07 Desember 2007

Menunggu Sinyal dari Merdeka Utara

Sidang Interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi panjang. Ketidakhadiran Presiden secara langsung membuat lebih dari setengah anggota Dewan meminta sidang interpelasi ditunda. Mereka terus mendesak agar Presiden dapat hadir secara langsung. Pimpinan dewan pun akan ke istana untuk ‘merayu’ sang Presiden agar berkenan hadir.


Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tentang interpelasi Iran (5/6) tidak memenuhi harapan. Sidang pun tidak mengarah kepada penjelasan dan jawaban pemerintah soal kebijakannya mendukung resolusi DK PBB nomor 1747, melainkan penuh perdebatan dan hujan interupsi anggota Dewan terkait ketidakhadiran presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Anggota DPR tidak menginginkan Presiden diwakilkan oleh para menterinya. Diketahui, sidang paripurna itu hanya diwakilkan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Widodo AS, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, dan Menteri Luar Negeri N Hasan Wirayuda untuk memberikan penjelasan atas interpelasi DPR. Hadir juga Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menhan Juwono Sudarsono, Kepala BIN Syamsir Siregar, dan Mensos Bachtiar Chamsyah.

Untuk itu sejumlah anggota Dewan menolak melanjutkan sidang untuk mendengarkan jawaban. Apa yang disampaikan oleh para menteri, pada dasarnya seringkali disampaikan oleh Menlu. Namun, bagi anggota Dewan, keterangan Menlu tidak cukup memberikan jawaban. Mereka hanya menginginkan kehadiran presiden. ”Kehadiran Presiden lah yang paling penting. Sebab, para menteri yang diutus Presiden tentu tidak mengetahui secara pasti isi pembicaraan antara Presiden dengan Presiden AS George Bush sesaat sebelum memberikan dukungannya terhadap sanksi Iran,” kata Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) dan anggota Komisi I DPR RI, Effendy Choirie.

Akibatnya, lebih dari setengah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta sidang paripurna interpelasi ditunda sampai Presiden SBY hadir untuk menjawab soal kebijakan yang dinilai mengkhianati aspirasi rakyat Indonesia itu. Mereka berasal dari semua Fraksi DPR kecuali Fraksi Golkar, Fraksi PDS dan Fraksi Demokerat.

Berbeda Persepsi

Tidak tercapainya substansi interpelasi pada sidang paripurna (5/6) tersebut ternyata akibat dari perbedaan persepsi anggota Dewan terhadap tata tertib. Telah berkembang dua persepsi terhadap penyampaian penjelasan dan jawaban interpelasi. Di satu pihak, presiden harus hadir sendiri memberikan jawaban, dan di pihak lain, presiden bisa diwakilkan untuk menjawab persoalan dukungan dukungan pemerintah terhadap resolusi 1747 yang dipertanyakan DPR.

Untuk itu, setelah menunda interpelasi, Badan Musyawarah (Bamus) DPR langsung menggelar rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Zainal Ma’arif (7/6). Rapat itu hanya memutuskan untuk mengagendakan rapat kembali pada kamis (14/6) mendatang.

Menurut Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Zulkifli Hasan, anggota DPR memerlukan waktu seminggu untuk menyamakan persepsi terhadap tata tertib tersebut. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya perdebatan soal tata tertib kembali pada sidang interpelasi berikutnya. “Rapat Bamus hari ini hanya memutuskan mengagendakan rapat Kamis depan. Agendanya hanya untuk menyatukan terjemahan tata tertib biar interpelasi berikutnya benar-benar sesuai harapan,” katanya di sela-sela rapat Bamus di gedung DPR RI.

Menurut Zulkifli, FPAN memang harus tegas memperjuangkan untuk dapat menghadirkan Presiden. “Jadi, kita tunggu saja hasil rapat Bamus, minggu depan,” cetusnya.

