20 Mei 2008

Inkonsistensi Politik Pangan Indonesia

Politik pertanian Indonesia semakin tidak jelas. Dua bulan setelah gigih membangun legitimasi impor dan menumpuk 1,2 juta ton beras import pada tahun 2007 tiba-tiba harga beras global menembus angka US$ 1000 per ton. Seketika itu pula pemerintah melakukan ekspor.

Hal yang sama ketika Indonesia mengalami defisit beras, tiba-tiba saja pemerintah dengan tidak malu-malu berbicara bahwa bangsa ini surplus beras dan karena itu harus ekspor. Demikian dikatakan Guru Besar FTP UGM, Mochammad Maksum dalam seminar bertajuk ’petani menjawab krisisi pangan’ di Jakarta (14/5).

Ini adalah bentuk inkonsistensi politik pangan oleh pemerintah. ”Pagi defisit, sore surplus. Betul-betul sikap yang tidak konsisten,” sindir Maksum di depan pengurus Serikat Petani Indonesia (SPI).

Awal Februari 2008 Pemerintah menggulirkan kebijakan pangan untuk mengatasi krisis beberapa pangan strategis, termasuk beras, kedele dan terigu. Untuk beras, dijanjikan penambahan jatah raskin 10 kg/RTM menjadi 15 kg dengan nilai Rp 2,6 trilyun, penurunan Bea Masuk 18,2%, dan naiknya harga pembelian menjadi Rp 1600/kg. Hal ini ditopang pula dengan percepatan produksi melalui subsidi benih. Untuk kedele, ditetapkan hapusnya bea masuk, PPN impor turun menjadi 2%, dan subsidi ke pengrajin Rp 1000/kg selama 6 bulan. Sementara, bea masuk untuk terigu juga dihapuskan dan segala PPN ditanggung oleh Pemerintah.

Hal itu menurut Maksum memang wujud dari niat baik pemerintah dalam menyikapi krisi pangan. Tetapi di sisi lain, pemerintah lupa bahwa itu berdampak kepada ketergantungan terhadap importasi dalam stabilisasi pasar domestik. Hal ini semakin mengokohkan bangsa ini menjadi negara agraris berbasis import.

Sementara itu, ketua SPI, Hendri Saragih menegaskan bahwa perlu ada langkah kongkrit dari pemerintah dalam membentengi krisis pangan yang terjadi. Menurutnya, memperluas lahan tanaman pangan melalui program pembaruan agraria guna menurunkan jumlah impor adalah langkah kongkrit yang bisa dilakukan. Sebaliknya, perlu pengurangan ekspor bahan pangan ke luar negeri dengan menetapkan quota dan tidak melakukan ekspor bahan pangan pokok ketika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.

Selain itu, pengaturan tata niaga bahan pangan yang harus diatur oleh badan pemerintah. Jangan diserahkan kepada mekanisme pasar yang oligopoli yang dikuasai beberapa pihak swasta, karena mereka akan berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya. Juga, maksimalisasi peran Bulog dan menghidupkan kembali lumbung-lumbung kolektif untuk mempermudah penyerapan produksi pangan wilayah serta pendistribusiannya di tingkat lokal.

“Menghentikan perluasan ekpansi tanaman perkebunan yang berorientasi ekspor seperti kelapa sawit yang kini telah mencapai luasan yang sangat besar sekitar 7,2 juta hektar. Pemerintah juga harus tegas dalam melakukan investigasi terhadap kemungkinan penimbunan bahan pangan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis pangan dan spekulan,” tambahnya. (Mukhlis Hasyim)

(OPINI INDONESIA/Edisi 100/Nasional)