasa mencoblos, kan ada sosialisasi,” katanya seusai membuka Konsolidasi Bupati, Wali Kota, dan Ketua DPRD Kabupaten-Kota di Lemhannas, Jakarta (14/11).

Akal-Akalan

Tidak semua usulan yang berdampak positif dapat dinilai baik bagi para pelaku politik. Kalangan partai politik tentunya melihat juga dalam perspektif politisnya. Oleh karena itu, banyak yang menolak usulan pemerintah melalui Wapres itu. Bahkan, tawaran penghematan semacam ini hanyalah akal-akalan. Partai-partai baru dan partai kecil merasa ditelikungi oleh partai besar sekelas Golkar yang telah mengakar dalam ingatan masyarakat sejak berkuasanya selama Orde Baru..

Fungsionaris Partai Bintang Reformasi (PBR), Yusuf Lakseng, misalnya, menanggapi usulan Yusuf Kalla itu justeru menghambat peluang partai baru memperoleh suara Pemilu. Selain itu, akan rawan terjadi kecurangan. Masyarakat yang tidak faham baca tulis akan lebih mudah diarahkan oleh partai tertentu terutama partai yang telah terkenal di masyarakat. ”Substansinya, kami sepakat dengan penghematan tetapi bukan dengan ara seperti ini,” katanya saat ditemui OPINI Indonesia seusai diskusi di Universitas Paramadina, Jakarta.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir menilai tawaran JK hanyalah akal-akalan Partai Golkar untuk memenangkan pemilu 2009. dibandingkan partai baru, Partai Golkar masih relatif diingat oleh rakyat. ”Kalau hal itu diberlakukan, Golkar pasti menang lah,” cetusnya.

Bachir mempertegas bahwa masyarakat di pedesaan masih banyak yang tidak bisa baca tulis. Mereka bisa saja mengenali angka, tetapi belum tentu mampu menuliskannya. Jadi, usulan itu tidak realisitis sehingga harus tetap mempertahankan mekanisme lama yaitu dengan mencoblos tanda gambar.

Pernyataan yang kompak dinyatakan pula oleh fraksinya di parlemen. Bahkan, wakil ketua Fraksi PAN mencurigai Golkar berniat melakukan kecurangan dengan memanfaatkan celah untuk mencuri suara yang tidak jelas. Ia menduga, Golkar akan memanfaatkan celah pada pemilih yang tidak hadir menggunakan hak pilihnya. Pada saat itu, bisa saja kertas suara mereka ditulis untuk kepentingan partai Golkar, mengingat birokrasi di daerah, terutama di tingkat paling rendah, sampai saat ini masih dikuasai partai Golkar.

Menconteng

Yusuf Kalla mungkin merasa pernyataannya disalahartikan oleh partai-partai lain. Untuk itu, pihaknya mengumpulkan pimpinan partai di kediamannya, Jl. Diponegoro, Jakarta (13/11). Meraka yang hadir antara lain, Wakil Ketua Partai Golkar Agung Laksono, Presiden PKS Tifatul Sembiring, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Bursah Zarnubi, Ketua Umum PDS Ruyandi Hutasoit dan Ketua Umum PBB MS Kaban.

Juga hadir pimpinan dan fraksi seperti Ketua FPG Priyo Budi Santoso, Ketua FKS Mahfudz Sidiq, Ketua FPD Syarif Hasan, FPDIP Panda Nababan, Ketua FPAN Zulkifli Hasan, Ketua FKB Effendi Choirie, Ketua FBPD Jamaludin Karim. Selain itu ada juga Menteri Dalam Negari Mardiyanto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Hasil pertemuan menunjukkan adanya kesepakatan untuk merubah alat coblos dengan alat tulis. Mereka sebagian besar tertarik untuk menconteng atau menandai gambar dan nomor urut caleg pilihan. Hal ini, berbeda dengan usulan JK yang menginginkan pemilihan dengan menulis nama partai atau angka nomor urut partai dan caleg.

Menulis angka dinilai pakar Pemilu dari CETRO, Hadar N Gumay. Menurutnya, menulis nama beresiko pada kemampuan baca tulis pemilih. Akan ada persoalan di TPS dalam mengenali huruf demi huruf. Apalagi nama partai terdiri dari banyak huruf yang mirif. ”Akan ada perdebatan dan rawan konflik dalam mengenali huruf. Akibatnya akan rawan manipulasi. Mereka yang cenderung dengan partai tertentu akan membenarkan huruf tertentu untuk partai tertentu,” katanya.

Apa yang diungkapkan Hadar cukup beralasan mengingat cara penulisan huruf yang berbeda-beda. Oleh karena itu, menconteng gambar dan nomor urut caleg lebih memungkinkan meskipun tidak terlalu signifikan dalam upaya penghematan anggaran Pemilu. ”Dengan cara menconteng, mungkin lebih gampang dilakukan,” tegasnya.(Musim)

(OPINI Indonesia/Edisi 75/.... Nopember 2007)