Partai Baru tak pernah dibiarkan berkembang. Rancangan Undang-Undang (RUU) Bidang Politik yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat dinilai sangat diskriminatif terhadap partai baru.
Pembahasan RUU Bidang Politik masih terus berlangsung di DPR. Belum bisa dipastikan kapan RUU yang terdiri dari RUU Pemilihan Umum, RUU Partai Politik, RUU Susunan dan Kedudukan (Susduk) DPR, DPRD, dan DPD itu akan berakhir dan disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Meskipun demikian, banyak pihak yang telah mengaku kurang puas terhadap wacana yang berkembang dalam pasal demi pasal. Parlemen cenderung tidak demokratis dalam proses pembuatan UU yang diharapkan mengakomodir kepentingan semua pihak termasuk partai politik.
Partai-partai baru dan partai kecil yang tidak lulus Electoral Treshold (ET) pada Pemilu 2004 lalu menilai parlemen telah memangkas perkembangan mereka. Fraksi yang berasal dari partai besar di parlemen tidak memberikan peluang bagi mereka.
Wakil Sekretaris Partai Bintang Reformasi (PBR), Yusuf Lakaseng, misalnya mempertanyakan mengapa harus ada penye penyederhanaan partai politik. Ini adalah akibat dari pemikiran di parlemen yang beranggapan bahwa tidak ada masalah dengan sistem demokerasi bangsa ini. Menurut mereka, stabilitas pemerintahan harus didukung oleh sistem presidensil. ”Kalau sudah demikian, artinya harus dengan penyederhanaan partai,” katanya.
Semestinya, menurut mantan aktifis Prodem ini, UU Pemilu harus ramah terhadap seluruh kekuatan politik yang ada. Bangsa ini berharap akan munculnya pemimpin alternatif dari partai-partai baru yang ada. ”Kenyataannya, sistem pemilu telah dimanipulasi untuk membatasi partai baru dan partai kecil,” kata fungsionaris partai yang juga terpaksa merubah nama dan lambang ini untuk dapat mengikuti Pemilu 2009 mendatang.
Hal yang sama diungkapkan oleh Sekretaris Jendral (Sekjen) Partai Persatuan Daerah (PPD), Adi Masardi. Menurutnya, sistem Pemilu selalu membuat partai kecil membolak-balik nama dan simbol partai pada saat menjelang Pemilu. ”Kalu sudah begini terus, rakyat kapan bisa menghafal lambang partai kita,” katanya.
Masardi menuding parlemen tidak memahami hakikat demokerasi. Hal ini ditunjukkan dari RUU Pemilu yang tidak berpihak kepada partai baru. Masardi menyebutkan adanya pasal yang kini dibahas yaitu adanya kecenderungan membatasi usia parpol peserta pemilu. Ada wacana yang mengatur ketentuan partai politik peserta pemilu adalah parpol yang telah berusia 4 tahun. Ini tidak lain akibat kekhawatiran mereka terhadap banyaknya partai baru yang merupakan pecahan dari partai lama dan lolos ET. Lahirnya partai-partai ini dinilai akan memecah suara partai induk. ”Sebut saja kelahiran Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) telah mengancam perpecahan suara pada Partai Golkar. Demikian juga kelahiran Partai Matahari Bangsa (PMB) mengancam suara PAN, dan suara PKB diancam berkurang oleh kelahiran Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU).
Tak ketinggalan, kekecewaan terhadap sistem Pemilu yang tengah dirancang parlemen ini dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Rakyat Demokeratik (PRD), Dita Indahsari. Dita menegaskan, bahwa UU RUU Pemilu saat ini cukup membatasi parpol baru. ”Baru dapat parpol, sudah dihambat oleh UU Pemilu,” cetusnya.
Terlalu Ketat
Sistem demokerasi Indonesia selama ini hanya menguntungkan anasir dan fikiran-fikiran lama yang tidak bermanfaat di masyarakat. Proses demokerasi masih dibajak oleh kekuatan lama sehingga tujuan demokerasi dibelokkan hanya untuk mengamankan status quo. Demikian pandangan penggagas dan deklarator Komite Bangkit Indonesia yang menggagas jalan baru untuk kemajuan Indonesia Rizal Ramli. Menurutnya, partai baru juga perlu diberikan kesempatan berkembang. Tapi sayangnya masih saja dibatasi oleh ketentuan yang ketat.
Direktur CETRO, Hadar N Gumay menguraikan beberapa aturan yang membuat ruang gerak partai baru menjadi sempit. Melihat kenyataan RUU yang berkembang di parlemen menunjukkan adanya monopoli partai besar. Hadar menyebutkan syarat pendirian parpol yang sangat diperketat. Pengetatan ini misalnya ditunjukkan dengan adanya aturan agar kepengurusan partai berada di seluruh daerah di daerah Indonesia. Berbeda dengan Pemilu 2004 yang hanya disyaratkan minimal memiliki kepengurusan di 23 propinsi saja. ”Ini saja sudah menjadi penghalang besar bagi berdirinya sebuah parpol baru peserta pemilu,” katanya.
Untuk menjadi peserta Pemilu saja harus melewati dua kali perifikasi. Hak mendirikan parpol semestinya perlu dilalui dengan perifikasi pada saat pendirian. Padahal, perifikasi cukup dilakukan sekali saja pada saat penetapan parpol peserta Pemilu.”Yang terpenting administrasinya. Misalnya, cukup dengan surat keterangan dari pemrintah daerah bahwa partai tersebut telah ada. Atau bisa juga melalui pengadilan saja,” katanya.
Electoral Treshold yang semakin tinggi membuat Parpol menjadi semakin terbatas. Dari 2 persen menuju pemilu 2004 menjadi 3 persen menuju pemilu 2009. Juga, adanya keinginan untuk menerapkan parlementarian treshold. Partai baru kini tidak hanya dibatasi untuk bisa ikut pemilu selanjutnya, tetapi juga dibatasi untuk dapat duduk di parlemen.
Selain itu, terkait sistem pemilihan legislatif. Ada dua wacana yang berkembang untuk mengganti sistem nomor urut yaitu menerapkan sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional terbuka terbatas. Sementara kecederungannya ada pada yang kedua yaitu sistem proporsional terbuka terbatas. Jadi calon-calon yang terpilih tidak semata ditentukan oleh perolehan suara perorangan. Gagasan ini dimunculkan oleh fraksi besar khususnya Golkar. Ini adalah gagasan yang manipulatif. ”Sama saja dengan kembali kepada sistem nomor urut,” tegasnya.
Yang paling kentara adanya upaya monopoli partai besar adalah adanya upaya pengecilan daerah pemilihan (dapil). Pengecilan dapil ini sama artinya dengan menyingkirkan partai baru. Yang diuntungkan tetap saja partai besar. (Musim)
(OPINI Indonesia/Edisi 75/.... Nopember 2007)
07 Desember 2007
Parlemen ‘Habisi’ Partai Baru
Label: Berita dari Opini Indonesia