27 Juni 2008

Jamu Palsu Membuat Pedagang Jamu Jadi Lesu

Maraknya razia jamu palsu berdampak terhadap pelaku usaha kecil menengah (UKM). Berita tentang razia jamu berbahaya melalui media massa sekaligus menjadi black campaign bagi pedagang jamu. Penghasilan mereka tentu menurun.

Setidaknya, itulah yang dialami Maryono, pedagang jamu kaki lima yang mangkal di kawasan pasar PSPT, Tebet, Jakarta Selatan. Maraknya razia jamu di beberapa daerah membuat penghasilannya menurun.

Mulyono mengaku banyak kehilangan konsumen. “Para pembeli kan jadi lebih berhati-hati dalam membeli jamu. Mereka takut dengan berita banyaknya jamu palsu,” kata penjual jamu sejak tahun 1985 itu.

Mulyono memang tidak pernah terkena razia. Dia yakin jamu yang dijualnya, bukan jamu palsu. Kalupun ada, itu karena tidak terselip ketika membelinya di agen. Biasanya pedagang jamu asal Cirebon, Jawa Barat ini membeli jamu di salah satu Agen di Manggarai, Jakarta. ”Yang terkena razia kan agen-agen besar. Kalau kita sih, ga pernah dirazia.” katanya meskipun tetap berpengaruh terhadap pendapatannya.

Sebelumnya, razia jamu banyak dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mengindikasikan banyaknya peredaran jamu palsu. Di Surabaya, BPOM merazia sejumlah warung jamu di Surabaya, Jawa Timur. Razia digelar karena terdapat 54 jenis jamu yang dinyatakan berbahaya bagi kesehatan karena mengandung obat keras masih banyak beredar di pasaran. Dalam razia di Jalan Demak, Rungkut, dan Jalan Banyu Urip itu, BPOM menemukan jamu tanpa izin edar seperti jamu sari rapet buatan Solo dan jamu asam urat serta flu tulang buatan Banyuwangi.

Sementara di Lampung, beberapa toko kedapatan menjual jamu terlarang. Utamanya jamu-jamu perkasa. Pedagang mengaku tidak tahu kalau jamu yang mereka jual merupakan jamu terlarang. Ratusan bungkus jamu juga disita di daerah Jogjakarta. Jamu-jamu tradisional yang mengandung bahan kimia itu langsung dimusnahkan oleh BPOM.

Banyak bahan kimia yang tidak boleh dipakai dalam pembuatan jamu. Bahan-bahan kimia itu hanya dapat dipakai dalam obat. Beberapa diantaranya adalah sibutramin hidrokolid yang berefek meningkatkan tekanan darah, sildenafit sitrat yang membahayakan jantung dan ginjal, asam mefenamat yang akan berbahaya bagi penderita tukak lambung, dan prednison yang akan menimbulkan ’moon face’.

Sangat disayangkan, peredaran jamu palsu ini terjadi di saat meningkatnya produksi jamu dalam negeri. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu), Charles Saerang, memperkirakan bahwa pada tahun 2008 industri jamu Indonesia akan tumbuh 20 persen atau senilai Rp7,2 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. "Industri jamu Indonesia bangkit salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya jamu digunakan sebagai bahan dasar pengobatan, dan direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Departemen Kesehatan (Depkes) sebagai obat buat pasien," kata Charles Saerang dalam jumpa pers penandatanganan Nota Kesepahaman antara GP Jamu dengan bank pemberi Kredit Usaha Rakyat (KUR), di Jakarta.

Menurut Charles, saat ini jamu dan obat tradisional Indonesia mengalami kemajuan pesat karena sudah diresepkan oleh dokter sebagai obat pendamping. "Selain itu industri dan pariwisata berbasis jamu juga menunjukkan kinerja yang sangat baik, dengan pertumbuhan mencapai 9 persen per tahun, bahkan beberapa usaha spa berbasis jamu dan ramuan tradisional tumbuh dengan laju hingga 14 persen per tahun," katanya.

Charles menyebutkan Indonesia sebenarnya memiliki keuntungan tersendiri sebagai negeri penghasil bahan baku jamu. Oleh karena itu, Indonesia, harus membatasi ekspor bahan baku jamu ke luar negeri terutama India, agar manfaat industri jamu tidak melayang dan direbut India.

GP Jamu saat ini terdiri atas 129 industri besar dan sekitar 1.037 anggota berupa Industri Kecil Obar Tradisional (IKOT), termasuk industri rumah tangga dan pengecer. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menargetkan industri jamu dan obat tradisional Indonesia bisa tumbuh hingga menjadi 10 triliun pada akhir tahun 2008 nanti. ■Musim

(Opini Indonesia/Edisi 105/Nasional)