Senada dengan Zulkifli, Pimpinan Rapat Bamus yang juga Wakil Ketua DPR, Zainal Ma’arif menegaskan bahwa anggota rapat menyepakati untuk melanjutkan rapat tanggal 14 Juni mendatang. Meskipun demikian, pada saat itu, belum bisa diputuskan untuk dapat menghadirkan Presiden. Untuk itu, waktu satu minggu diharapkan ada konsolidasi untuk menghadirkan Presiden.

Selain itu, rapat Bamus, juga mengamanatkan agar pimpinan DPR, menemui dan melakukan pendekatan kepada Presiden agar mau menghadiri interpelasi. Juga, memberikan penjelasan bahwa interpelasi adalah hal yang biasa. Setelah final, baru Bamus menetapkan tanggal sidang interpelasi berikutnya.

Ketidakhadiran Presiden justeru tidak membuat kredibikitas Presiden jatuh. Sebaliknya, DPR menerima tudingan balik atas pengalihan substansi interpelasi pada Selasa kemarin. Ketidakhadiran presiden dibenarkan oleh tata tertib DPR RI pasal 174 ayat (4). Meskpin demikian, kehadiran presiden diharapkan hadir sendiri tanpa diwakili para menterinya sebagai wujud penghargaanya kepada DPR, mengingtat lebih dari 50 persen anggota DPR menginginkan agar presiden datang langsung.

Fraksi PPP menilai kehadiran SBY pada dasarnya tidak membuat kredibilitas SBY turun. Malah, kehadirannya akan menunjukkan bahwa presiden memiliki perhatian yang cukup besar terhadap permasalahan yang dipertanyakan anggota Dewan. Selain itu, akan ada sikap saling menghormati dan menghargai antar lembaga negara. Serta mempertegas bahwa system pemerintahan Indonesia adalah presidensil, mengingat presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemerintahan. Kenyataanya, itu tidak dilakukan oleh Presiden.

Ketidak hadiran Presiden SBY dalam Sidang paripurna interpelasi Iran dinilai telah melcehkan institusi DPR. Sebagai Presiden semestinya, menghargai lembaga pengontrol eksekutif tersebut. Tidak demikian bagi Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Ia berpendapat anggota DPR telah mempolitisasi dan mendramatisasi urusan yang tidak terkait langsung dengan kepentingan rakyat di dalam negeri.

Mantan Anggota KPU ini juga menyesalkan penundaan pemberian jawaban pemerintah atas hak interpelasi yang diajukan DPR dengan alasan yang sangat tidak substansial. Sebab, substansinya interpelasi adalah jawaban yang akan disampaikan pemerintah, bukan masalah ketidakhadiran Presiden di DPR. Siapa pun menteri yang ditugaskan Presiden untuk menjawab interpelasi tersebut tidak masalah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam keterangan persnya juga menyatakan, sesuai tata tertib DPR, Presiden sesuai hak dan kewajibannya berhak menugasi para menterinya untuk mewakili dan menjawab interpelasi tersebut.

Di sisi lain, kegaduhan saat interpelasi nuklir Iran justeru berdampak terhadap citra DPR. Banyak kalangan, termasuk sejumlah anggota DPR mengaku, pertunjukan sikap anggota Dewan saat interpelasi telah memberikan tontonan tidak menarik untuk rakyat.

Anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) Akil Mochtar mengakui, perdebatan yang muncul saat interpelasi telah keluar dari substansinya. DPR menggeser ke persoalan presiden harus hadir yang kemudian berbuntut pada multitafsir soal tata tertib DPR.

Karena itu, dia mempertanyakan kepentingan apa yang diusung anggota DPR saat interpelasi. Kalau kepentingan politik, sambungnya, hal itu wajar tapi jika ada keinginan menjadikan interpelasi sebagai panggung agar anggota DPR terlihat vokal, itu merupakan upaya membohongi rakyat.

(OPINI Indonesia/Edisi 54)