Wacana penggabungan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan umum (Pemilu) legislaif dalam rangka menghemat biaya tak mungkin dilakukan. Lebih mungkin Pilpres didahulukan dari Pemilu legislatif. Mungkinkah demikian?
Setelah disahkannya dua dari Paket Undang-Undang (UU) Politik yaitu UU Penyelenggaraan Pemilu dan UU Partai Politik, kini fraksi di DPR kembali ‘bertarung’ dalam menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum. Salah satu reaksi publik dan beberapa fraksi di parlemen adalah munculnya wacana penggabungan pelaksanaan Pilpres dengan Pemilu legislatif.
Wacana pelaksanaan Pilpres dan Pemilu legislatif secara bersamaan muncul sebagai upaya penghematan biaya penyelenggaraan Pemilu menyusul tingginya usulan anggaran biaya Pemilu 2009 oleh KPU beberapa waktu lalu. Tetapi, banyak pihak memperkirakan akan terjadi banyak kesulitan sehingga sama sekali tidak muncul dalam tim maupun usulan resmi di Pansus.
Mendahulukan Pilpres
Dorongan memperkuat sistem presidensial di Indonesia melahirkan keinginan untuk mendahulukan Pilpres dari pada Pemilu legislatif. Sistem ini dinilai akan memperkuat dukungan terhadap presiden terpilih. Dalam hal ini, banyak pihak yang menyambut baik namun masih perlu menemukan formulasi yang tepat untuk mengaturnya dalam undang-undang Pemilu maupun UU Pilpres nantinya. ”Dibandingkan dengan dilaksanakannya Pilpres dan Pemilu legislatif secara bersamaan, maka kami menilai mendahulukan Pilpres atas Pemilu legislatif lebih ideal dan konstitusional untuk sistem negara yang presidensial,” kata anggota Pansus Pemilu dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Syaifulah Ma’shum saat dihubungi Opini Indonesia (7/12).
Seringkali calon presiden ditinggalkan begitu saja oleh calon legislatifnya dan tidak dikampanyekan secara optimal. Mungkin karena mereka merasa telah jadi anggota DPR, apalagi bagi mereka yang gagal mendapatkan kursi di DPR menjadi kehilangan semangat. Akibatnya, calon presiden hingga terpilihnya tidak begitu kuat. ”Tetapi ini masih dalam gagasan yang butuh banyak waktu untuk menyatukan ide dan proses sosialisasi. Dengan mekanisme ini, semua kekuatan partai politik dan calon legislatif akan membantu proses pemilihan presiden secara total. Berbeda degan pemilu 2004 lalu, di mana calon presiden berjalan sendiri tanpa banyak didukung anggota dewan terpilih,” paparnya.
Namun diakui politisi yang diandalkan PKB dalam merumuskan UU Pemilu ini, usulan itu masih dalam tingkatan lobi. Dijadwalkan, bulan Januari 2008 mendatang akan mulai dibahas.
Sebelumnya, Fraksi PDI Perjuangan, juga menginginkan hal demikian. FPDIP mengharapkan hasil pemilihan presiden nantinya dapat melahirkan koalisi permanen sehingga sistem presidensial benar-benar diterapkan secara utuh di Indonesia.
Namun di sisi lain, Ketua Pansus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan masih mengitung-hitung formulasi yang tepat. Pasalnya, mekanisme semacam itu akan berdampak pada persyaratan partai politik (parpol) pengusung pasangan capres. Sebagaimana diketahui, Pelaksanaan Pilpres 2004 yang mengacu kepada Pasal 101 UU 23/2003 menyebutkan bahwa Parpol atau gabungan Parpol yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada pemilu anggota DPR sekurang- kurangnya 3 persen dari jumlah kursi DPR atau 5 persen dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR tahun 2004 dapat mengusulkan pasangan calon. Tentunya akan kesulitan dalam menggunakan dasar hukumnya. Diprediksikaan, akan terjadi perdebatan yang alot tentang persyaratan Parpol dalam mengajukan Capres.
Terlalu Dini
Meskipun belum sampai kepada perdebatan di tingkat Pansus, namun telah mendapat reaksi penolakan terhadap sejumlah pakar yang konsern memberikan konstribusi terhadap sistem Pemilu di Indonesia.
Upaya menerapkan sistem Pemilu dengan mekanisme mendahulukan Pilpres dinilai terlalu dini. Tidak mudah menemukan formulasi baru yang dapat mengaperesiasi semua elemen. Memang benar bahwa mekanisme semacam itu dapat memperkuat sistem presidensial, tetapi perlu melakukan upaya yang panjang untuk menerapkannya di Indonesia. Alangkah baiknya menggunakan mekanisme yang lama dulu. Demikian pandangan Direktur Eksekutif CETRO, Hadar N Gumay.
Dikatakan Hadar, jika Pilpres didahulukan apalagi waktunya sangat berdekatan, maka hasil pemilihan presiden akan berpengaruh terhadap hasil Pemilu legislatif. ”Masyarakat yang memilih calon Presiden tertentu pada Pilpres akan sama pilihannya dengan Pemilu legislatif. Masyarakat akan memilih partai pendukung calon presiden yang dipilih sebelumnya,” katanya.
Oleh karena itu, Hadar menyarankan agar dikembalikan saja dulu kepada sistem Pemilu 2004, di mana Pemilu legislatif dilaksanakan dulu, baru Pilpres. Begitu juga dengan penggabungan yang tidak mungkin dilakukan. Kalau penggabuangan betujuan menghemat biaya Pemilu, masih banyak cara lain untuk melakukannya. Salah satu penggabungan yang bisa dilakukan untuk penghematan misalnya pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkda) di mana satu propinsi dapat dapat dilakukan secara bersamaan. ”Kalau untuk Pilpres dan Pemilu legislatif, jangan terburu-buru lah,” cetusnya. (musim)
(OPINI Indonesia/Edisi 78/10-17 Desember 2007
10 Desember 2007
Pilpres Didahulukan Dari Pemilu Legislatif, Apa Jadinya?
Label: Berita dari Opini Indonesia