24 April 2008

Muhammad Rodli Kaelani; Memperkuat Gerakan Berbasis Kawasan

Konflik politik yang sedang memanas di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) besutan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tidak berpengaruh pada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Walaupun organisasi mahasiswa ini banyak menyumbangkan kadernya ke partai berlambang bola dunia dan bintang sembilan ini, organisasi ini tetap berdiri independen.

PMII tidak mau terseret pada arus konflik politik itu. Setidaknya begitulah obsesi Ketua Umum Pengurus Besar PMII baru hasil Kongres XVI PMII di Batam 17-21 Maret 2008, Muhammad Rodli Kaelani.

Odie, demikian Muhammad Rodli Kaelani disapa, adalah sosok flamboyan dan santun dalam pergaulan di lingkungan PB PMII. Walaupun demikian, Odi punya pemikiran besar memperkuat gerakan lokal PMII untuk membentengi daerah masing-masing. Ia ingin membangun pergerakan Nasional PMII berbasis pada sinergi gerak ‘sentrum pergerakan’ dengan menjadikan kawasan sebagai medan gerak bagi Indonesia dan tata dunia yang setara, damai dan berkeadilan.

Indikasi kuat akan pentingnya merumuskan sentrum gerak pada tiap kawasan adalah globalisasi yang menghancurkan batas-batas fisik negera-bangsa dan menciptakan ’kantong-kantong kawasan’ yang menjadi instrumen apropriasi nilai lebih dari pinggiran. ”Jika gelombang neoliberalisme dikonseptualisasikan sebagai the new imperialism-colonialism, maka itu tak lagi melalui negara tetapi langsung ke daerah-daerah,” katanya saat ditemui OPINI INDONESIA di Graha Mahbub Djunaidi, Jl. Salemba Tengah No. 57 A Jakarta Pusat.

Sebagai anak muda yang lahir dari kultur NU, aktifis PMII yang mengawali karirnya sebagai Sekretaris Umum PC PMII Manado ini ingin mendesain model gerak yang menyambungkan gerak PMII dan NU. Menjadikan warisan teologi dan tradisi Islam di Indonesia sebagai model alternatif dalam meng-counter arus ekstrimisme teologi maupaun ekstrimisme pasar yang bersifat trans-nasional crime.

Sebagai aktifis organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, ia juga ingin mengkonsolidasikan segenap komponen nasional pergerakan pemuda. Ia ingin menjadikan kebangsaan dan kenusantaraan sebagai spirit pergerakan pemuda yang bertumpu pada warisan sosio-kultural dan historis Indonesia.

Mungkin karena usianya yang masih muda inilah, Muhammad Rodli Kaelani yang lahir 1 April 1978 ini begitu kuat mendorong partisipasi kaum muda dalam menciptakan iklim perubahan di negeri ini. Keterlibatan kaum muda saat ini dinilainya tidak merata. Dalam satu level keorganisasian, mereka tidak terdistribusi secara bersama-sama. Hanya sebagian saja yang dapat berperan di berbagai instrumen perubahan bangsa ini.

Odi mengkritik masih adanya dominasi elite dalam instrumen-instrumen strategis. Oleh karena itu, selaku leader di sebuah organisasi nasional pemuda, anak muda kelahiran Jakarta ini, mendesak para elite yang telah mapan untuk memberikan ruang ekspresi bagi kaum muda yang lebih luas dan merata.

Berangkat dari Hedonistik

Menjadi ketua umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, sama sekali tak pernah terlintas di benak Muhammad Rodli Kaelani. Di awal masa kuliahnya, Sarjana Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara ini, masih terbawa gaya hidup hedonistik. Ia masih kental dengan gaya hidup konsumeristik layaknya ’anak kota’. Maklum, karakternya terbentuk di tengah kehidupan metropolis, sebab masa-masa SD hingga SMA dilaluinya di Jakarta.

