04 November 2008

Menanti Perubahan Dari Gubernur Pilihan Rakyat

Oleh : Mukhlis Hasyim

Meski banyak dinamika negatif telah terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB), namun masyarakat Bumi Gora ini tetap nampak tenang menjalani kehidupannya sehari-hari. Maklumlah, kondisi alam yang teduh sepertinya mampu meredam riak-riak negatif di masyarakat. Meskipun demikian, mereka tetap berharap, akan ada perubahan di propinsi yang sebagian besar warganya berprofesi sebagai petani itu.

Perubahan terbesar yang dinant-nanti rakyat hanyalah perubahan dari kebijakan yang pro penguasa dan pengusaha menjadi pro rakyat. Dengan demikian, dengan sendirinya akan mengalami perubahan pada semua sektor kehidupan mereka. Disahkannya Peraturan Daerah (Perda), dan Surat Keputusan (SK) Gubernur dan peraturan-peraturan lain yang tidak membelenggu sektor riel masyarakat, sudah cukup menjadi prestasi seorang gubernur. Sebab, satu pasal saja, dapat berdampak kepada tingkat biaya pendidikan, kesehatan dan harga kebutuhan pokok.

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Propinsi NTB, sekitar 2.985.771 pemilih berharap dapat menjatuhkan pilihannya secara tepat. Seorang gubernur yang setiap kebijakannya lebih berpihak kepada sekitar 4 juta lebih penduduk NTB dari pada segelintir penguasa dan pengusaha. Namun amanat yang satu inilah yang seringkali terabaikan.

Pemilihan Langsung

”Siapapun gubernurnya, keadaan kita tetap sama” barangkali demikian pernyataan yang sering kita dengar di masyarakat ketika ditanya tentang calon gubernur yang tepat sebagai pemimpin NTB. Sepertinya, keberadaan gubernur tidak begitu nyata, karena sebelumnya mereka tidak pernah memilih. Tetapi itu dulu, ketika kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Mungkin saja pernyataan mereka akan berubah di tahun 2008 ini, sekaligus berharap akan ada yang berubah dalam lima tahun ke depan. Melalui pemilihan gubernur secara langsung, rakyat akan mulai perduli untuk memperbincangkan siapa calon gubernur pilihannya nanti. Mereka merasa dilibatkan dalam menentukan gubernur yang bisa mencerna kebutuhan rakyat secara langsung. Bukan keinginan rakyat melalui suara wakilnya di parlemen.

Pada hari pemilihan di pertengahan tahun 2008 mendatang, masyarakat NTB dari 9 kabupaten/kota, 115 kecamatan dan 892 desa, akan berkumpul di sekitar 7.522 tempat pemungutan suara (TPS). Rakyat telah berkuasa. Suaranya sama dengan suara anggota DPR bahkan dengan suara presiden sekalipun. Semua lapisan masyarakat sama-sama hanya memiliki satu hak suara. Inilah pemilihan gubernur pertama secara langsung di NTB.

Sebagian rakyat yang telah terdidik secara politik mungkin saja menemukan harapan baru dengan sistim pemilihan yang baru ini. Akan lahir tanggung jawab dari masing-masing mereka, karena baik buruknya gubernur mendatang adalah pilihannya sendiri. Itulah wujud dari legitimasi rakyat atas pemimpinnya.

Inilah aktualisasi dari UU No. 3/2005 tentang Perubahan atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Peraturan Pemerintah No. 17/2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Juga, Instruksi Presiden No. 7/2005 tentang Dukungan Pemerintah Daerah untuk Kelancaran Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan wakil kepala daerah. Inilah pula yang disebut oleh Syamsul Hadi Tubany dengan era baru demokeratisasi lokal di Indonesia.

Kerja Extra

Pemilihan secara langsung membebankan kerja ekstra kepada para calon gubernur. Bagi mereka yang belum siap dengan pergaulan sosial di masyarakat, akan lebih memilih sistim pemilihan sebelumnya yang memandatkan suara rakyat melalui DPR. Jika pada Pemilihan Gubernur 2003, H. Lalu Srinate sebagai gubernur terpilih (incumbent) cukup bertransaksi politik dengan partai politik, maka saat ini ia harus bertransaksi langsung dengan rakyat. Demikian pula dengan calon-calon lain yang akan berkompetisi pada Pilkada NTB kali ini.

Dalam sistim pemilihan di parlemen, calon gubernur cukup menyerahkan urusan suksesi kepada partai politik. Secara berantai, partai politik dapat menginstruksikan kepada pimpinan fraksi untuk memobilisasi anggota fraksi agar memilih pasangan calon tertentu. Otomatis, anggota fraksi akan manut kepada pimpinannya, sebab dirinya tidak mungkin membiarkan dirinya di-recall sia-sia. Akhirnya, bisa dipastikan, calon yang diusung oleh partai dengan kursi besar di parlemen, bisa dipastikan akan memenangkan pemilihan.

Tidak demikian dengan sistim pemilihan langsung. Partai politik nyaris hanya sebagai ’jualan’ politik untuk dijadikan kendaraan politik. Partai politik pemenang Pemilu tidak bisa memastikan dirinya akan memenangkan calon yang diusungnya.

Lihat saja, bagaimana Jend. (Purn) TNI, Wiranto yang diusung oleh partai Golkar sebagai pemenang pemilu, pada Pemilihan Presiden 2004 dikalahkan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang diusung oleh partai baru sekelas Partai Demokerat. Demikian pula dengan Pilkada DKI Jakarta, di mana Adang Darajatun, calon yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai pemenang Pemilu di ibukota negara itu, terkalahkan oleh gabungan partai-partai di bawahnya.

Inilah yang memaksa para calon gubernur kali ini untuk sedemikian rupa dapat mengambil hati rakyat. Jauh sulit meyakinkan sekitar 2.985.771 masyarakat pemilih, dari pada hanya 55 anggota DPRD di Jl. Udayana, Mataram itu. 


*)Ditulis sebelum pelaksanaan Pilkada NTB