Gaya hidupnya yang individualistik itu pun tiba-tiba berubah, ketika ia mulai berkenalan dengan PMII. Ia pun mulai menunjukkan kedewasaan berfikir dan menjalani kebersamaan dengan mahasiswa ’kos-kosan’. Pasangan Muhammad Murthado dan Nona Al Bugis, sang orang tua, bangga dengan perubahan anaknya itu. Tetapi di pihak lain, Odli justeru terlihat lebih mementingkan urusan organisasi dari pada urusan keluarga. ”Orang tuaku bangga aku berubah. Tetapi, aku terkadang jadi lupa dengan urusan keluarga,” kenang anak pertama dari tiga bersaudara ini.

Pada Kongres XVI PMII Odi berhasil menyisihkan 3 kandidat kuat lainnya, dengan mengantongi 91 suara dari 202 cabang pemilih. Jabatan ketua umum PB PMII bukanlah sebuah obsesi pribadi yang dia kejar mati-matian. Odli mengaku, gagasan pencalonan dirinya sebagai Ketua Umum berasal dari bawah (beberapa pengurus cabang). Bahkan Odli merasa terharu ketika Pengurus Cabang pengusung utamanya yang terdiri dari tiga cabang di Sulawesi Utara, menyisihkan jutaan rupiah uang pemberangkatan mereka untuk diberikan ke Odli sebagai modal awal suksesi.

Saat ini, ia telah menjadi ketua umum PB PMII periode 2008-2010. Sebagai mandataris Kongres, ia memiliki tanggung jawab untuk menyatukan visi gerakan 220 Pengurus Cabang PMII di seluruh Indonesia. Ia sekaligus menjadi penerus perjuangan dari 13 ketua umum sebelumnya. Meskipun dengan gaya kepemimpinan yang berbeda, namun mereka sama-sama tetap konsisten dalam mempertegas PMII sebagai organisasi pengkaderan.

Ia ingin meneruskan gen kepemimpinan Muhyidin Arubusman dan Iqbal Assegaf. Gen kepemimpinan yang dimaksud Odli adalah Iqbal Assegaf dan dirinya sama-sama berasal dari kultur keislaman ke-timur-an –indonesia timur-, persisnya kultur keislaman yang dibangun oleh Yayasan Al Khairat. Ia juga sama-sama berhasil menjadi ketua umum dari luar wilayah yang memiliki banyak cabang PMII seperti di pulau jawa. Sedangkan dengan Muhyidin Arubusman, sama-sama mengawali jabatan tertinggi di PMII sebagai Sekjen PB PMII. Muhammad Rodli Kaelani adalah Sekjen PB PMII periode sebelumnya mendampingi Hery Haryanto Azumi. Namun di sisi lain ia juga ingin menampilkan gaya kepemimpinan yang flamboyan –santai tapi memiliki sikap- sebagaimana yang ditunjukkan oleh gaya kepemimpinan Ali Masykur Musa.

Sebagai nahkoda organisasi, Ia ingin tetap menjadikan kaderisasi sebagai pijakan organisasi yang berbasis mahasiswa ini. Secara eksternal, ia ingin mensinergikan visi keislaman dan kebangsaan sekaligus ingin mensinergikan gerakan keislaman NU -Islam rahmatan lil alamin- dengan gerakan keislaman PMII –Islam Indonesia-.

Di tingkatan alumni, Odli ingin mendorong Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga Alumni (FOKSIKA) sebagai korp yang benar-benar masif dalam mengagregasi semua kepentingan alumni. Beberapa konflik yang muncul tidak dimanag sebagai dinamika konflik, malah benar-benar dijadikan konflik terbuka. ”Saya berharap FOKSIKA tidak hanya semata-mata sebagai forum silaturrahim,” harap Odli terhadap organisasi alumni PMII yang akan melakukan Musyawarah Nasional pada akhir April mendatang. (MH)

(OPINI INDONESIA/Edisi 95)